Jakarta, 2 Juli 2014. Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai gugatan PT.Newmon Nusa Tenggara (PT.NNT) terhadap Pemerintah Indonesia ke ICSID semakin membahayakan kedaulatan Indonesia. Hal ini akibat penerapan Bilateral Investment Treaties (BITs) yang memberikan perlindungan kuat bagi investor asing.
Secara resmi PT.NNT mengumumkan menggugat Pemerintah Indonesia ke ICSID pada 1 Juli 2014 terkait dengan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah. Penerapan kebijakan tersebut dianggap melanggar ketentuan BIT Indonesia-Belanda yang kemudian merugikan pihak PT.NNT. Padahal, Pemerintah Indonesia telah mengumumkan untuk mengakhiri BIT Indonesia-Belanda pada Maret 2014 yang lalu.
Direktur eksekutif IGJ, Riza Damanik, menyatakan, “keberadaan BIT telah mengekang kedaulatan negara dalam menentukan arah kebijakan Pemerintah. Pengakhiran BIT Indonesia-Belanda pada Maret 2014 yang lalu tidak menjadi penghalang bagi PT. NNT untuk mengajukan gugatan terhadap Pemerintah Indonesia ke ICSID. Bahkan, sunset policy yang diatur dalam BIT Indonesia-Belanda semakin memberikan perlindungan hukum bagi PT.NNT hingga 30 tahun mendatang”.
BIT telah menjadi dasar untuk melindungi investor asing. Beberapa ketentuan perlindungan yang diberikan dalam BIT seperti perlindungan dari pengambil-alihan atau nasionalisasi, perlindungan dari kerugian yang diderita akibat perang, konflik, revolusi, keadaan darurat nasional, dan pemberontakan. Selain itu, BIT juga menjamin investor untuk mendapat kemudahan ataupun pengecualian pajak dan penerapan asas subrograsi.
BIT juga memberikan kepastian hukum bagi investor asing melalui ketentuan penyelesaian sengketa yang menempatkan negara sebagai pihak yang dapat digugat di meja hijau seperti ICSID. Indonesia telah digugat di ICSID sebanyak 4 kasus yaitu: 2012- Churchill Mining v. Indonesia (ARB/12/40, ARB/12/14) dengan gugatan kerugian sebesar Rp.20 triliyun; 2011-Rafat Ali Rizvi v. Indonesia (ARB/11/13) namun saat ini telah dibatalkan; 2004-Cemex Asia Holdings Ltd v. Indonesia (ARB/04/3); dan 1981-Amco Asia Corporation v Indonesia (ARB/81/1) menuntut ganti rugi sebesar US$ 12 Juta.
“Pengakhiran BIT saja tidak cukup untuk menghindarkan Indonesia dari sanksi hukum. Harus ada tindakan konkrit dari pemerintah. Pemerintah harus segera mengganti ketentuan investasi baru dengan mendasarkan pada kedaulatan dan kepentingan nasional, serta merevisi Undang-undang Penanaman Modal yang merupakan adopsi dari ketentuan BIT. Hal ini harus menjadi tugas prioritas dari pemerintahan baru yang terpilih dalam Pemilu 2014 nanti”, tutup Riza.