Jakarta, 4 September 2013. Koalisi masyarakat sipil Indonesia yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme dan Imperialisme (Gerak Lawan) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak menyerahkan nasib perekonomian Indonesia kepada forum G20 dan kembali membuat kesepakatan internasional baru yang merugikan Indonesia.
Sebagaimana diketahui Presiden SBY akan menghadiri G-20 Leader Summit ke-8 di St.Petersburg, Rusia, 5-6 September 2013 mendatang. Tiga agenda utama Summit G20 ke 8 ini, yaitu (1) Growth through quality jobs and investment; (2) Growth through trust and transparency; (3) Growth through effective regulation.
Solusi-solusi yang ditawarkan forum G20 tidak dimaksudkan mendorong suatu perubahan fundamental tata dunia yang didominasi sistem neoliberalisme-kapitalisme. Forum G20 juga telah gagal menangani dampak krisis global tahun 2008. Bahkan perekonomian dunia kini semakin rentan, akumulasi utang publik semakin besar, menguatnya hegemoni Bank Dunia-IMF, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran, ketimpangan ekonomi, spekulasi komoditas pangan yang meningkatkan kelaparan, serta menguatnya korporasi dalam penguasaan sumber-sumber kekayaan di tingkat nasional.
Bahwa, 99% Negara-negara di seluruh dunia tidak menikmati manfaat dari restorasi sistem kapitalisme ala G20. Sebaliknya, Penerima manfaat utama dari KTT G20 adalah korporasi-korporasi swasta internasional besar serta IMF dan Bank Dunia, yang menerima transfusi modal triliunan dolar dalam bentuk dana bailout serta penambahan cadangan modal. Sebuah strategi pembangunan internasional yang buta atas dampak dari kesalahan kebijakan yang dilakukan selama ini seperti privatisasi, pencabutan subsidi, liberalisasi, dan deregulasi yang didorong oleh IMF dan Bank Dunia serta praktek perampasan sumber-sumber agraria dan tenaga kerja buruh atas nama investasi. Lebih parah lagi, Rekomendasi G-20 di Los Cabos, Mexico, tahun 2012 malah mendorong pembukaan pasar besar-besaran terhadap Negara-negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, termasuk Indonesia. Dimana dorongan tersebut pada akhirnya hanya menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang krisis yang lebih dalam lagi.
Singkatnya, dalam kerangka semacam ini, G20 sesungguhnya menjadi alat kekuatan modal internasional untuk menutup ruang otonomi dan kedaulatan sebuah negara untuk mengatur urusan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara bersamaan mendorong masuk negara-negara berkembang seperti Indonesia semakin dalam kepada model baru penghisapan ekonomi atas rakyat secara luas. Sebagaimana tengah dialami Indonesia saat ini. Dorongan-dorongan untuk memperkuat peran IMF-Bank Dunia, liberalisasi keuangan dan perdagangan, utang luar negeri, dan liberalisasi sumber-sumber agraria dan kelautan semakin memperkokoh dominasi modal asing di Indonesia di seluruh sektor. Resultante dari salah urus pembangunan selama ini telah menghancurkan sumber daya alam yang terus meluas dan membuat kualitas kesejahteraan masyarakat Indonesia merosot tajam.
Akibatnya, ekonomi Indonesia tidak lagi memiliki kedaulatan bahkan semakin rentan dan mengarah pada kebangkrutan. Sebagaimana terlihat pada pelemahan nilai rupiah terhadap dollar yang mencapai hingga Rp.11.500,-/dollar AS sejak Agustus 2013 yang lalu telah menggerus cadangan devisa Negara yang tertekan akibat pembayaran impor yang semakin melebar daripada ekspor. Ditambah dengan tingginya pembayaran jatuh tempo utang luar negeri swasta dan pemerintah sebanyak 27,78 miliar dolar AS, atau sekitar Rp. 305,6 triliun. Serta repatriasi laba perusahaan asing setiap tahun yang sedikitnya mencapai 9 miliar USD atau sekitar Rp. 99 triliun rupiah. Saat ini sisa cadangan devisa Indonesia hanya sebesar US$ 92,67 Miliar. Nilai ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan 5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. Bahkan defisit perdagangan pada Juli 2013 sebesar US$ 2,3 miliar lebih tinggi dari defisit pada Juni 2013 sebesar US$ 0,9 miliar.
Merosotnya nilai tukar semakin berdampak pada naiknya tingkat inflasi, mengingat lebih dari separuh kebutuhan pangan dipasok impor, dan 70 persen kebutuhan industri nasional bersumber dari impor yang harus dibeli dengan dolar. Ketergantungan impor pangan Indonesia terhitung hingga April 2013 ini, telah mencapai US$ 2,23 Miliar. Hal ini akan mendorong angka inflasi lebih tinggi dari per Juli 2013 yang telah mencapai 8,61%. Situasi ini pun berdampak pada pelaku ekonomi kecil, seperti pedagang tempe dan tahu serta sektor UMKM yang terhantam dengan pelemahan rupiah akibat meningkatnya harga bahan baku dan nilai inflasi.
Dalam Forum G20 Summit di Rusia, desakan liberalisasi perdagangan akan menjadi strategi penting penyelesaian krisis ekonomi global. Salah satu agenda utama di G20Summit ke 8 ini adalah hendak mendorong agenda penguatan terhadap perdagangan multilateral WTO dengan pencapaian kesepakatan Paket Bali yang akan di dorong dalam pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke 9 WTO di Bali Desember 2013 nanti. Paket Bali, masing-masing adalah: (1) Trade Facilitation (fasilitasi Perdagangan); (2) Pertanian; (3) Paket pembangunan LDCs.
Masuknya isu Trade Facilitation ke dalam paket perundingan dalam KTM 9 WTO di Bali nanti merupakan strategi yang digunakan oleh negara maju untuk mengembalikan pembahasan New Issues (Singapore Issues) ke dalam perundingan WTO yang dahulu sempat terhenti. Trade Facilitation mendesak negara berkembang untuk semakin memfasilitasi produk impor yang berasal dari negara maju. Ketika isu ini disepakati di WTO, maka akan membuka pintu bahwa isu ini akan juga diadopsi ke dalam FTA. Hingga saat ini, Indonesia telah terikat dengan ASEAN FTA maupun bilateral dengan berbagai negara.
Forum G20 Summit ke 8 di rusia akan dijadikan legitimasi atas penyepakatan Paket Bali pada KTM 9 WTO Desember 2013 nanti di Bali. Legitimasi tersebut akan lebih menekankan pada kepentingan Negara-negara maju terhadap isu Trade Facilitation dan menutup celah bagi keberhasilan perundingan pertanian terkait Proposal G33 tentang Public Stockholding dan Food Aid. Hal ini akan merugikan Negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Oleh karena itu, Kami yang tergabung dalam Gerak Lawan, mendesak:
1. Presiden Indonesia untuk segera mendelegitimasi G20 dengan tidak menyerahkan strategi penanganan krisis ekonomi Indonesia kepada forum G20 yang telah gagal dalam menangani krisis ekonomi global 2008 dan sekarang dampaknya telah sampai ke Indonesia.
2. Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan Agenda Perdagangan Bebas WTO dan Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA) yang telah memperparah krisis ekonomi Indonesia akibat pembukaan pasar impor.
3. Pemerintah dan DPR RI untuk tidak menjadikan RUU Perdagangan dan RUU Perjanjian Internasional sebagai pintu masuk bagi perjanjian perdagangan bebas yang menjerat dan merugikan seluruh rakyat Indonesia.
4. Rakyat sedunia dan gerakan sosial untuk menolak agenda liberalisasi perdagangan dunia yang digagas G20, WTO, ASEAN dan APEC.
—-00—-
Kontak media:
Henry Saragih, Ketua Umum SPI (0811655668)
M. Riza Damanik, Direktur Eksekutif IGJ (0818773515) – SMS Only
Dani Setiawan, Ketua KAU (08129671744)
Dwi Astuti, Direktur Eksekutif Bina Desa (0811810185)
Gunawan, Ketua Eksekutif IHCS (081584745469)
Salamudin Daeng, Peneliti IGJ (082124017324)
Abdul Halim, Sekretaris Jenderal KIARA (081553100259)
Umar Idris, AJI Jakarta (0818111201)
Siti Maemunah, Koordinator CSF (0811920462)
Wahidah Rustam, Ketua Badan Eksekutif Nasional SP (081286853237)
Budi Laksana, Ketua Serikat Nelayan Indonesia (081319716775)
Fadil Kirom, Koordinator Umum Aliansi Petani Indonsia (081542287780)
Halaman 1 dari 5
- Halaman 1
- Halaman 2
- Halaman 3
- Halaman 4
- Halaman 5