Jakarta – Sebanyak 50.000 ekor sapi siap potong yang didatangkan Perum Bulog dari Australia diperikarakan tiba di Indonesia dalam dua peka kedepan. Dengan perihitungan masa karantina, kemungkinan daging Bulog masuk pasar awal September
Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti mengatakan saat ini pihaknya tengah urus izin pelaksanaan impor di Kementrian perdagangan setelah mendapatkan rekomendasi spesifikasi teknis dari Kementrian Pertanian
“Surat izin pelaksanaan impor hari ini [kemarin] akan keluar. Kalau selesai izin pelaksanaan impor, maka paralel hari ini [kami] akan nego pemasok karena tidak tahu [prosesnya] tidak gampang” kata Djarot, Rabu (12/8).
Djarot mengatakan. Jika izin pelaksanaan impor selesai pada waktu yang ditargetkan tersebut, diperkirakan sapi impor siap potong asal Australia itu akan tiba di Indonesia dalam dua pecan ke depan, dan kemudian akan masuk karantina untuk penyegaran selama empat hingga lima hari.
Impor sapi siap potong sebanyak 50.000 tersebut bertujuan untuk segera mengisi kekosongan pasokan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir.
Jika Bulog mengimpor sapi bukalan, menurut Djarot, waktu yang dibutuhkan hingga sapi-sapi tersebut siap dipotong cukup panjang, yaitu sekitar 120 hari.
“Kalau [impor]sapi bakalan , artinya akan ada kekosongan. Makanya, kami minta diberi izin sapi siap potong.”
Adapun, terkait dengan operasi pasar, saat ini Bulog telah menyediakan pasokan sebanyak 190 ton, yang terdiri dari daging sapi sebanyak 90 ton dan dalam bentuk sapi siap potong setara 100 ton. Selain itu, bulog juga masih memiliki stok daging beku kurang lebih sebanyak 275 ton.
Jumlah terbsebut, menurutna, paling tidak bisa memenuhi permintaan sapi di sejumlah daerah di Jakarta dan sekitarnya, serta Jawa Barat.
Seperti dikethui, pedagang daging sapi di tiga provinsi a.l. DKI Jakart, Banten, dan Jawa Barat melakukan aksi mogok berjualan.
Manajer Riset dan Pusat pengetahuan Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hartanti menilai persoalan lonjakan harga daging saat ini menjadi momentum yang tepat untuk mendorong akselerasi Perpres No.71 Tahun 2015 tentang penetapan dan Penyimpangan Barang Kebutuhan pokok dan Barang Penting.
Rachmi mengatakan dua bulan setelah diberlakukannya Perpres tersebut, seharusnya strategi jitu pemerintah dalam menanggulangi persoalan stabilisasi harga bahan pokok sudah bisa terlihat.
KONTROL PEMERINTAH
Dalam Perpres tersebut, pemerintah harus memastikan pengelolaan stok dan logistik, menentukan kebijakan harga, serta pengelolaan ekspor dan impor.
“Persoalan utama ketidakstabilan harga bahan pokok selama ini karena pemerintah menyerahkan pada mekanisme pasar.” kata Rachmi.
Untuk menunjukkan komtimennya, lanjut Rachmi, pemerintah harus dapat memastikan bahwa urusan stabilisasi harga bahan pokok tetap berada di bawah kontrol pemerintah.
Menurut dia. Ada dua hal yang mesti dikontrol. Pertama, pengelolaan data dan kontrol pasokan, baik dari produksi dalam negeri maupun impor. Kedua, penentuan harga perdagangan resmi.
Dia menilai perlu ada transparansi data produksi dalam negeri dan transparansi data pasokan yang dimiliki oleh importir, serta cadangan yang dimiliki oleh pemerintah.
Selama ini, sambungnya, pemerintah tidak pernah memiliki acuan data resmi ketersediaan pasokan sehingga sering menjadi celah permainan bagi mafia impor untuk mengklaim ketiadaan pasokan, sehingga berakibat pada meluasnya praktik kartel. Acuan ini juga menjadi dasar kontrol impor oleh pemerintah.
Disamping itu, Rachmi juga menilai perlu adanya sebuah acuan harga perdagangan resmi pemerintah dengan aturan main yang ketat. Dengan acuan harga tersebut, perdagangan harus dilarang untuk menetapkan harga seenaknya.
“Kontrol harga semacam ini bisa lebih efektif dari operasi pasar” tegas Racmhi.