Perjuangan petani di berbagai daerah di Indonesia untuk mendapatkan akses tanah/lahan, telah menjadi isue agraria yang paling mengemuka dalam masa pemerintahan SBY-Boediono. Petani telah menggunakan berbagai macam cara, termasuk aksi-aksi massa dan pendudukan lahan milik negara atau lahan milik perusahaan besar swasta dan pemblokiran pasilitas umum.
Aksi-aksi petani acap kali dihadapkan dengan tindakan represif aparat kepolisian sebagaimana yang dilakukan tentara pada masa Orde Baru dulu. Aparat keamanan tampaknya lebih berpihak pada modal besar ketimbang kepada rakyat yang menggajinya. Peristiwa pembantaian petani di Mesuji Lampung, Petani Sape Bima, Riau, Papua dan daerah lainnya, memperlihatkan kepada publik tentang betapa kejamnya aparat keamanan terhadap petani.
Namun semua itu ternyata tidak menyurutkan langkah petani. Pembantaian, penangkapan dan kriminalisasi terhadap petani justru semakin meningkatkan solidaritas diantara petani di berbagai daerah dan solidaritas dari berbagai elemen masyarakat lainnya. Petani menilai bahwa apa yang dilakukan pemerintah adalah sebuah pelanggaran terhadap konstitusi dan Hak Azasi Manusia (HAM), sehingga pantas untuk dilawan.
Mengapa demikian? karena sesungguhnya yang menjadi tuntutan utama petani adalah agar pemerintah melakukan reforma agraria sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 5 tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-undang yang merupakan turunan dari pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945, belum pernah dijalankan oleh Negara.
Pelaksanaan UUPA adalah tonggak awal bagi pembangunan ekonomi nasional dan industrialsiasi nasional. Reforma agrarian dengan dasar UUPA merupakan strategi merubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi kerakyatan. UUPA sesungguhnya adalah cara untuk memindahkan tanah/lahan yang dikuasi oleh modal besar asing ke tangan Negara dan rakyat khususnya petani.
Akan tetapi yang dilakukan oleh pemerintah sejak Orde Baru hingga era reformasi cenderung bertentangan dengan amanat UUPA. Pemerintah malah mengembalikan dominasi modal besar khususnya modal asing dengan legalisasi melalui UU.
Pada masa Orde Baru pemerintahan Soeharto mengeluarkan tiga undang undang pokok yaitu UU No 1 tahun 1967 tentang Penananam Modal Asing (UUPA), yang diikuti dengan Undang-undang Nomor 5Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan UU No 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan. Ketiga UU tersebut merupakan kebijakan pintu terbuka kepada modal asing untuk menguasai lahan dan sumber daya alam di dalamnya.
Pada era reformasi, pemerintah malah secara ugal-ugalan menggelar karpet merah kepada modal asing untuk menguasai lahan lebih luas lagi dengan melahirkan berbagai UU di bidang penanaman modal, kehutanan, Migas, dan minerba Kehutanan. Pemerintah SBY–Boediono mengeluarkan UU No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal (UUPM), UU No 4 tahun 2010 tentang Minerba yang semakin membuka peluang modal besar khususnya modal asing dalam menguasai tanah.
Jika dimasa Orde Baru ijin penguasaan lahan dalam bentuk HGU bagi modal asing hanya diijinkan dalam waktu 75 tahun, dimasa pemerintahan SBY-Boediono ijin penguasaan lahan oleh modal asing berdasarkan UUPM diperbolehkan hingga 95 tahun. Padahal dalam UUPA ijin semacam itu hanya diperbolehkan selama 35 tahun.
Apa hasil dari kebijakan pemerintah yang sangat memanjakan modal asing tersebut? Lebih 175 juta hektar lahan di darat dan di laut Indonesia telah dialokasikan bagi kegiatan pertambangan mineral, batubara, perkebunan dan eksplotasi migas (Institute for Global Justice, 2010). Jumlah yang sangat pantastis jika dibandingkan dengan luas daratan Indonesia yang hanya 195 juta hektar. Lebih dari 75 % kegiatan yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam di semua sektor tersebut dikuasai oleh modal asing.
Bahkan tidak jarang ijin yang diberikan pemerintah pusat berbenturan dengan ijin yang dikeluarkan pemerintah daerah. Demikian juga ijin yang dikeluarkan oleh departemen pemerintah berbenturan dengan departemen lainnya. Lebih tragis lagi ijin yang dikeluarkan pemerintah untuk tujuan eksploitasi sumber daya alam berada diatas lahan-lahan pertanian, kebun petani.
Sehingga ijin penguasaan lahan di suatu wilayah propinsi atau kabupaten dapat lebih luas dibandingkan luas wilayah tersebut. Di Nusa Tenggara Barat misalnya, sebagian besar lahan telah dibagi-bagikan ke dalam kontrak perusahaan tambang. PT. Newmont Nusa Tenggara menguasai 50 persen wilayah NTB dengan luas kontrak seluas 1,27 juta hektar. Di Pulau Sumbawa salah satu wilayah NTB Newmont menguasai 770 ribu hektar, setara dengan 50 persen lebih luas wilayah daratan pulau sumbawa seluas 1,4 juta hektar. Sementara para bupati/walikota di tiga 5 kabupaten/kota di Pulau Sumbawa terus memberi ijin tambang diatas lahan-lahan yang tersisa. Hingga saat ini lebih dari 150 Izin Usaha Pertambangan yg beroperasi di NTB baik yang sedang melakukan eksplorasi maupun produksi. Sehingga diperkirakan seluruh wilayah pulau Sumbawa telah habis dibagi-bagikan pada persuahaan besar.
Demikian halnya Di Papua, Kontrak Karya (KK) Freeport seluas 2,6 juta hektar, HPH 15 juta Hektar, HTI 1,5 juta hektar, Perkebunan 5,4 juta hektar, setara dengan 57 persen luas daratan Papua. Belum termasuk kontak migas yang jumlahnya sangat besar, sehingga diperkirakan Papau telah habis dibagi kepada ratusan perusahaan raksasa.
Kalimantan Timur diperkirakan seluruh wilayah daratannya seluas 19,8 juta hektar telah dibagi-bagikan kepada modal besar. Ijin tambang mineral dan batubara 5 juta ha, Perkebunan 2,4 juta hektar, ijin hutan HPH, HTI, HTR dan lainnya mencapai 9,7 juta (data MP3EI), belum termasuk kontrak migas, dimana Kaltim adalah salah satu kontributor terbesar pendapatan migas negara.
Sementara lahan hutan yang tersisa dijadikan sebagai kawasan lindung oleh pemerintah, ada juga yang masuk dalam skema perdagangan karbon ata REDD. Lahan-lahan tersebut sewaktu-waktu juga dapat dijadikan sebagai wilayah investasi atas ijin menteri kehutanan dan persetujuan DPR sebagaimana yang diatur dalam UU kehutanan.
Penguasaan lahan dalam skala besar khususnya oleh investor asing inilah yang mengakibatkan lahan yang dapat digunakan sebagai ruang hidup petani semakin sempit. Petani semakin tersingkir dari wilayah kelola mereka.
Keadaan inilah yang medorong perlawanan petani semakin masif di berbagai daerah, dengan satu tuntutan bersama agar pemerintah mengembalikan kedaulatan petani atas lahan bukan kepada pemodal asing. Pertanyaannya mampukah petani melawan kekuatan perusahaan raksasa yang didukung oleh penguasa dan polisi ? hanya hukum yang adil yang dapat menjawabnya..
Salamuddin Daeng
Institute for Global Justice (IGJ)