Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2016 sebagai UU perubahan. Pemerintah dan DPR satu suara mengejar target pembahasan ini dirampungkan pada Juni 2016. Terlepas dari UU Minerba telah berulangkali – sebanyak 9 kali – di Judicial Review (JR)ke Mahkamah Konstitusi dan hadirnya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, unsur mendesak guna mempercepat pembahasan tidaklah tepat. Hal ini terlihat dari Naskah Akademik dan draft RUU Minerba versi pemerintah per Januari 2016. Ada kesan kuat, rencana perubahan UU Minerba bukan hanya didasarkan hasil JR dan UU 23/2014.
Tidak ada pergeseran paradigma di dalam draft RUU Minerba versi pemerintah, terutama dalam memandang kekayaan alam guna kemakmuran rakyat, yang secara lugas dan jelas tertuang dalam aturan dasar negara (state fundamental norm), yaitu pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945. Pasal tersebut harusnya ditafsirkan lebih luas, tidak hanya diartikan sebagai pemegang mandat yang dikuasakan untuk mengelola sumber daya alam, namun bertindak semena-mena terhadap pemberi mandat, yakni rakyat Indonesia.Oleh karenanya pengakuan hak-hak masyarakat, terutama yang berkaitan langsung dengan kekayaan sumber daya alam dan lingkungan, semestinya ditegakkan di sini.
Pasal 33 juga bisa diterjemahkan sebagai dasar bagaimana seharusnya negara mengelola SDA tak hanya menguasai bagi sekelompok orang dan menempatkan sebagai komoditas bisnis dengan dibungkus peningkatan target penerimaan negara. Kekayaan alam tambang mineral dan batubara semestinya dipertimbangkan sebagi aset antargenerasi, sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan dan terbatas. Namun, nampak pemerintah masih memperlakukan hal sama, terlihat dengan filosofi utilitarianisme yang tercantum dalam naskah akademik, filosofi yang mengedepankan kemanfaatan dan mengabaikan lingkungan.
Terhadap rencana pembahasan perubahan UU Minerba dari materi versi pemerintah, kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil advokasi UU Minerba, antara lain; JATAM, ICEL, PWYP, ICW, WALHI, KIARA, AMAN, PATTIRO, HuMA, IGJ, Article 33, Solidaritas Perempuan, Epistema Institute, FWI dan AURIGA menyatakan menolak draft RUU versi pemerintah per Januari 2016 untuk dibahas lebih lanjut. Secara subtansi pokok draft RUU tidak bergeser dari UU yang lama dan kental sekali akan kepentingan perusahaan-perusahaan skala besar, terutama pemilik Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B). Bahkan, cenderung menghadirkan UU baru bukan perubahan, di antaranya menambahkan materi tentang tambang laut dalam dan radioaktif yang sifatnya eksploitatif, yang tertuang dalam naskah akademik maupun draft RUU.
Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Minerba, memandang NA dan draft RUU Minerba versi pemerintah per Januari ditolak, dengan pertimbangan sebagai berikut;
Pertama, draft RUU Minerba masih memberikan kesempatan pembongkaran seluruh wilayah dan kawasan, baik kawasan pesisir, pulau kecil dan hutan lindung dan konservasi termasuk perairan laut.Walau disebutkan dalam pasal 91 ayat (2) pelarangan tersebut, namun pada ayat 3 merupakan peluang pembongkaran kawasan dilarang. Faktanya, selama berlakunya UU Minerba, nyaris tidak ada kawasan yang tidak bisa ditambang, dan pengurusan izin yang dimaksud pada ayat (3) pun, banyak terjadi penyimpangan proses perizinannya. Sebanyak 25,8 juta Ha konsesi tambang dari 6.163 izin berada di Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi, namun hanya 441.000 Ha atau 517 izin yang mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Untuk kawasan pesisir dan pulau kecil, terbukti draft RUU memperbolehkan secara eksplisit penambangan mineral bawah laut atau lepas pantai masih mengabaikan keberadaan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan UU Perubahannya No. 1 Tahun 2014; Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Uji Materil UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dan rencana memasukkan tambang laut dalam, bertentangan dengan UU No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan. Tanpa save guard lingkungan yang jelas impelemtasi pasal ini juga berpotensi menyebabkan pelanggaran komitmen internasional Indonesia terkait CBD (termasuk CTI).
Sampai hari ini belum banyak penambangan bawah laut yang dilakukan di seluruh dunia, salah satunya di Papua Nugini disinyalir merupakan proyek percobaan dengan risiko lingkungan yang belum pasti dan masih minimnya teknologi minimalisasi dampak. Dalam kondisi tersebut, legalisasi penambangan bawah laut sangat mungkin akan menjadikan Indonesia sebagai “kelinci percobaan”.
Kedua, belum mengakomodasi hak rakyat dalam menentukan wilayah kelolanya sebagai wilayah ditetapkan menjadi wilayah pertambangan. Dalam draft RUU Minerba Bab IX, hanya mengatur Hak dan Kewajiban pengusaha tambang. Draft RUU Minerba Bab IX ini tidak berubah dengan UU Minerba pada Bab XIII. Masih tetap tidak mengakui hak rakyat, khususnya masyarakat adat yang memiliki wilayah-wilayah adat.Asas yang dikenal sebagai bentuk pengakuan masyarakat dengan istilah Free Prior Inform Consent (FPIC) belum termuat sepenuhnya.Masyarakat hanya diberikan pilihan di akhir, yakni persetujuan soal ganti rugi tanah.
Ketiga, pasal kriminal masih dipertahankan. Kasus seperti di Madura 4 orang, nelayan di Jepara 15 orang dan 3 orang petani di Sumba, tidak menjadi pertimbangan untuk menghapus Pasal 162 UU Minerba, yang diubah menjadi pasal 118 dalam draft RUU Minerba. Pasal ini jika dipertahankan akan menambah daftar warga yang dianggap menolak pembangunan sebagai terpidana, tanpa menimbang kekebalan mereka sebagai pihak yang berupaya menegakkan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Keempat, RUU Minerba masih tidak berubah dengan UU 4/2009, dengan penggolongan atas Minerba masih sebatas pada perihal komoditas, tidak ditempatkan sebagai aspek pencadangan strategis, ketahanan energi dan/atau kedaulatan energi. Dalam pelaksanaan UU 4/2009 yang telah berjalan 6 tahun, tidak jelas mekanisme pencadangan nasional sebagai aset nasional antargenerasi.Prinsip pembangunan berkelanjutan masih terabaikan.
UU Minerba seharusnya diselaraskan dengan UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi, terkait pentingnya menakar eksploitasi dengan kebutuhan energi nasional.Penting bagi pemerintah untuk segera menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).sebagai pedoman untuk menyatupadukan pembangunan energi nasional dalam rangka menciptakan kemandirian dan kedaulatan energi ke depan.
Produksi harus diarahkan untuk kepentingan jangka panjang, sehingga jatah/kuota produksi tahunan tidak melebihi ambang batas yang sudah ditetapkan (sesuai kebijakan nasional mengenai jangka waktu total konservasi cadangan);
Selain itu, UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup seharusnya dimasukkan pertimbangan-pertimbangan penting, terkait masalah-masalah lingkungan terjadi.
Kelima, asas keadilan harus menjadi hal utama dalam sebuah UU, sebagai prasyarat penting kepastian hukum, tidak hanya kepastian hukum bagi pengusaha tambang, tapi juga bagi masyarakat (access to justice). Hal ini yang belum begitu tegas dalam draft RUU Minerba, bahwa dalam RUU Minerba diberikan ruang gugat kepada masyarakat dalam konteks perlindungan masyarakat. Hanya saja, perlindungan yang dimaksud dikecilkan dalam hal masyarakat terdampak dari kegiatan pertambangan.Perlindungan hak masyarakat harus sejak mula dari mulai penentuan wilayah pertambangan, perizinan, hingga operasi pertambangan.
Masyarakat juga seharusnya diberikan ruang untuk melakukan pengawasan dan pengaduan terhadap operasi pertambangan yang mengabaikan persoalan lingkungan, melakukan maladministrasi dan tindakan menimbulkan pelanggaran HAM.Tidak hanya kepada pelaku usaha, juga pejabat berwenang yang tidak menjalankan tugas dan wewenang sesuai dengan prosedur.Untuk itu, perlu pengaturan secara jelas mengenai keterbukaan informasi publik di bidang pertambangan, termasuk sanksi bila prinsip keterbukaan tersebut tidak diindahkan/dipenuhi/dilaksanakan.
Kewenangan pengurusan, pengawasan, hingga pengendalian terhadap aktivitas pertambangan minerba (sejak eksplorasi, eksploitasi, pengolahan/pemurnian, penjualan, reklamasi, pascatambang) harus tegas diberikan kepada negara. Dengan demikian, harus diatur secara jelas sanksi bila perusahaan/korporasi/petambang tidak memenuhi pengaturan oleh negara; pun perlu ada pengaturan mekanisme yang bisa ditempuh apabila pemerintah abai terhadap kewenangan yang diberikan oleh negara;
Keenam, dalam hal perlindungan, revisi UU Minerba, justru melemahkan upaya perlindungan kepentingan nasional.Revisi UU No. 4 tahun 2009, semakin menempatkan posisi tawar pemerintah Indonesia semakin lemah di hadapan pengusaha tambang. Sebagaimana yang hendak diatur dalam ketentuan Peralihan dalam draft RUU Minerba. Misalnya, sanksi yang harusnya diberlakukan kepada pengusaha tambang yang tidak segera membangun pabrik pengolahan dan pemurnian.
Kegiatan pertambangan minerba harus mengutamakan kepentingan dalam negeri, bukan diutamakan untuk kepentingan ekspor atau luar negeri
Perlindungan kepentingan nasional tidak mempertimbangkan perkembangan ekonomi politik yang akan terjadi di kemudian hari. Keinginan pemerintah bergabung dengan Trans Pacific Partnership (TPP), keberadaan FTA, perjanjian BIT’s, WTO yang semua berpeluang pengusaha menggugat ke pengadilan arbitrase.Sudah seharusnya pemerintah memperkuat perlindungan kepentingan nasional dari upaya-upaya gugatan arbitrase.Pada kenyataannya, kasus-kasus gugatan di ISDS didominasi kasus gugatan pengusaha tambang.
Draftreview Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M) yang dimiliki oleh Indonesia sudah seharusnya diadopsi oleh Pemerintah Indonesia ke dalam seluruh peraturan perundang-undangan nasional di sektor sumber daya alam (SDA). Ketentuan ini dapat melindungi Kepentingan Nasional di sektor Minerba dari dominasi investor asing, karena dapat mengecualikan penerapan National Treatment untuk kondisi tertentu, seperti: Pertama, Undang-undang atau peraturan untuk memfasilitasi bisnis skala kecil dan menengah; Kedua, setiap tindakan yang mempengaruhi sektor sumber daya alam; dan ketiga, atas alasan keamanan nasional atau kebutuhan pembangunan dari sektor tertentu yang ditetapkan bersama dengan para pihak dalam suatu perjanjian investasi.
Ketujuh, hilang kewenangan Bupati, bukan berarti jumlah perizinan akan berkurang. Draft RUU Minerba tidak berbeda dengan UU No. 4 tahun 2009, yakni belum ada pengaturan pembatasan pemberian izin tambang maupun kejelasan relasional dengan Tata Ruang. Dengan adanya ketetapan pemerintah terhadap Wilayah Pertambangan (WP), yang nyaris seluruh daratan pulau Indonesia telah tertutup semua oleh WP, Gubernur dan Menteri yang memiliki kewenangan sangat mungkin akan mengeluarkan kembali izin-izin tambang baru.
Terkait dengan izin-izin yang dikeluarkan, draft RUU Minerba terkesan diskriminatif dalam hal evaluasi.Hanya izin-izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dilakukan evaluasi, yang seharusnya juga dilakukan terhadap izin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Kedelapan, dalam konteks reklamasi dan pascatambang, draft RUU Minerba masih terkesan main-main. Tekanan yang tegas kepada pengusaha untuk bertanggung jawab dilemahkan dengan kewenangan Menteri/Gubernur menunjuk pihak ketiga sebagai pelaksana, sebagai yang terjadi pada UU No. 4 tahun 2009. Hal ini mengurangi tanggung jawab perusahaan yang hanya berkewajiban menempatkan dana jaminan reklamasi. Walau kenyataannya, banyak perusahaan yang tidak juga menyetor dana jaminan reklamasinya. Bahkan, hasil temuan pasca-koordinasi dan supervisi KPK pada 2014, ditemukan 80% IUP di seluruh Indonesia tidak memiliki dokumen jaminan reklamasi. RUU ini belum secara tegas memperkuat kepatuhan pengusaha untuk menyusun dokumen jaminan reklamasi, dana jaminan reklamasi, dan pelaksanaan reklamasi.
Kesembilan, divestasi yang seharusnya menjadi salah satu wujud kedaulatan negara, tidak seharusnya membuka ruang yang besar kepada private sector mengambil alih kembali melalui bursa saham. Bursa saham, akan membuka peluang perusahaan yang sama berkewajiban mendivestasikan saham, menguasai kembali melalui perusahaan yang berbeda. Perlu diatur mekanisme yang ketat agar tidak terjadi penguasaan kembali oleh perusahaan yang sama. Perlu diatur secara eksplisit dan sistematis terkait perencanaan dan kepastian pembelian saham divestasi oleh peserta nasional resmi dalam rangka meningkatkan komponen kepemilikan atas sumber daya alam nasional.
Kesepuluh, KK dan PKP2B masih dianak-emaskan, ketentuan peralihan pasal 129 draft RUU Minerba, menguatkan dugaan bahwa perubahan UU 4/2009 ini ditengarai keinginan para pemilik KK dan PKP2B untuk mendapat waktu lebih lagi guna membangun pabrik pengolahan dan pemurnian.
Pasal ini bagi pengusaha tambang pemilik KK dan PKP2B adalah jaminan guna mengeruk keuntungan lebih lama lagi. Kisah “papa minta saham” merupakan indikasi pasal 129 draft RUU Minerba dimasukkan.
Harus ada kejelasan posisi negara terhadap kontrak-kontrak yang sudah terlanjur dan berdurasi lama (KK dan PKP2B),bagaimana pemerintahmengatur perubahan rezim kontrak (baca: konsesi) tersebut menjadi rezim izin, yang tidak berhasil sepenuhnya dilaksanakan hingga saat ini.Tidak hanya mengatur peralihan dan divestasi, seharusnya pemerintah mengatur juga alih teknologi bagi tambang skala besar.
Kesebelas, Keterlibatan dan peran serta masyarakat, terutama perempuan di dalam RUU Minerba ini sangat tidak diakomodir. Dalam RUU ini Prinsip partisipatif hanya tercetus dalam pengaturan mengenai asas pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara dalam Pasal 2 dan pengaturan mengenai penetapan dan penentuan wilayah pertambangan dalam Pasal 9 Ayat (3), tanpa penekanan ataupun jaminan partisipasi dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak, khususnya perempuan, untuk memberikan pandangan ataupun ikut menentukan serta mengawasi penetapan dan penentuan wilayah pertambangan, terutama karena tidak ada kewajiban memberikan informasi mengenai rencana penetapan dan penentuan wilayah pertambangan kepada masyarakat. Padahal jelas bahwa masyarakat lah yang terkena dampak dari usaha pertambangan dan konflik agrarian di sector pertambangan masih tinggi dan hingga kini tidak terselesaikan.
Keduabelas, Draf RUU Minerba tidak berdasarkan prinsip keadilan gender. Tidak ada jaminan perlindungan hak perempuan atau upaya memastikan kesetaraan gender dalam penerapan kebijakannya. Dalam naskah akademisnya tidak ada perspektif dan analisis gender yang menggambarkan situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya perempuan serta dampak yang dialami perempuan sebagai akibat aktivitas pertambangan. Padahal kehancuran, kerusakan dan pencemaran terhadap sumber-sumber kehidupan akibat aktivitas pertambangan, akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan perempuan. Berbagai kasus kerusakan lingkungan akibat pertambangan, terlihat bahwa sebahagian besar korban adalah perempuan, seperti perempuan yang tinggal di sekitar PT. Petro China yang mengalami keracunan akibat kebocoran gas yang dilakukan oleh perusahaan, perempuan di sekitar PT. Newmont Minahasa Raya yang mengalami kanker rahim, penyakit kulit, kanker payudara akibat sumber air yang mereka gunakan telah tercemar limbah tailing perusahaan, dan masih banyak lagi dampak yang dialami perempuan akibat kehadiran suatu perusahaan tambang, terutama karena 90% kehidupan perempuan sangat dekat dengan air, akibat peran gendernya yang masih menempatkan perempuan pada pekerjaan domestik (mengambil air, mencuci, memasak, dsb). Hilangnya sumber penghidupan untuk usaha pertambangan juga berdampak pada meningkatkan beban perempuan dalam memastikan ketersediaan kebutuhan keluarga dan rumah tangga.Penerapan kebijakan pertambangan secara netral gender berpotensi pada pelanggaran hak dan kedaulatan perempuan atas sumber kehidupan dan lingkungan hidup yang sehat, serta menguatkan penindasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan akibat ketimpangan gender.
Menimbang dari poin kritis atas draft RUU Minerba versi pemerintah tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Minerba memandang, bahwa semestinya perubahan UU 4/2009 ini mampu memberikan solusi atas kelemahan-kelemahan yang terjadi selama pelaksanaan UU selama kurun 6 tahun. Bukan sebaliknya, melemahkan posisi pemerintah, membuat rakyat semakin rentan atas keselamatannya, lingkungan yang rusak semakin parah, dan kontribusi terhadap keuangan negara tidak membaik.
Jika dilihat dari 9 kali judicial review atas UU Minerba yang dikabulkan tentang partisipasi dan kejelasan dalam batas wilayah pertambangan.mengacu pada putusan-putusan MK ini maka pekerjaan rumah pemerintah sebenarnya adalah membuat aturan pelaksana dari putusan-putusan MK tersebut sehingga aplikasi tentang partisipasi dan batas pertambangan rakyat menjadi jelas dan konkret.
Apalagi jika revisi UU 4/2009 ini dikebut, dugaannya makin menguatkan kepentingan pengusaha tambang, terutama pemilik KK dan PKP2B. Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Minerba menyatakan menolak draft RUU Minerba versi pemerintah per Januari 2016, dan menyerukan ke semua pihak untuk sama-sama melakukan hal yang sama.
Jakarta, 22 Maret 2016
Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi RUU Minerba:
JATAM, ICEL, PWYP, ICW, WALHI, KIARA, AMAN, PATTIRO, HuMA, Indonesia for Global Justice (IGJ), Article 33, Solidaritas Perempuan, Epistema Institute, FWI dan AURIGA