IVAN HADAR*
Kolom TIMES magazine, 19-25 Mei 2014
Peraih Nobel Perdamaian Johan Galtung menyebut tiga corak fundamentalisme yang menjadikan penduduk bumi sebagai sandera. Ketiganya adalah faksi Wahabi Osama bin Laden, faksi puritan Protestan asal Inggris yang kemudian menemukan lahan subur di Amerika Serikat, serta fundamentalisme pasar.
Meski berasal dari “budaya” berbeda, ketiganya memiliki filosofi serupa.
Pengikut fundamentalisme corak pertama dan kedua bertanggung jawab atas perbuatan kriminal di belakang “Tragedi 9/11/2001”, serta pemboman Afghanistan dan Irak dengan korban puluhan ribu warga sipil tak berdosa. Keduanya merasa sebagai manusia pilihan Tuhan dengan doktrin: ”siapa pun yang tak sepaham denganku, adalah musuhku”.
Fundamentalisme pasar pun tak kalah kejam. Pengikutnya tak peduli ketika dihadapkan pada kenyataan, setiap hari 100.000-an orang mati terutama karena pasar “merampok” makanan dan kesehatan mereka.
Paradigma ekonomi neoliberal yang menjadi basis fundamentalisme pasar memiliki tiga komponen pokok. Pertama, peran pasar di atas peran negara, civil society, dan sistem demokrasi partisipatoris dalam menata ekonomi serta arus barang dan modal. Kedua, peran dan cakupan sektor swasta dan kepemilikan pribadi di atas kepentingan publik. Ketiga, tata kelola pemerintahan yang baik hanya dapat dicapai melalui pasar.
Bagi pendukungnya, globalisasi yang didominasi paradigma neoliberal diyakini sebagai “mesin kemakmuran”. Bagi penentangnya, globalisasi neoliberal identik dengan “ledakan profit, yang makin menyengsarakan orang miskin”.
Karena itu, gerakan progresif sedunia melawan neoliberalisme menyerukan alternatif terhadap globalisasi neoliberal. Salah satunya adalah kerja sama gerakan sosial sedunia melalui World Social Forum dengan semboyan “Another world is possible”.
Perlawanan ini oleh Steger (Globalism, 2005) disebut “globalisasi alternatif” dengan tuntutan nasib dunia tak boleh hanya ditentukan para korporat besar dan para elite dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Globalisasi alternatif menyerukan agar globalisasi neoliberal dengan perdagangan bebasnya digantikan dengan perdagangan yang adil. Bagi Steger, relasi pasar memang penting. Tapi demi melayani kebutuhan manusia, pasar harus “dihambakan” demi kesejahteraan umat manusia.
Globalisasi neoliberal adalah perubahan berdimensi historis yang membawa permasalahan baru yang besar, seperti polarisasi dan marginalisasi sosial, perusakan lingkungan, serta erosi demokrasi. Di tengah mitos janjinya mengangkat dunia dari keterpurukan, jumlah orang miskin justru meningkat dari 800 juta orang pada tahun 1995 (ketika WTO didirikan), menjadi sekitar 850 juta orang pada 2005 dan 1 miliar orang saat ini.
Bahkan, menggunakan ukuran miskin (mereka yang berpenghasilan di bawah US$2 dolar per hari), jumlah kaum papa meningkat drastis jauh di atas 1 miliar jiwa — 135 juta orang di antaranya hidup di negeri ini.
Sementara itu, laju pertumbuhan ekonomi per kapita, baik di negara maju maupun di negara berkembang, pun melambat. Produk domestik bruto (PDB) per kapita negara-negara termiskin di dunia (dengan PDB per kapita US$ 375 – US$ 1.121 per tahun), sejak periode 1980-2000 terus melambat 0,5 persen tiap tahun (Chang 2005).
Globalisasi neoliberal membawa dunia pada jurang kemiskinan makin dalam, dengan 20% penduduk terkaya di dunia menguasai 86% total konsumsi dunia. Kelestarian lingkungan hidup memburuk dengan deforestasi mencapai 940.000 kilometer persegi per tahun di wilayah termiskin dunia sejak 1990.
Indonesia turut “berkontribusi” dengan mengaplikasikan kebijakan ekonomi neoliberal, makin banyak sektor berkaitan dengan hajat hidup orang banyak diberikan kepada para pemodal dengan jargon pasar bebas. Tengoklah sektor pertambangan, yang belakangan ini baru mulai ditata lebih ketat.
Sebelumnya, empat dekade lebih industri pertambangan mineral gagal membuktikan mitosnya sebagai penopang perekonomian, apalagi menyejahterakan penduduk lokal. Dalam lima tahun terakhir, kontribusi sektor ini hanya Rp 1,3 hingga Rp 2,3 triliun terhadap APBN, lebih kecil dari sektor kehutanan.
Korporasi tambang Freeport, misalnya, dilansir selama lebih dari empat dekade di Indonesia telah menghasilkan 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas, keuntungan bersih per tahun sekitar Rp 8.000 triliun (http://rajawalinews.com/5454/). Namun, kondisi Papua jauh dari “kemilau emas”.
Ironisnya, meski pertumbuhan ekonomi tanah Papua meningkat tajam, di atas 20% – jauh di atas rata-rata nasional, sementara PDB menduduki peringkat ketiga, nilai Index Pembangunan Manusia yang mengekspresikan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita serta rendahnya pendidikan, menempati urutan 29 (Papua Barat) dan 33 (Papua) dari 33 provinsi Indonesia.
Selain itu, Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Indonesia.
Maka, sudah saatnya rakyat Indonesia memilih untuk (kembali) berdaulat dan tidak membiarkan terjadinya “ledakan profit yang memiskinkan”. Semoga!
IVAN HADAR,
Direktur Eksekutif Indonesian IDe (Institute for Democracy Education);
Ketua Badan Pengurus IGJ (Indonesia for Global Justice).