Jakarta (30/06)– Indonesia for Global Justice memberikan catatan evaluasi enam bulan kinerja Pemerintahan Jokowi-JK di bidang sosial ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang melambat, laju inflasi yang meningkat, dan jumlah pengangguran yang bertambah perlu mendapat perhatian dari Kabinet Kerja. Demikian terungkap saat peluncuran hasil studi IGJ berjudul: “Setengah Tahun Kinerja Sosial Ekonomi Kabinet Kerja” di Jakarta, (30/6).
“Mengkambinghitamkan kondisi ekonomi global, adalah bentuk ingkar tanggung jawab sebagai pemerintah. Realisasi pertumbuhan ekonomi yang jauh dari target menunjukkan ada persoalan serius dalam pilihan prioritas dan strategi Kabinet Kerja“, demikian disampaikan Niko Amrullah, Kepala Kampanye IGJ.
Target pertumbuhan ekonomi 5,7 persen pada 2015, hingga kini belum ada gejala optimis untuk terwujud. Ekonomi Indonesia pada kuartal I 2015 mengalami kontraksi sebesar 0.18 dibandingkan kuartal sebelumnya (q to q). Jika dibandingkan dengan kuartal I 2014, laju pertumbuhan ekonomi saat ini mengalami perlambatan. Pertumbuhan ekonomi sebesar 4,71 persen ini, merupakan angka terburuk dalam lima tahun terakhir.
Merujuk data BPS, kata Niko, pada Februari 2015 jumlah pengangguran meningkat sebanyak 210 ribu orang dibandingkan Agustus 2014, dan meningkat sebanyak 300 ribu dibandingkan Februari 2014. Jumlah pengangguran seharusnya menjadi indikator sehat-tidaknya kinerja ekonomi suatu negara. Kelesuan ekonomi nasional pada kuartal I 2015, berimbas kepada bertambahnya jumlah pengangguran. Berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian menjadi penyumbang terbesar. Hal ini diperkuat oleh menurunnya Nilai Tukar Petani pada 6 bulan terakhir.
Kepala Kerjasama Antarlembaga dan Hubungan Internasional IGJ Priska Sabrina Luvita menjelaskan bahwa pada Februari 2015 terdapat 10,04 juta orang (8,31 %) penduduk bekerja berstatus setengah penganggur, yaitu mereka yang bekerja tidak penuh dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan yang juga mengalami kenaikan.
Priska menjelaskan bahwa serapan tenaga kerja pada kuartal I 2015 kerja-kerja tanpa kepastian yang tetap dan kerja informal yang mendominasi 57,94% dari Angkatan Kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah belum mampu menciptakan kepastian kerja bagi rakyatnya.
Pun, tingkat pengangguran berpendidikan yang meningkat 1,84 juta orang untuk lulusan SMK, 1,62 juta orang untuk lulusan Diploma I/II/III, dan 1,03 juta orang lulusan Universitas juga mengkhawatirkan bagi serapan tenaga berpendidikan di Indonesia dalam menyambut pengembangan Sumber Daya Manusia dalam isu bonus demografi dan arus tenaga kerja asing di Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Untuk itu, lanjut Priska, IGJ memberikan 4 (empat) butir rekomendasi. Pertama, menjaga kepastian kerja dengan menghapus sistem alih daya (outsourcing), serta merealisasikan janji “upah layak, kerja layak, dan hidup layak”. Kedua, mengurangi ketimpangan distribusi pembangunan di wilayah luar Pulau Jawa dan Sumatera. Ketiga, tidak melepaskan penentuan harga BBM subsidi kepada mekanisme pasar. Terakhir, memprioritaskan penguatan terhadap tiga sektor lapangan usaha yang mempunyai kontribusi terbesar: Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan; Industri Pengolahan; dan Perdagangan.
“Tidak ada jalan lain, pemerintah perlu melakukan akselerasi kerjanya pada waktu-waktu ke depan dengan meningkatkan partisipasi usaha kecil menengah dan koperasi,” tutup Niko.
Laporan lengkap studi dapat diakses melalui website: www.igj.or.id