Pasalnya, perjanjian seperti ini hanya merugikan negara dan menguntungkan korporasi ketika timbul gugatan atau sengketa hukum.
JAKARTA – Pemerintah Indonesia diminta segera merevisi atau menghentikan 46 bilateral investment traeties (BITs) atau perjanjian investasi bilateral. Pasalnya, perjanjian seperti ini hanya merugikan negara dan menguntungkan korporasi ketika timbul gugatan atau sengketa hukum.
“Indonesia telah menandatangani 64 BITs. Ada 18 perjanjian yang sudah dibatalkan karena merugikan pemerintah Indonesia,” kata Kepala Bidang Riset dan Monitoring Institut for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, Senin (25/5).
Perjanjian investasi bilateral ini dalam praktiknya lebih menguntungkan perusahaan multinasional atau korporasi karena bisa menuntut negara ketika menghadapi sengketa hukum. Negara dan korporasi seharusnya tidak memiliki kedudukan yang sama karena korporasi tidak dipilih rakyat.
Ia menyatakan, di Indonesia tercatat ada kasus antara Pertamina bersengketa dengan Karaha Bodas Company (KBC), Newmont, Aramco, dan terakhir Churchill Mining. Kasus-kasus yang terjadi banyak yang disembunyikan dan diselesaikan secara diam-diam sehingga merugikan rakyat Indonesia.
“Sebagai contoh dalam kasus KBC. Pertamina harus bayar sekitar US$ 261 juta. Ini amat merugikan rakyat Indonesia karena yang digunakan untuk membayar adalah uang rakyat,” tutur Rachmi.
Rachmi mengatakan, gugatan terakhir yang muncul di publik adalah dilakukan perusahaan pertambangan Inggris Churcill Mining yang merasa dirugikan penerbitan izin ganda wilayah pertambangan yang dilakukan Pemerintah Daerah Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur.
“Churchill Mining menuntut ganti rugi sebesar US$ 1,2 miliar kepada pemerintah. Namun, kami tidak tahu prosesnya seperti apa karena tidak ada transparansi dalam penyelesaian di ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes),” ucap Rachmi.
Third World Network IGJ, Lutfiyah Hanim menyatakan, ICSID lebih buruk dibandingkan pengadilan di Indonesia.
“ICSID menggunakan arbitrator dan bukan hakim. Arbitrator itu ada tiga orang ditunjuk pihak-pihak yang berperkara,” tuturnya. Hal ini menyebabkan rawan terjadinya kolusi diantara korporasi dan pejabat pemerintah yang menyelesaikan sengketa.
Menurutnya, jika korporasi kalah dalam sengketa maka negara tidak boleh menggugat balik sehingga mekanisme banding bersifat terbatas. Arbitrase seperti ini hanya menguntungkan korporasi dan merugikan negara.
Oleh karena itu, ia menambahkan negara-negara maju seperti Uni Eropa dan AS berupaya merevisi perjanjian perdagangan seperti ini.
“Sebagai contoh, ada perusahaan AS di Kanada dinyatakan kalah dalam pengadilan Kanada, namun menggugat ke ICSID sehingga membuat pemerintah Kanada menjadi geram dan mengancam akan menutup bisnis korporasi tersebut.
Ia menyatakan, penghentian BITs antara Belanda dan Indonesia pada Maret 2014 harus dilanjutkan dengan negara-negara lain. Per Maret 2015, Indonesia telah mengirimkan surat notifikasi penghentian kepada 17 negara, yakni Bulgaria, Italia, Korea Selatan, Malaysia, Mesir, Slovakia, Spanyol, Tiongkok, Kirgistan, Laos, Prancis, Kamboja, India, Norwegia, Rumania, Turki, dan Vietnam.
Penghentian BITs ini dalam rangka menyusun ulang model perjanjian investasi internasional (BITs) baru yang lebih menekankan kepentingan nasional.
Sumber : Sinar Harapan
http://sinarharapan.co/news/read/150526012/pemerintah-diminta-revisi-46-perjanjian-bilateral4