Sudah sering kita mendengar kasus-kasus perampasan hak-hak masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau disebut Trans National Corporation (TNC). Sebut saja Nestle, Danone, Unilever, Newmont, Monsanto, BASF, Coca-Cola, Charoen Pokpand, GAP, bahkan Indofood, Sinar Mas, Bakrie Group, dan masih banyak lagi. Kesemuanya itu perusahaan transnasional yang memiliki unit usaha diseluruh dunia.
Dalam menjalankan bisnisnya tak ayal mereka sering melakukan tindakan-tindakan yang merugikan bahkan mencederai masyarakat, seperti: perampasan lahan, pengrusakan lingkungan, mengkriminalisasi petani dan nelayan, mengeksploitasi buruh tanpa upah yang layak, menggelapkan pajak, dan melanggar hak-hak asasi manusia.
Faktanya, dalam 10 tahun terakhir, sedikitnya ada 1379 konflik agraria di seluruh sektor. Luas konflik lahan sampai Agustus 2014 adalah 4,1 Juta Hektar yang melibatkan 9 ribu KK.
Sementara, Walhi menunjukkan aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit yang merusak kawasan hutan telah menimbulkan bencana ekologi. Di tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah bencana menjadi 1392 kali (293%). Bencana tersebut melanda 6727 desa/kelurahan yang tersebar di 2787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 565 jiwa .
Namun, hingga sekarang belum ada satu pun Negara yang mampu menghukum perusahaan transnasional secara berimbang. Bahkan, seringkali tindakan tersebut dilindungi oleh berbagai perjanjian internasional yang dituangkan kedalam hukum nasional.
Rezim Perjanjian Investasi Internasional
Perjanjian investasi internasional merupakan sebuah landasan hukum internasional yang mengatur mengenai aktivitas investasi asing yang masuk ke sebuah Negara. Idealnya dengan perjanjian ini investasi asing dapat diawasi praktiknya di Negara tuan rumah (Host Country) sehingga tidak melanggar peraturan perundang-undangan domestic dan hak-hak yang dimiliki.
Namun, dalam praktiknya perjanjian ini lebih cenderung mengatur mengenai perlindungan investor asing atas investasi yang ditanamkan di luar Negara asalnya (Home Country). Salah satu dari perjanjian investasi internasional ini adalah perjanjian investasi bilateral (Bilateral Investment Treaty/BIT) yang ditandatangani antara Negara tuan rumah dan Negara asal investasi.
Beberapa standar perlindungan investasi yang diatur dalam BIT seperti, (1) perlakuan yang setara dan adil atau tidak ada diskriminasi dari segala jenis investasi baik asing maupun domestik; (2) penerapan prinsip National Treatment dan Most Favoured Nation; (3) perlindungan dari tindakan pengambil-alihan atau nasionalisasi; (4) dan mekanisme penyelesaian sengketa, baik state-to-state maupun investor-to-state .
Bahkan, ada juga BIT yang memasukan klausul perlindungan yang memungkinkan investor melakukan transfer uang dan perlindungan dari keadaan perang dan gangguan sipil. Skema perlindungan ini telah diadopsi oleh Pemerintah Indonesia ke dalam Undang-undang Penanaman Modal No.25 tahun 2007 .
Karakter perlindungan BIT didorong oleh perubahan situasi ekonomi-politik dunia pada saat itu dimana negara-negara terjajah satu-persatu mulai merdeka dan menimbulkan rasa takut yang besar bagi investor (khususnya dari negara penjajah) akan tindakan pengambil-alihan aset investasinya, khususnya terkait penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang selama periode kolonialisasi berada di bawah kekuasaannya . BIT yang pertama kali ditandatangani di dunia adalah pada tahun 1959 antara Jerman dengan Pakistan. UNCTAD menyebutkan, saat ini total jumlah BIT di dunia telah mencapai sebanyak 3000, dan Indonesia sendiri telah menandatangani sebanyak 64 BIT.
Skema perlindungan investor dalam BIT yang paling efektif adalah melalui mekanisme penyelesaian sengketa. Mekanisme ini mampu menyandera pemerintah dalam membuat kebijakan. Pelanggaran terhadap ketentuan BIT dapat berdampak terhadap kemungkinan Indonesia digugat di lembaga penyelesaian sengketa internasional seperti di ICSID, UNCITRAL, maupun lembaga arbitrase internasional lainnya. Hampir 75% dari seluruh kasus Indonesia yang dibawa ke ICSID ataupun UNCITRAL atas dasar BIT berada di sektor sumber daya alam, khususnya pertambangan dan migas. Contohnya kasus Newmont (2014) dan Churcill Mining (2012).
Kerugian yang diderita Indonesia akibat investasi di sektor pertambangan bukan hanya sekedar kerugian finansial yang merong-rong anggaran negara, melainkan kerugian atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat praktik investasi di sektor pertambangan dan sumber daya alam lainnya.
Terlebih, dalam menjalankan bisnisnya investor asing sering menjalankan praktek-praktek kecurangan yang akhirnya merugikan Indonesia terhadap hilangnya pendapatan negara melalui penggelapan ataupun penghindaran pajak.
Namun, BIT tidak didesain untuk dapat menghukum perusahaan transnasional yang melakukan tindakan kejahatan yang merugikan negara dan melanggar hak-hak asasi masyarakat. Bahkan negara asal pun tidak diwajibkan untuk dapat memberikan sanksi hukuman kepada perusahaan transnasional yang melakukan pelanggaran di negara tujuan investasi.
TNCs Harus Bertanggung Jawab !!!
Perusahaan transnasional seperti tak tersentuh hukum. Namun mampu melakukan intervensi dalam menentukan arah kebijakan ekonomi dan politik negara. Bahkan, sering kali aparatur keamanan negara dipakai untuk menjaga kepentingan bisnisnya dari amukan masyarakat yang selama ini terkena dampak buruk dari praktik usaha yang dijalankannya.
Upaya untuk membuat mekanisme yang dapat mengontrol aktifitas bisnis TNCs hingga mengatur pemberian sanksi sudah dilakukan sejak tahun 1970 di Organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, perjuangan ini berakhir pada pembentukan Guidelines (panduan) bagi TNCs dalam melaksanakan bisnisnya agar tidak melanggar HAM pada tahun 2003. Tapi sifatnya hanya sukarela (volutary). Tentu saja ini tidak cukup adil bagi masyarakat yang hak-haknya terlanggar.
Ditengah kebuntuan dalam mencari keadilan, kesadaran akan pentingnya menegakan kedaulatan negara dari pengaruh TNCs mulai tumbuh. Pada 2013, diawali oleh Negara-negara di Amerika Latin (Bolivia dan Ekuador) mulai mereview dan merevisi Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) karena mengancam kedaulatan negaranya. Hal ini karena mereka sering digugat oleh TNCs ke Arbitrase Internasional (ICSID) akibat membuat kebijakan yang pro rakyat seperti tindakan menasionalisasi ataupun pengetatan pajak.
Tindakan ini kemudian diikuti oleh Afrika Selatan yang juga menyatakan akan melakukan revisi BIT yang selama ini merugikan mereka. Upaya revisi dilakukan dalam rangka meminimalisir kerugian dari unsur aturan perlindungan investasi. Bahkan cenderung menggantinya dengan aturan-aturan yang lebih merepresentasikan kepentingan nasional.
Nampaknya Indonesia pun tak mau ketinggalan. Pada Maret 2014 Pemerintah Indonesia telah membatalkan BIT antara Indonesia dan Belanda. Dan berencana menghentikan ke 62 BIT lainnya yang telah ditandatangani oleh Indonesia. Saat ini Pemerintah sedang dalam proses melakukan penyusunan ulang terhadap model perjanjian investasi internasional (BIT) yang baru.
Namun, upaya penghentian BIT disadari tidak akan mungkin dapat menghentikan kekuatan TNCs dalam mencengkram kedaulatan sebuah negara secara permanen. Hingga akhirnya pada September 2013, Pemerintah Ekuador dan Amerika Latin serta Afrika Selatan mendorong proposal kepada UNHRC mengenai pentingnya instrumen yang mengikat secara hukum untuk mengontrol aktivitas bisnis TNCs . Instrumen ini nantinya akan menempatkan TNCs sebagai subyek yang harus bertanggung jawab dalam berbagai pelanggaran Hak asasi manusia yang selama ini dilakukannya.
Dan tepat pada Juni 2014, dalam rapat UNHRC ke 26 di Jenewa akhirnya disepakati sebuah resolusi untuk menginisiasi proses pembentukan ‘Treaty Binding’ melalui pembentukan Intergovernmental Working Group. Namun, keberhasilan ini bukan dalam arti semua negara menyepakati. Tetapi melalui proses perdebatan dan lobby yang panjang dari negara-negara industri seperti AS, EU, Jepang, dan Inggris. Resolusi tersebut akhirnya disepakati oleh 20 negara, 13 abstain, dan 14 menolak .
Indonesia termasuk negara yang ikut menyepakati resolusi UN tersebut. Artinya, komitmen negara untuk mengembalikan kedaulatan negara dan memperbaiki rezim kebijakan investasi yang saat ini diintervensi oleh korporasi dapat menjadi kekuatan bagi perjuangan masyarakat sipil Indonesia.
Momentum ini dapat menjadi sebuah energi baru bagi masyarakat pencari keadilan di Indonesia. Keterlibatan masyarakat dalam inisiasi ini menjadi sangat penting.
Paling tidak ada 2 (dua) dokumen penting yang harus diinisiasi oleh organisasi masyarakat sipil di Indonesia, yakni: Pertama, revisi Perjanjian investasi bilateral (BIT) yang saat ini masih dibahas di BKPM; Kedua, UN Treaty Binding on Corporate Crimes yang saat ini baru dimulai prosesnya.
UN Treaty Binding akan dapat mempengaruhi wajah revisi perjanjian BIT Indonesia. Paling tidak dalam menemukan substansi pengaturan yang tepat dalam rangka menghentikan kekuatan korporasi yang selama ini mengangkangi kedaulatan negara.***
—————————————
[1] Dokumen KNRA, Bab 6: Penataan Perdagangan dan Investasi di Lapangan Agraria dan Sumber Daya Alam Serta Pengembangan Kerjasama Luar Negeri untuk Reforma Agraria, 2014.
[1] Luke Eric Peterson, “Bilateral Investment Treaties and Development Policy Making”, IISD, 2004
[1] IGJ, Bilateral Investment Treaty, 2014.
[1] Howard Mann, “Reconceptualizing International Investment Law: Its Role In Sustainable Development”, Lewis & Clark Law Review, Vol.17-2.
[1] Brid Brennan, UN Meeting Provides Historic Opportunity to Stop Corporate Impunity, TNI, 2014.
[1] TNI, “Social Movements Celebrate Historic UN Vote Against Impunity”, 2014.