“Kerugian negara dengan adanya penerapan BIT muncul akibat adanya korporasi transnasional yang bergerak di bawah legalisasi negara. Padahal, BIT itu kan sifatnya hanya G2G (government to government),“ kata Rachmi saat konferensi pers di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, regulasi BIT membuat perusahaan asing berani menggugat pemerintah di pengadilan internasional. Dia mencontohkan perusahaan asal Inggris, Churchill Mining, yang menggugat pemerintah Indonesia melalui lembaga arbitrase internasional. Churchill bisa menggugat pemerintah akibat adanya klausul yang memperbolehkan hal tersebut dalam investasi bilateral kedua negara. “Akibat gugatan Churchill itu, negara berpotensi dirugikan Rp14,4 triliun. Angka itu kan setara dengan subsidi pangan,“ kata dia. (Jay/E-3)
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/