IGJ UPDATE – KTM IX WTO, 3-6 Desember 2013 Nusa Dua, Bali
Denpasar, 2 Desember 2013. Menjelang Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 World Trade Organization (WTO) pada 3-6 Desember 2013 di Nusa Dua, Bali, ratusan orang dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung ke dalam Gerakan Rakyat Melawan Kolonialisme dan Imperialisme (Gerak Lawan) dan Social Movements on Alternative Asia (SMAA), telah berkumpul di Bali untuk melakukan perlawanan terhadap World Trade Organization (WTO) yang telah mendorong praktik perdagangan bebas di dunia.
Ketidakadilan yang diciptakan WTO dalam rezim perdagangan bebas telah berdampak buruk terhadap perekonomian negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Aturan perdagangan dunia tidak bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, melainkan bekerja dengan kehendak dari Trans National Coorporation (TNCs). Perjanjian perdagangan bebas mendorong penguasaan sumber-sumber daya alam ketangan korporasi raksasa dan kemudian mengambil alih terhadap kontrol perdagangan. Pada akhirnya hal tersebut berdampak terhadap penurunan kesejahteraan masyarakat yang kehilangan akses terhadap kebutuhan dasarnya.
Dalam rangkaian acara week of action yang diselenggarakan oleh Gerak Lawan di Bali, salah satu isu utama yang dibahas adalah tentang perlunya sebuah sistem ekonomi alternatif yang lebih adil untuk menjawab kegagalan WTO dalam mensejahterakan masyarakat dunia. Salah satu alternatif yang ditawarkan adalah sebuah sistem perdagangan alternatif.
Selama ini WTO menawarkan sistem perdagangan yang tidak adil, tidak setara, dan hanya berorientasi pasar. Oleh karena itu, dalam menjawab hal tersebut masyarakat sipil di dunia mendorong sebuah konsep perdagangan alternatif. Hal yang mengemuka dalam diskusi adalah perlu adanya sebuah konsep dasar tentang alternatif perdagangan dunia.
Prinsip-prinsip perdagangan alternatif yang disepakati adalah, pertama, Ekonomi harus beragam dan melibatkan semua sektor untuk memikirkan kebutuhan lokal dari masyarakat serta kesehatan ekosistem. Hal ini harus didukung oleh keberagaman pengetahuan, tradisi, kreativitas dan identitas yang tidak boleh dibatasi dengan aturan hak kekayaan intelektual yang akhirnya hanya memonopoli untuk keuntungan pribadi; kedua, Perdagangan harus menjadi alat untuk dapat saling melengkapi, bukan untuk kompetisi dan keuntungan. Sehingga apa yang diproduksi bukan dalam rangka untuk memenuhi pasar global tetapi diutamakan memenuhi kebutuhan domestiknya; ketiga, Peraturan perdagangan haruslah asimetris. Kesepakatan-kesepakatan perdagangan haruslah seimbang sehingga dapat memudahkan ekonomi-ekonomi kecil untuk dapat memenuhi kebutuhan populasinya yang termarjinalisasikan oleh sistem selama ini.
Keempat, Ekonomi untuk kehidupan, dimana para produsen barang, penyedia jasa, dan masyarakat bisa menjadi lebih dekat satu sama lain, mempromosikan diri, emansipasi diri, solidaritas, dan interaksi sosial yang harmonis dengan alam. Hal ini untuk mendorong kontrol terhadap sumber-sumber daya alam yang selama ini dikuasai oleh korporasi asing dengan mendorong penghentian privatisasi dan mengembalikan hak penguasaan kepada negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu perlu dibangun kontrol demokratis dan partisipatif dari masyarakat kecil terhadap ekonomi. Kelima, Harus segera mengakhiri sistem konsumsi berlebih, mewah, dan menghasilkan limbah. Hal ini perlu memperkuat produksi untuk memenuhi kebutuhan fundamental dari semua orang yang menggunakan sedikit sumber daya alam dan mengadopsi pendekatan tanpa limbah.
Konsep ekonomi alternatif yang disusun untuk kemudian diserahkan kepada para menteri perdagangan negara-negara anggota WTO pada saat acara pertemuan WTO nanti yang berlangsung di Bali. Hal ini agar negara-negara anggota WTO dapat mengevaluasi kembali keanggotaannya di WTO.***