Catatan Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Kebijakan Luar Negeri (ICFP)
RAPOR MERAH KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI SBY
Jakarta, 12 Oktober 2014
Tinggal sepekan lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan mengakhiri masa jabatannya. Rakyat akan mengingat kebijakan yang dihasilkan selama 10 tahun masa kepemimpinannya dengan segala akibatnya. Salah satu kebijakan yang penting untuk diingat oleh publik dan juga penting menjadi catatan pemerintahan mendatang adalah kebijakan politik luar negeri.
Indonesia sangat aktif mengikuti berbagai forum-forum kerjasama internasional baik dalam G20, APEC, WTO, maupun ASEAN. Namun, keterlibatan tersebut masih belum mampu memenangkan kepentingan nasional. Bahkan, kebijakan luar negeri yang dikomitmenkan oleh SBY lebih banyak membawa kerugian bagi Indonesia baik dari sisi kerjasama ekonomi, politik, dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Forum Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Luar Negeri (Indonesia Civil Society Forum for Foreign Policy) mencatat kegagalan kebijakan luar negeri SBY meliputi:
1. Gagal melindungi buruh migran. Kebijakan politik luar negeri pemerintahan SBY tidak berhasil melindungi buruh migran Indonesia yang tersebar di berbagai negara. Migrant Care mencatat sepanjang 2013 setidaknya ada 398.270 kasus yang menimpa buruh migran di berbagai negara tujuan. Para korban mayoritas perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga, khususnya yang bekerja di Malaysia dan Arab Saudi. Pada tahun 2013, Migrant Care juga mencatat 265 tenaga kerja Indonesia terancam hukuman mati di luar negeri. Sepanjang 10 tahun masa pemerintahan SBY, ada tiga buruh migran Indonesia (Yanti Iriayanti, Agus Damnsiri dan Ruyati) dieksekusi mati tanpa pembelaan yang berarti.
2. Pemenuhan pangan bergantung impor. Indonesia menjadi negara yang pangannya bergantung pada impor. BPS mencatat Indonesia mengimpor 472,7 miliar ton beras di tahun 2013. Sementara harga beras eceran semakin mahal. Pada bulan Februari 2014 harga beras mencapari Rp 11.389 per kilo dari Rp 10.819 per kilo di Februari 2013. Kedelai lebih parah lagi di mana sekitar 70% dari kebutuhan di dalam negeri harus impor. Tercatat sebagian besar produk pangan harus didatangkan melalui impor. Ini menunjukkan kegagalan diplomasi Indonesia di bidang perdagangan dan kedaulatan pangan.
3. Ekspor berbasis eksploitasi sumber daya alam. Melalui dokumen RPJMN 2015-2019, strategi pembangunan masih menyandarkan pembangunan disektor sumberdaya alam. Untuk menopang hal tersebut dibangun rancangan induk pembangunan MP3EI. Desain MP3EI bukan hanya melestarikan dan memperluas pemberian konsesi-konsesi skala besar untuk produksi komoditas global tersebut, melainkan juga memperdalamnya melalui kebijakan pengolahan komoditas hingga ke tingkat hilir, atau biasa disebut dalam dokumen MP3EI sebagai hilirisasi. Dengan kebijakan hilirisasi semacam ini artinya negara secara lebih lanjut memperluas pembentukan kawasan-kawasan ekonomi atau kawasan industri.
4. Investasi lebih berpihak kepada korporasi ketimbang publik. Indikatornya meliputi pertama meskipun investasi asing naik dari 2011 hingga 2013, namun penyerapan kerja malah menurun. Sementara investasi lebih bertumpu pada sektor jasa seperti sektor keuangan, komunikasi, dan telekomunikasi dibanding sektor padat karya. Kedua, bertumpu pada swasta melalui skema PPP (Public Private Partnership). Indonesia gencar mengusulkan investasi swasta untuk pembangunan infrastruktur menggunakan skema pembiayaan PPP (Public Private Partnership) yang lebih menguntungkan swasta dibanding publik. Contohnya dalam pembangunan PLTU Batang yang menggunakan skema PPP diwarnai protes masyarakat pemilik lahan dan nelayan, namun tetap saja pemerintah memaksa PLTU tetap dibangun. Pola ini memperlihatkan bahwa arah politik investasi Indonesia memiliki kepatuhan yang dalam terhadap policy driving yang didesain oleh lembaga keuangan internasional tanpa mempertimbangan dimensi konstitusi.
5. Diplomasi perubahan iklim minim implementasi di dalam negeri. Komitmen Pemerintah SBY untuk menurunkan emisi karbon hingga 20% hanyalah isapan jempol belaka. Meski mendapatkan apresiasi negara lain di luar negeri namun tidak begitu kenyataan di dalam negeri. Mengingat sejak Pemerintah SBY, Indonesia tak pernah menunjukkan upaya serius untuk menghentikan laju deforestasi. Melainkan terus menerus mengeluarkan kebijakan konversi hutan alam. Bukti nyata antara lain seperti mengeluarkan 20 izin RKT seluas ratusan ribu hektar diatas hutan alam di propinsi Riau pada tahun 2008 untuk mendukung kebutahan kayu industri bubur kertas dan terus akan mengembangkan perkebunan monokultur seluas 12,9 juta hektar di 12 wilayah untuk mendukung program penggunaan bahan bakar minyak nabati di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pemerintah untuk terus meningkatkan produksi CPO sebesar 40 juta ton pada tahun 2020 untuk mendukung kebutuhan eksport sebesar 60% dan sisanya untuk kebutuhan energi, pangan dan lain sebagainya. Padahal sebagaimana yang kita ketahui setiap satu ton CPO akan menghasilkan dua ton CO2(Wetlands International, 2006). Kebijakan untuk terus mengkonversi hutan alam tentu saja bertentangan dengan apa yang menjadi perhatian bersama negara-negara di dunia untuk segera mengurangi emisi dari sector kehutanan dan perkebunan pada tahun 2020.
6. Ekstraktif Industri dan Tunduknya Negara Terhadap Korporasi Raksasa dan Multinasional. Negara memberikan dan memperluas konsesi skala besar untuk produksi komoditas global kepada korporasi-korporasi raksasa di bidang pertambangan, perkebunan dan kehutanan untuk memproduksi beragam komoditas global atau komoditas keperluan ekspor. Model semacam ini sebenarnya telah berjalan sejak masa kolonial.
‒ Pada wilayah hutan, misalnya, negara memberikan konsesi-konsesi yang berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan untuk Tanaman Industri (HPHTI), yang merupakan dua bentuk konsesi kehutanan terutama untuk ekstrasi kayu. Hingga tahun 2005, luas areal konsesi kehutanan yang tersisa sekitar 28 juta hektar yang dikuasai hanya oleh 285 unit. Dengan lain kata, setiap unit menguasai sekitar 98.000 hektar lahan. Negara secara terbuka dengan skema investasi memberikan keleluasaan bagi rejim perdagangan untuk memutar stagnasi finansial ke berbagai sektor di Indonesia. Pencabutan izin HPH tahun 2004 dan berganti dengan IUPHHK Hutan Alam tahun 2006 seluas 4,1 juta hektar. Pada tahun 2012 melonjak lebih dari 5 kali lipat menjadi 20,2 juta hektar melalui 313 izin.
‒ Sementara, untuk Konsesi Pertambangan negara memberikan sejumlah ijin yang berupaKontak Karya (KK), Kuasa Pertambangan (KP), atau Izin Usaha Pertambangan bagi beroperasinya industri tambang skala besar. Hingga tahun 1999 saja, Departemen Pertambangan mengalokasikan sekitar 264,7 juta hektar lahan untuk 555 perusahaan pertambangan, baik perusahaan dalam negeri (swasta dan BUMN) dan perusahaan asing, untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi barang tambang. Dengan kata lain, rata-rata setiap perusahaan menguasai sekitar 0,5 juta hektar tanah melalui izin konsesi pertambangan.
‒ Untuk usaha perkebunan, negara memberikan Hak Guna Usaha (HGU) atau Izin Usaha Perkebunan untuk berbagai macam usaha perkebunan (Bachriadi dan Wiradi 2011: 12-14). Data tahun 2013 saja, misalnya, mencatat lebih dari 13,5 juta hektar diperuntukkan hanya untuk perkebunan sawit. Lebih dari separuhnya adalah perkebunan milik koorporasi asing, domestik, maupun perusahaan negara. Dalam waktu 6 tahun terakhir juga terjadi peningkatan pemberian izin terhadap HTI lebih dari 2 kali lipat dari 108 izin seluas 3,5 juta hektar menjadi 221 izin dengan total luas 8,8 juta hektar. Dimana terjadi peningkatan pengeluaran izin penebangan hutan alam seluas 16 juta hektar dalam waktu 6 tahun atau rata rata diatas 3,7 juta hektar setiap tahun. Pengeluaran izin ini sangat kuat kaitannya dengan perhelatan politik dimana terjadi lonjakan pengeluaran izin pada tahun 2009 pada IUPHHK-HA 44 izin dan 34 izin pada IUPHHK-HTI dengan luas 4,7 juta hektar.
7. Transparansi dan akuntabilitas sektor sumberdaya alam dan ekstraktif masih jauh dari harapan. KPK pernah mengingatkan korupsi di sektor minyak bumi dan gas merupakan yang terbesar. Selain itu, data hasil tim koordinasi dan supervisi KPK di sektor mineral dan batubara menyebutkan potensi kerugian Negara mencapai Rp 35,6 triliun. Pemerintahan SBY ternyata tidak mampu menciptakan perbaikan yang signifikan dalam proses tata kelola sektor migas dan minerba. Sejumlah pekerjaan rumah masih disisakan oleh SBY, seperti renegosiasi kontrak tambang-migas, pengurangan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak bertanggungjawab, maraknya praktek rente disektor migas dan minerba. Pemerintahan SBY juga tidak mampumemrpendek rente perdagangan minyak mentah untuk efisiensi dan kebutuhan domestik.
8. Ketiadaan komitmen pemerintah dalam mendorong penghormatan standar HAM dan perlindungan buruh anak pada rantai pasokan barang dan jasa. Indonesia telah memiliki UU No. 13 tahun 2007 mengenai pekerja anak. Aturan ini menyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak, namun pada bagian lain undang-undang ini menyatakan pengecualian bagi anak yang berumur 13 ( tiga belas ) tahun sampai dengan 15 ( lima belas ) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. Ketidaktegasan ini berimplikasi pada lemahnya penegakan aturan, inspeksi dan monitoring untuk mengidentifikasi, melaporkan dan mengatasi masalah pekerja anak pada setiap tahapan dan mata rantai produksi berbagai perusahaan tersebut. Berdasarkan data dari Survei Tenaga Kerja Nasional (2010), terdapat sekitar 4,7 juta anak berusia 10 – 17 tahun yang aktif secara ekonomi. Dan dari total jumlah pekerja anak tersebut, sekitar 3.4 juta anak diserap oleh pasar sebagai pekerja. Besarnya pasar yang ada di Indonesia sebagai implikasi dari globalisasi menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya eksploitasi ekonomi pada anak di setiap tahapan dan mata rantai produksi
9. Tidak mampu menangani pelarian dan penghindaran pajak. Sedikitnya ada Rp 500 triliun potensi pajak yang hilang akibat berlindung di surga pajak (tax havens). Menurut Studi INFID dan Perkumpulan Prakarsa mencatat ada Rp 3.600 triliun aset orang-orang superkaya yang belum dikenai pajak akibat penghindaran pajak. Pemerintah Indonesia masih sangat enggan menjadi bagian dari komitmen internasional untuk memerangi kejahatan perpajakan lintas negara.
10. Diplomasi Kerjasama Ekonomi yang semakin mendorong liberalisasi dan merugikan petani, nelayan, buruh, perempuan, dan usaha rakyat kecil. Bukti nyata adalah ketika Indonesia menjadi Tuan Rumah KTM 9 WTO tahun 2013. Saat itu, pilihan strategi diplomasi SBY lebih memfasilitasi kepentingan korporasi dalam agenda Trade Facilitation dibandingkan mempertahankan kepentingan petani dalam proposal pertanian yang hendak menghapus pembatasan subsidi untuk petani.
Kegagalan demi kegagalan ini memperlihatkan bahwa klaim keberhasilan peran diplomasi Indonesia yang ditunjukkan dalam keaktifan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di forum internasional adalah klaim yang semu dan tidak mendasar karena tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat Indonesia.
Memang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu bangga menjadi Cho-Chair dalam High Level Panel of Eminent Person of Post-2015 Development Agenda, Ketua ASEAN di tahun 2011, Ketua APEC di tahun 2013 dan Tuan Rumah KTM WTO 2013 serta secara reguler menyelenggarakan dialog demokrasi di Bali (Bali Democracy Forum) sejak 2008, namun tampaknya sederetan catatan itu tak lebih dari upaya pencitraan.
Dalam mekanisme UN, Indonesia juga menjadi anggota berbagai mekanisme HAM PBB dan menjadi peratifikasi Konvensi PBB, namun tak pernah mampu memaksimalkan dan memanfaatkannya untuk penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Bahkan dalam rekomendasi UPR dan Komite Hak Sipil Politik dan Hak Ekonomi Sosial Budaya PBB, Indonesia masih menanggung banyak utang penegakan HAM yang belum tuntas.
Ironi terakhir terlihat di Bali Democracy Forum yang digelar 10-12 Oktober 2014, forum yang membicarakan masa depan demokrasi global ini digelar pada saat demokrasi di Indonesia berada dalam ancaman setelah UU Pilkada mengakhiri era pilkada langsung yang demokratis. Akibat kondisi tersebut, masyarakat harus menanggung beban yang teramat berat. Harga pangan melonjak, lapangan kerja terbatas, bencana akibat rusaknya alam, ketimpangan yang kian meningkat, hingga kekerasan terhadap perempuan meningkat baik di rumah tangga maupun di tempat kerja.
Oleh karena itu masyarakat sipil Indonesia meminta pemerintahan Jokowi-JK untuk tidak mengulang kebijakan yang sama. Kebijakan politik luar negeri hendaknya mencerminkan kepentingan nasional yaitu mendorong keadilan sosial dan mensejahterakan rakyat, serta berperan aktif dalam menjaga perdamaian dan ketertiban dunia.
Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Kebijakan Luar Negeri (Indonesia Civil Society Forum on Foreign Policy/ICFP): INFID, IGJ, WALHI, PWYP, WVI, PATTIRO, Migrant CARE, ASPPUK, Koalisi Perempuan Indonesia, Bina Desa
Kontak:
INFID – Nikmah (08588 1305 213)
IGJ – Rachmi (0817 4985 180)
Migrant Care – Wahyu susilo (0812 9307 964)
Walhi – Irhas Ahmadi
PWYP – Agung Budiono