Kita semua menyadari bwto-logo.jpgahwa pertumbuhan ekonomi dunia terus menuju puncaknya. Laporan tahunan Bank Dunia, World Development Report (2012) menunjukkan selama periode tahun 2000-2008 pertumbuhan ekonomi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mencapai 6,2 persen per tahun. Bahkan selama periode krisis finansial yang dimulai tahun 2008 dan masih berlanjut hingga kini—ekonomi dunia tetap tumbuh sebesar 1,2 persen per tahun. Tapi pertumbuhan ini, celakanya juga berita buruk bagi rakyat marjinal dan lingkungan hidup.
Faktanya hari ini, lebih dari 900 juta warga bumi hidup di bawah garis kemiskinan. Laporan UNDP (2010) menyebut setiap 24 jam terdapat puluhan ribu orang mati akibat kelaparan. Demikian juga halnya kerusakan lingkungan yang dalam beberapa dekade terakhir semakin meluas. Belakangan, kitapun mengetahui bahwa dunia telah gagal mencegah peningkatan suhu global di atas 2º C.
Kenyataan pahit diatas menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia hari ini terbukti tidak mampu menciptakan kehidupan yang adil dan beradab. Tidak berhasil menciptakan keberlanjutan sosial dan lingkungan. Tapi justru seba
liknya, pertumbuhan ekonomi yang dicapai hari ini hanya menguntungkan 1 persen penduduk bumi.
Para pejuang keadilan global, aktivis, akademisi, Ibu/Bapak yang kami hormati,
Pada paruh pertama dekade 90an, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) muncul dengan tawaran meningkatkan kualitas pembangunan (baca: keadilan dan kesejahteraan) melalui pengaturan sistem perdagangan global—selanjutnya disebut perdagangan bebas multilateral. Yang terjadi justru sebaliknya!
Paradigma pembangunan yang berorientasi pasar telah memperluas pasar komoditas menjadi pasar sumberdaya alam. Menyebabkan over produksi dan persaingan yang tidak sehat: antar negara, antar sektor, bahkan antar komoditas. Pada tahap inilah, peran negara semakin lemah. Sedang perusahaan multinasional dan perbankan kian dominan dalam mengendalikan semua sendi-sendi kehidupan manusia.
Pengalaman kami di Indonesia, proses liberalisasi pasar yang dimulai dengan ratifikasi WTO 1995 telah menyebabkan Indonesia semakin tergantung dengan berbagai produk impor. Untuk sektor pangan misalnya, nilai impor pangan Indonesia di 2012 telah mencapai Rp 125 triliun (sekitar US$ 13 milyar). Celakanya, berbagai produk pangan impor tersebut merupakan jenis komoditas yang sesungguhnya dapat dengan mudah ditanam dan dibiakkan di Tanah Air Indonesia. Sebut saja seperti beras, kedelai, kentang, gandum, bawang, daging sapi, ikan, bahkan garam.
Persoalannya tidak saja berhenti pada impor pangan. Tapi meluas pada rendahnya daya-saing industri nasional, terbatasnya ketersediaan lapangan pekerjaan, hingga besarnya jumlah buruh migran dan kekerasan yang dialami oleh buruh migran perempuan Indonesia.
Kami juga mendengar persoalan serupa terjadi di berbagai negara lain di Asia. Sebut saja, liberalisasi di sektor pertanian telah mengantarkan petani Korea Selatan terlilit hutang berjumlah besar. Menyebabkan angka kemiskinan nelayan di Filipina mencapai 53 persen. Bahkan di India, mereka yang bekerja di Zona Ekonomi Khusus, terpaksa mendapati upah murah sebagai konsekuensi dari hak istimewa investor sesuai kesepakatan investasi Perjanjian Perdagangan Bebas yang ditandatangani India. Sementara di Thailand, akibat aturan perdagangan hak kekayaan intelektual, tak terhitung banyaknya pasien HIV dan HIV/AIDS yang meninggal karena tidak mampu membayar obat anti-retroviral yang dibutuhkan untuk hidup.
Oleh sebab itu, belajar dari pengalaman kami di Indonesia maupun mengikuti pelajaran buruk yang juga dirasakan oleh saudara-saudara kami di negara lain, maka persoalan kita dengan WTO bukanlah sekedar urusan lemahnya kepemimpinan pada institusi tersebut. Bukan pula semata soal tidak berjalannya proses demokrasi dalam tiap-tiap perundingan WTO. Namun lebih jauh dari itu, bahwa sifat dan watak-bawaan WTO adalah untuk memperkuat dan memperluas peran sektor privat, sekaligus menghilangkan tugas dan kewajiban Negara dalam melindungi dan menjamin pemenuhan hak warga negaranya. Sebuah badan yang melakukan pelanggaran HAM secara sistematik. Mendesak bagi kita melakukan deligitimasi terhadap institusi WTO.
Para pejuang keadilan global, aktivis, akademisi, Ibu/Bapak yang kami hormati,
Sesungguhnya, kita semua telah lama menjadi saksi perlawanan rakyat menolak WTO. Dalam pertemuan KTM WTO 1999 di Seattle misalnya, ribuan orang berdemonstrasi menolak pertemuan itu. Bahkan di Cancun 2003 Lee Kyung Hae, salah seorang pimpinan organisasi tani dari Korea Selatan melakukan aksi simbolis “bunuh diri” di depan gedung pertemuan WTO. Aksi ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa kebijakan WTO telah membunuh ribuan petani di seluruh dunia. Pun demikian saat pertemuan di Hongkong 2005. Ribuan buruh migran yang tinggal dan bekerja di Hong Kong bersatu dengan ribuan orang lainnya yang datang ke Hong Kong untuk menyatakan dampak negatif liberalisasi, privatisasi dan deregulasi yang didorong oleh WTO.
Tidak saja dari gerakan masyarakat sipil. Penolakan juga dilakukan oleh pemerintah di Negara-negara miskin dan berkembang yang merasa bahwa keputusan yang dibuat justru merugikan kepentingan rakyatnya. Kesemua upaya perlawanan rakyat itu telah membuahkan hasil mandeknya negosiasi WTO pasca Putaran Doha tahun 2001.[3]
Meski demikian, upaya liberalisasi tidak berhenti. Kegagalan negosiasi perdagangan multilateral WTO, menciptakan inisiatif perjanjian bilateral dan regional melalui berbagai bentuk perjanjian perdagangan bebas (FTAs). Di Indonesia, sederet perjanjian perdagangan bebas telah ditandatangani. Sebut saja FTA Asean-Australia New Zealand (AANZ) yang menyebabkan hancurnya harga susu domestik dan produk turunannya. Bahkan, ratusan peternak susu di Jawa Timur Indonesia rela membuang susu mereka karena harganya yang sangat rendah. Ada juga FTA ASEAN-China, yang menyebabkan industri manufaktur, pertanian, perikanan nasional Indonesia merugi bahkan kolaps—sebagai akibat serbuan produk impor murah. Atau, Indonesia-Japan Economy Partnership Agreement (IJEPA) yang menyebabkan rendahnya daya saing produk perikanan Indonesia.
Para pejuang keadilan global, aktivis, akademisi, Ibu/Bapak yang kami hormati,
Pertemuan KTM IX WTO pada 3 – 6 Desember 2013, di Bali Indonesia, nampaknya akan digunakan untuk menghidupkan kembali sistem kapitalisme di bawah rezim WTO. Ini didukung dengan kenyataan bahwa perlambatan ekonomi global akhir-akhir ini telah menyebabkan banyak negara mengambil tindakan proteksi, termasuk menguatnya inisiatif regionalisme perdagangan. Dalam kondisi demikian itulah, KTM IX Bali akan di optimalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan kembali memajukan sistem perdagangan multilateral di bawah rezim WTO.
Dalam kerangka itu, ada tiga agenda utama yang menjadi fokus pembahasan di dalam KTM IX Bali yang disebut sebagai Paket Bali (Bali Package). Pertama, fasilitasi perdagangan (Trade Facilitations) bertujuan untuk mengharmonisasi aturan perdagangan semua negara anggota untuk memperlancar aliran barang lintas negara. Padahal jika keputusan ini disepakati akan semakin besar ketidak seimbangan persaingan antara negara-negra industri dengan negara miskin dan berkembang, pesaingan antara produsen kecil dan menengah dengan TNC/MNC raksasa dan investor asing. Melalui inilah nantinya, produk impor dari negara-negara industri membanjiri pasar domestik di negara-negara berkembang dan miskin. Termasuk menyebabkan hancurnya daya saing produk lokal.
Kedua, isu Least Development Countries (LDCs) yang terdiri dari beberapa paket kebijakan untuk memberikan kekhususan dan kemudahan akses pasar bagi negara-negara LDCs dalam perdagangan seperti Duty free-quota free, Rules of Origin under Duty Free Quota Free, The LDCs Services waiver, cotton, dan TRIPs Waiver. Pada pertemuan KTM IX WTO nanti diharapkan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat, memberikan komitmen untuk menyetujui LDCs Package. Namun, perlu dicatat bahwa pemberian persetujuan kepada LDCs Packages tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap arus perdagangan. Sebab, jumlah (share) perdagangan ekspor dari negara-negara LDCs hanya mencapai 1% dalam perdagangan dunia.
Ketiga, isu pertanian. Benar bahwa G-33 yang diketuai Indonesia telah mengajukan proposal India terkait dengan Food Security. Proposal tersebut menginginkan agar negara-negara berkembang diberikan pengecualian atau perlakuan berbeda (S&DT) untuk mendukung pertanian lokal, terkait pembelian stok pangan dengan tujuan mendukung produsen berpendapatan rendah (low income and poor resources producers/ petani miskin), program land reform, pembangunan pedesaan dan keamanan penghidupan desa. Namun, perlu diingat bahwa isu ini akan tetap mendapatkan hambatan besar dari negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa yang diuntungkan dengan sistem yang ada selama ini. Selain itu, bahwa proposal tersebut sebenarnya tidak akan memberikan hasil signifikan dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional di tengah membanjirnya produk pertanian impor yang difasilitasi WTO.
Para pejuang keadilan global, aktivis, akademisi, Ibu/Bapak yang kami hormati,
Di tengah situasi ini, Kami yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme-Imperialisme atau disebut Gerak Lawan—ingin mengajak gerakan lain di Asia dan di seluruh dunia bersama-sama membongkar upaya menghidupkan kembali WTO dalam pertemuan tingkat menteri mendatang yang akan diadakan di Bali, Indonesia pada tanggal 3-6 Desember 2013.
Kami ingin menghubungkan dan memperkuat perjuangan yang dilakukan di Indonesia dengan gerakan wilayah lain, dengan seruan:
1. Mendelegitimasi WTO—WTO telah disalahgunakan mekanisme hukum untuk membatasi kedaulatan dan hak negara dalam mengatur kebijakan nasionalnya bagi kepentingan manusia dan bumi pertiwi. Hal ini penting untuk segera diakhiri.
2. Kami ingin dunia tanpa WTO—Tidak peduli apakah dilakukan reformasi dalam WTO atau mengubah perjanjian yang ada di dalamnya, WTO tidak akan pernah menjadi organisasi yang adil akibat sifat dasarnya yang dibangun atas prinsip-prinsip perdagangan bebas, pertumbuhan tanpa batas dan eksploitasi manusia dan alam. Watak WTO juga tidak akan berubah dengan mengubah kepemimpinan didalamnya. Bahkan dengan pemilihan Direktur Jenderal yang baru terpilih, kesejahteraan rakyat tidak akan pernah tercapai melalui sistem perdagangan bebas yang didorongkan oleh WTO.
3. Mencabut semua FTA dan mendesak pemerintah untuk tidak menandatangani perjanjian FTA—Dorongan untuk liberalisasi perdagangan lebih lanjut harus segera dihentikan. Masyarakat dan alam telah mengalami kerusakan yang lebih dari cukup akibat sistem ini.
4. Merumuskan model alternatif perdagangan internasional berdasarkan Keadilan Ekonomi—gerakan sosial, masyarakat adat, perempuan, pemuda, pekerja, migran, aktivis lingkungan dan keadilan perdagangan dan organisasi lainnya telah banyak memberikan usulan alternatif yang didasarkan pada keadilan. Banyak diantaranya yang telah mengimplementasikan berbagai usulan alternatif ini seperti agroekologi, kedaulatan pangan, dan contoh lain, semua menunjukkan bahwa mungkin untuk memiliki model perdagangan yang berbeda dengan memperhatikan keselarasan antara manusia dan alam. Kita perlu bersama-sama menata kembali sistem perdagangan internasional yang mempromosikan Keadilan Ekonomi yang didasarkan pada saling melengkapi, kerjasama dan solidaritas.
Kami akan mengadakan serangkaian kegiatan menuju Konferensi Tingkat Menteri di Bali dan kami ingin mengajak berbagai organisasi dan gerakan di seluruh dunia untuk bergabung dan memberikan akhir pukulan untuk menghentikan kebangkitan neoliberalisme serta memajukan alternatif rakyat.
Kami mengajak semua gerakan sosial, organisasi masyarakat, serikat buruh, perempuan, migran, pemuda, dan aktivis lingkungan dan perdagangan keadilan, Occupy Movement, Indignados dan gerakan sosial lainnya, untuk datang ke Bali, Indonesia pada bulan Desember 3-6, dan bersama-sama, menghentikan WTO dan FTA serta mendorong tercapainya Keadilan Ekonomi. Mari kita bangkitkan kembali semangat perjuangan seperti yang kita lakukan di jalanan Hong Kong pada KTM WTO 2005. Bersama-sama, kita dapat mengalahkan sistem gagal yang rakus ini, dan segera menciptakan dunia lain yang lebih baik.
Tunish, 28 Maret 2013
[1] Disampaikan pada World Social Forum “Building the Resistance and Alternatives to Free Trade: On the Road to Bali Ministerial Meeting of the WTO”, pada 28 Maret 2013 di Tunish, Tunisia.
[2] Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice; Aktivis Gerak Lawan. Email: riza.damanik@gmail.com; geraklawan@yahoo.co
[3] Putaran Pembangunan Doha atau Doha Development Agenda (DDA) dimulai pada November 2001. Tujuannya ialah untuk menurunkan hambatan perdagangan di seluruh dunia, untuk memfasilitasi peningkatan perdagangan global.