Mahkamah Konstitusi Mengabulak Gugatan Pemohon
VIVAnews – Petani Indonesia kini bebas menggunakan tanah milik pemerintah untuk dikelola sebagai lahan pertanian. Sebab, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal 59 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pada Rabu 5 November 2014.
Dalam pasal itu disebutkan bahwa petani memperoleh lahan pertanian dan diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
Gugatan itu diajukan oleh beberapa organisasi diantaranya Aliansi Petani Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan, Yayasan Bina Desa Sadajiwa.
Padahal pada pasal 58 ayat 1 disebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan jaminan luasan lahan Pertanian.
Mahkamah mengatakan, bahwa sewa menyewa tanah antara negara dengan warga negara khususnya petani adalah politik hukum yang sudah ditinggalkan sejak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sejatinya, aturan tersebut merupakan peninggalan Hindia Belanda yang bersifat eksploitatif terhadap rakyat.
Namun jika negara melakukan sistem sewa, hal itu justru bertentangan dengan prinsip pemberdayaan petani yang dianut dalam UUPA yang melarang sewamenyewa tanah antara negara dengan petani.
Menurut Mahkamah, negara dapat saja memberikan izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan kepada petani terhadap tanah negara bebas yang belum didistribusikan kepada petani, tapi negara atau pemerintah tak boleh menyewakan tanah tersebut kepada petani.
“Sewa menyewa tanah antara negara atau Pemerintah dengan petani bertentangan dengan prinsip pengelolaan bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Hakim MK, Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan keputusan.
Dilain hal, MK menolak permohonan pemohon yang meminta agar tanah pemerintah yang diredistribusi kepada petani menjadi hak milik petani. Sebab, pemberian hak milik kepada petani atas tanah negara bebas yang menjadikan kawasan pertanian sangat berpotensi akan mengubah kebijakan politik negara untuk mempertahankan suatu kawasan pertanian menjadi kawasan non pertanian.
Apabila diberikan hak milik kepada para petani, maka itu akan dimiliki secara turun temurun dan bebas untuk dialihkan, dan diperjualbelikan yang pada akhirnya juga dapat mengubah peruntukan kawasan pertanian menjadi peruntukan yang lain sehingga akan mengurangi kawasan pertanian.
Pemberian hak milik kepada petani, kata Ahmad memang akan memberikan kepastian kepada para petani untuk memiliki tanah, tetapi dalam hal ini pemberian hak milik tersebut akan mengancam upaya negara untuk mempertahankan suatu kawasan sebagai kawasan pertanian.
Tanpa diberikan hak milik para petani pun dapat diberdayakan untuk memanfaatkan kawasan pertanian tersebut dengan memberikan izin pengelolaan, izin pengusahaan, dan izin pemanfaatan.
Penguatan Petani
Kemudian, mengenai gugatan pasal 70 ayat, Mahkamah berpendapat penguatan kelembagaan petani memang sangat perlu dilakukan oleh negara dalam rangka pemberdayaan petani, untuk itu bisa saja negara membentuk organisasi-organisasi petani dengan tujuan memberikan perlindungan dan pemberdayaan petani, namun tidak dapat diartikan bahwa negara mewajibkan petani harus masuk dalam kelembagaan yang dibuat oleh pemerintah atau negara tersebut.
Petani, kata Ahmad, harus diberikan hak dan kebebasan untuk bergabung atau tidak bergabung dengan kelembagaan petani bentukan pemerintah dan juga dapat bergabung dengan lembaga bentukan petani sendiri.
Atas pertimbangan itu, Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva mengatakan bahwa frasa “sewa” dalam pasal 59 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian pada pasal 70 ayat 1 mengenai kelembagaan petani, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh petani”. Sehingga pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga. Pasal 70 ayat (1) selengkapnya menjadi, “Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) terdiri atas: a.Kelompok Tani; b. Gabungan Kelompok Tani, c. Asosiasi Komoditas Pertanian, dan d. Dewan Komoditas Pertanian Nasional, serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”.
Sementara kata berkewajiban dalam pasal 71 itu bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga padal 71 selengkapnya menjadi “Petani bergabung dan
berperan aktif dalam Kelembagaan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)”.
“Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” kata Hamdan.
Sebelumnya, Kuasa Hukum Pemohon, Beni Dikty Sinaga menggugat UU Perlitan ini karena dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga menyebabkan adanya pelangaran hak asasi petani. Norma tersebut tidak meredistribusi tanah kepada petani sehingga tidak ada jaminan kepastian hak atas tanah bagi petani. Pasalnya, norma tersebut hanya mengatur tentang konsolidasi tanah, tanah terlantar dan tanah negara bebas yang bisa diredistribusi kepada petani.
Tanah itu tidak menjadi hak petani tetapi hanya hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
Hak sewa berarti petani penggarap membayar sewa terhadap negara sebagai pemiliknya. Tentunya hal tersebut menyulitkan petani untuk memperoleh kehidupan yang layak, mengingat petani merupakan masyarakat yang kurang mampu membayar sewa dan perizinan. Perlakuan itu akan menjerumuskan petani dalam perangkap lintah darat dan sistem ijon.
UU ini juga mengabaikan bentuk kelembagaan petani katena keyentuian yersebut diangap sebagai bentuk praktek korporatisme negara di mana pemerintah memfasilitasi terbentuknua dan menentukan bentuk lembaga petani.
Petani hanya diperbolehkan berorganisasi dalam wadah yang sudah ditentukan negara. Pemohon juga menganggap bahwa pemerintah telah mengintervensi hak petani untuk bebas menentukan atau ikut serta dalam keanggotaan ataupun menjadi pengurus organisasi dalam kehidupan bermasyarakat. (ren)
© VIVA.co.id
Sumber :
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/555264-petani-tak-perlu-sewa-lahan-pemerintah-untuk-pertanian