Di tengah rencana penaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Tanah Air, saya memutuskan masuk sebagai Delegasi Indonesia dalam perundingan Instrumen Internasional Perlindungan Nelayan Skala Kecil atau International Guidelines on Small Scale Fisheries (IGSSF), pada 20-24 Mei 2013, di Roma Italia.
Ada dua keutamaan nelayan tradisional Indonesia terlibat dalam proses penyusunan instrumen internasional ini. Pertama, pada ranah domestik, prestasi negara: baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif—dalam melindungi dan mensejahterakan nelayan dinilai buruk. Ini ditandai dengan maraknya penggusuran dan kriminalisasi di kampung-kampung nelayan atas nama pembangunan; minimnya akses modal usaha bagi keluarga nelayan dengan dalih resiko usaha tinggi; teranyar, hendak dikuranginya alokasi dan nilai subsidi BBM nelayan atas kepentingan efisiensi anggaran.
Olehnya, pada level nasional, instrumen ini diharapkan dapat menembus hambatan politik dan birokrasi dalam melindungi nelayan Indonesia. Sedang pada level internasional, IGSSF diharapkan mampu melakukan koreksi terhadap ketimpangan pengelolaan perikanan dunia, baik terkait produksi, konsumsi, hingga perdagangan.
Dalam hal produksi misalnya, 95 persen nelayan Indonesia yang notabenenya skala kecil hanya mengelola sekitar 3,4 juta ton ikan dari laut Indonesia. Sedang kelompok 5 persen sisanya, yakni pelaku usaha perikanan skala besar, termasuk yang menggunakan modal asing leluasa menguasai sekitar 2,4 juta ton ikan Indonesia. Ketimpangan lain ditandai dengan dominannya kepentingan negara-negara industri dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang telah menyulitkan negara berkembang seperti Indonesia melindungi pasar domestiknya dari serangan produk ikan impor. Celakanya, hingga hari terakhir perundingan (24/5), IGSSF gagal tersepakati.
Terhalang empat isu
Terdapat 4 isu pokok yang menjadi perhatian para negara anggota, organisasi antar pemerintah (IGO), dan non pemerintah (NGO), dalam proses perundingan. Pertama, terkait defenisi nelayan skala kecil. Proposal “defenisi” dari negara industri yang bercorak maksimalis dan industrial mendapat penolakan dari negara-negara berkembang maupun kurang berkembang (LDCs).
Menengahi kebuntuan tersebut, Indonesia sempat mengusulkan 5 kreteria umum guna menemukenali “wajah” nelayan skala kecil diberbagai belahan dunia, yakni: modal usaha dan waktu melaut terbatas; keutamaan hasil tangkapan adalah untuk konsumsi dan kegiatan ekonomi sehari-hari; sebagian besar hasil tangkapan untuk pemenuhan pasar domestik; menggunakan alat tangkap tradisional dan ramah lingkungan; serta, menjalankan kearifan dan kebudayaan lokal. Pada kenyataannya, kriteria umum ini pun sulit untuk tersepakati.
Kedua, terkait harmonisasi IGSSF dengan hukum internasional. Sebagian negara seperti Uni Eropa, Argentina dan Uruguay, hendak memasukkan ketentuan WTO ke dalam teks IGSSF. Sedang lainnya, seperti Indonesia, Filipina, Afrika Selatan, Norwegia, Costarica, Equador, Turkey, India, Brazil, Nabia, dan Angola, sepakat untuk menolak. Ketiga, masih terkait WTO, Argentina dengan dukungan Uni Eropa bermaksud mengadopsi sepenuhnya instrumen WTO ke dalam IGSSF guna memfasilitasi nelayan skala kecil ke pasar internasional.
Bagi Indonesia, ada dua alasan kuat untuk menolak gagasan Uni Eropa tersebut. Bahwa IGSSF adalah instrumen perlindungan nelayan skala kecil, bukan instrumen perdagangan. Terlebih lagi, perikanan dalam rezim WTO lebih sebagai komoditas industri ketimbang komoditas pangan (Non Agriculture Market Access). Dengan belum tuntasnya perundingan perikanan dalam kerangka WTO, maka memasukkan instrumen WTO ke dalam IGSSF sangatlah berisiko. Apalagi, di dalam banyak kesempatan, termasuk pada kasus terakhir, Amerika Serikat hendak menggugat Indonesia ke WTO atas pemberian subsidi kepada nelayan dan petambak skala kecil di Indonesia.
Sedang keempat adalah terkait ketentuan redistrubusi sumberdaya pesisir, termasuk tanah kepada keluarga nelayan tradisional. Negara seperti Chili dan Argentina berkeberatan dengan proposal ini. Mereka beranggapan ketentuan ini dapat mengancam esksitensi pemerintah dalam mengelola kawasan pesisir.
Menguji Indonesia
Saat bertemu Direktur Jenderal FAO Jose Graziano Da Silva di Jakarta (28/5), saya sempat menyampaikan dukungan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia kepada FAO untuk melanjutkan proses perundingan dan harapan agar IGSSF dapat disepakati sebelum sidang Komite Perikanan Dunia (COFI) ke-31 pada Juni 2014 yang akan datang.
Pada tahap inilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu menunjukkan keteladanannya melindungi nelayan. Segeralah menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pemberdayaan Nelayan dan Pembudidaya-ikan Kecil seperti amanat Undang-undang Perikanan (Pasal 64), sejak 8 tahun silam.
Sesuai Pasal 60 dan 63 Undang-undang Perikanan maka pemerintah punya kewajiban untuk memberdayakan nelayan tradisional Indonesia, melalui: penyediaan skim kredit usaha bagi nelayan dengan akses dan sistem pembayaran mudah; peningkatan pengetahuan dan keterampilan nelayan dalam bidang menangkap, pembudidayaan, pengolahan, hingga pemasaran; penguatan organisasi dan koperasi nelayan; serta, menciptakan kemitraan usaha yg adil dan menguntungkan nelayan.
Disinilah peran Indonesia diuji: menyamakan kata dan perbuatan. Yakni, menghidupkan komitmen-baik Indonesia dalam fora internasional untuk menghadirkan kesejahteraan di kampung-kampung nelayan. (M. Riza Damanik)