Buruh dan Ancaman Pasar Bebas:
“Antara MEA, RCEP, TPP, dan EU CEPA”
Oleh: Rachmi Hertanti
Mukadimmah
Krisis ekonomi global yang mendorong penurunan kinerja industri di Indonesia dalam melakukan ekspansi ekspor telah menjadi tekanan terhadap fiskal Indonesia. Defisit perdagangan semakin tajam akibat ketergantungan impor bahan baku yang menjadi faktor pemicu rendahnya daya saing produk Indonesia.
Untuk menjawab tantangan ekonomi nasional ini, Presiden Jokowi mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi 1 hingga 11. Tujuan paket kebijakan ekonomi ini adalah untuk meningkatkan daya saing Indonesia, melalui pembangunan industri pengolahan bahan baku agar produk Indonesia memiliki nilai tambah tinggi. Hal ini tentunya dapat meningkatkan kinerja dan ekspansi ekspor yang harapannya akan menciptakan keseimbangan ekonomi nasional.
Namun, agenda peningkatan daya saing ini diarahkan Presiden Jokowi melalui pembukaan investasi asing seluas-luasnya dengan menempatkan Indonesia sebagai bagian dari jaring produksi regional. Untuk menarik investasi hanya mungkin bisa dilakukan dengan membuka pasar dan liberalisasi investasi seluas-luasnya di Indonesia. Hal inilah yang menjadi ‘alibi’ Presiden Jokowi untuk memassifkan agenda pasar bebas dan liberalisasi ekonomi Indonesia.
Rezim FTA Abad 21: Mega-Trading Block
Ditengah jatuh tempo pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) per 31 Januari 2015, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia tertarik untuk bergabung sebagai anggota Perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP). Kehendak ini menambah panjang deretan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) yang telah ditandatangani ataupun yang sedang dinegosiasikan oleh Indonesia.
Saat ini, Indonesia sudah punya 20 FTA, belum termasuk yang masih dalam proses negosiasi baik bilateral maupun regional seperti ASEAN plus 6 negara mitra ekonominya yang tergabung dalam ASEAN Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-Korea FTA, dan Indonesia-EU CEPA. Di tahun 2016 ini Pemerintah Indonesia sedang memassifkan negosiasi dengan Australia dan EU.
Menariknya, perundingan FTA semakin massif dilakukan, terlebih pasca terjadinya krisis ekonomi global yang menghantam negara maju pada 2008 yang lalu. Seolah-olah memburuknya situasi ekonomi global menjadi sebuah dasar pembenar untuk melakukan ekspansi liberalisasi pasar di dunia.
Situasi krisis overakumulasi global yang kemudian mendorong perubahan cara produksi kapitalisme itu sendiri yang berujung pada pemassifan agenda liberalisasi melalui pembentukan pasar bebas yang diwujudkan dalam regionalisme kawasan dan pembangunan konektivitas kawasan. Hal ini sebagai salah satu strategi bagi perusahaan multinasional dan lembaga-lembaga keuangan internasional mencari cara agar dominasi dan kekuasaannya terus berlanjut.
Contoh konkritnya ada di ASEAN. Terbentuknya ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) pada 2002 dirasa tidak memuaskan, yang kemudian didoronglah pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebagai ambisi terbesar ASEAN untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara kompetitif di level global. Akibat desakan negara-negara industri yang telah mengambil manfaat dari aspek geografi ASEAN, didoronglah pembentukan konektivitas kawasan ASEAN untuk memudahkan aktivitas jaring produksi regional.
Munculnya kelompok kekuatan industri baru di kawasan Asia, seperti China, India, dan Korea Selatan, semakin memperkuat kebutuhan untuk membangun sebuah jaring produksi kawasan yang dapat diperhitungkan dalam pasar global. Apalagi, pertumbuhan kawasan Asia ketika krisis terjadi masih terus menunjukan pertumbuhan yang baik dibanding kawasan lain seperti Amerika Utara dan Eropa (Lihat gambar 1).
Data menunjukan bahwa 60% dari total output produksi industri global masih disuply oleh 4 negara industri besar yaitu: Amerika Serikat, China, Jerman, dan Jepang. Kekuatan empat negara industri ini juga sangat mempengaruhi kekuatan industri Indonesia yang selama ini menjadi bagian dari rantai produksi. Hal ini terlihat dari kegiatan ekspor dan impor Indonesia yang didominasi keempat negara tersebut (Lihat gambar 2).
Gambar 1:
Angka Pertumbuhan Ekonomi Di Beberapa Kawasan Dunia 2010-2014 (%)
Sumber: Pusat Data IGJ 2014, diolah dari IMF 2014
Kuatnya pengaruh empat negara industri ini hendak berupaya untuk melanggengkan kepentingannya di kawasan, khususnya Asia, baik untuk urusan rantai produksi maupun dominasi pasar melalui agenda liberalisasi kawasan atau disebut dengan Megatrading Block. Di kawasan ASEAN saat ini tengah dinegosiasikan pakta perdagangan bebas yang melibatkan 10 negara ASEAN plus 6 negara mitra ekononinya yakni Jepang, China, Korea Selatan, India, Australia, dan New Zealand, atau disebut dengan ASEAN RCEP.
Gambar 2
Sumber: Pusat Data IGJ 2016, diolah dari Data Statistik Ekonomi BPS 2015
Dikawasan Asia Pasifik sendiri sudah mulai ada wacana untuk mendorong pembentukan FTA di Asia Pasifik (FTAAP) yang dicetuskan pada KTT APEC tahun 2014 di Beijing, China. Bahkan, yang lebih massif pembentukan megatrading blocknya adalah kawasan trans pacific yang dikenal dengan Perjanjian Trans Pacific Partnership (TPP), yang diikuti oleh 12 negara trans pasifik seperti Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Peru, Chile, Australia, New Zealand, Malaysia, Vietnam, Brunai, Singapura, dan Jepang.
Dengan Mega-Trading Block ini, semakin dibutuhkan model liberalisasi ekonomi yang jauh melampaui praktek liberalisasi yang telah ada sebelumnya. Dengan menyematkan kata “Comprehensive (Menyeluruh) dan Partnership (Kemitraan)” diharapkan pengaturan FTA hari ini tidak lagi sekedar hanya bicara tentang urusan ekspor-impor.
Perkembangan ini juga dikontribusikan oleh mandeknya perundingan World Trade Organization (WTO). Pasca putaran perundingan di Seattle (1999) dan Cancun (2003), negara maju seperti Amerika dan Eropa gagal memasukan kepentingan agenda liberalisasi diluar dari aspek perdagangan barang dan jasa akibat penolakan dari negara-negara berkembang di WTO. Aspek lainnya itu dikenal dengan “Isu Singapura”, yang terdiri dari isu investasi, kebijakan kompetisi dan anti monopoli, isu pengadaan barang pemerintah, dan isu trade facilitation. Kegagalan inilah yang akhirnya Amerika dan EU mencoba mendesakannya kedalam perundingan FTA.
Akibat Perjanjian TPP, munculah sebuah model perjanjian perdagangan bebas Abad 21 yang dianggap lebih ‘revolusioner’ dari model liberalisasi sebelumnya. Perjanjian TPP dianggap sebagai perjanjian perdagangan internasional dengan ‘Standar Emas’ bagi korporasi. Hal ini karena Perjanjian TPP mengatur aspek liberalisasi yang sangat luas dan sering disebut dengan Perjanjian WTO Plus, yakni dengan memasukan seluruh isi Isu Singapura WTO dan standar maksimum untuk memberikan jaminan perlindungan investasi serta perlindungan hak kekayaan intelektual yang sangat tinggi untuk investor.
Inilah yang akhirnya mendorong perundingan ASEAN RCEP hendak merujuk pada isi perjanjian TPP atau paling tidak memuat aturan yang sama. Apalagi rezim FTA Abad 21 ini memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang sangat efektif memberikan keuntungan bagi negara industri serta mengakomodir kepentingan investor asing.
Hal ini juga yang akhirnya mendorong EU tidak mau kalah ketinggalan dengan Amerika yang bisa membuat perjanjian dengan negara-negara Asia yang kompetitif, sehingga EU terus memulai negosiasikan FTA secara bilateral dengan masing-masing negara Asia, khususnya ASEAN. Saat ini EU telah menyelesaikan negosiasi dengan Singapura dan Vietnam, dan akan memulai negosiasi FTA dengan Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Tentunya EU FTA ini juga hendak menerapkan peraturan yang memiliki standar sama dengan TPP.
Arah Kebijakan Industri & Investasi
Terjadi pergeseran kawasan pertumbuhan ekonomi baru yang saat ini berada ditangan Asia. Tentunya hal ini juga berdampak terhadap model industri yang dijalankan. Kecenderungan saat ini adalah negara industri besar seperti Amerika, Eropa, dan Jepang tidak lagi menjadikan dirinya sebagai basis produksi, melainkan menjadikan dirinya sebagai pengembang teknologi. Perpindahan produksi ini dalam rangka pencarian biaya produksi yang rendah.
Misalnya tahun 1970an Jepang memindahkan produksinya ke negara Asia lainnya seperti Indonesia, Thailand, China, dan Korea. Alasan pemindahan ini ke negara-negara di Asia adalah untuk menekan biaya produksi dengan mendekatkannya pada pasar dan tenaga kerja murah. Praktek investasi Jepang ini akhirnya merubah bentuk model perdagangan dan produksi negara-negara di Asia yang tadinya hanya sebagai pemasok sumber daya alam untuk bahan baku industri menjadi Negara-negara pengeskpor barang-barang industri. Dari hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya pembagian kerja (the division of labour), yakni antara kegiatan intensif-inovasi (negara industri) dengan kegiatan intensif-produksi (negara berkembang).
Pembagian kerja ini disatu sisi memberikan efek positif bagi negara tertentu. Seperti China dan Korea misalnya. Dalam menjalankan model kegiatan labor intensive pada akhirnya mendorong kedua negara ini menjadi model kegiatan industri yang intensif teknologi. Namun, dalam perkembangannya China dan Korea mengalami satu kondisi dimana upah buruh terus meningkat. Satu fase dimana pernah dialami oleh Jepang. Sehingga, China dan Korea akan memindahkan produksinya ke negara yang lebih rendah biaya produksinya.
Ekspansi China dan Korea di Kawasan ASEAN akan terus meningkat dalam rangka menjawab kebutuhan produksinya. Namun, pemindahan produksi ini ke kawasan ASEAN tentunya dengan mempertimbangkan dua aspek yaitu upah buruh dan ketersediaan infrastruktur. Terkait dengan trend ini, kebijakan industri dan investasi Indonesia ikut memanfaatkannya. Pembentukan industri hilir dan pembangunan infrastruktur secara massif diarahkan untuk menjadikan Indonesia sebagai bagian dari rantai produksi yang kompetitif yang harapannya bisa ikut serta mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Keberhasilan Indonesia menjadi bagian dari rantai produksi regional ini tentunya harus didukung oleh prasyarat yang memadai. Artinya seluruh kebijakan harus diarahkan pada kebijakan ramah investasi. Berdasarkan laporan Asian Development Bank (ADB) tahun 2013, menyebutkan bahwa perkembangan industri manufaktur Indonesia masih bertumpu pada model produksi labor intensive. Namun hal ini akan menjadi persoalan besar ketika disatu sisi terjadi peningkatan nilai upah buruh di Indonesia yang mencapai hingga 40%. Artinya, kondisi ini tidak akan menguntungkan bagi Indonesia dalam rangka menarik investasi ke dalam pembangunan industri hilir.
Dari data yang sama disinyalir kecenderungan yang sama di beberapa negara ASEAN yang ditunjukan peningkatan nilai upah minimumnya, seperti di Thailand sebesar 35% dan Vietnam 18%. Peningkatan upah juga terjadi di Kamboja dan Laos (Lihat gambar 3 & 4 – Perbandingan upah 2016 dan 2014).
Gambar 3.
Gambar 4
Peningkatan nilai upah ini tentunya akan semakin dirugikan jika tidak diiringi dengan peningkatan nilai produktivitas serta skill buruh. Misalnya saja, berdasarkan laporan ADB tahun 2014 menunjukan bahwa Indonesia, Kamboja, dan Laos memiliki banyak buruh yang memiliki keahlian dibawah standar yang dibutuhkan industri yakni sekitar 50%-60%. Bahkan Thailand dan Filipina juga masih lebih kalah dari Vietnam yang jumlah buruh dengan skill rendahnya hanya sebesar 30% (Lihat gambar 5). Sehingga jika dilihat dari gambar 3,4, dan 5 Vietnam merupakan negara ASEAN yang memiliki tingkat daya saing yang cukup tinggi
Gambar 5: Jumlah Tenaga Kerja ASEAN Dengan Skill Di Bawah Kualifikasi Standar
Sumber: Laporan ADB 2014
Dengan trend penguatan jaring produksi regional diera hari ini, tentunya masing-masing negara akan berlomba-lomba dalam menyediakan fasilitas yang disukai oleh sektor bisnis. Termasuk ikut serta dalam pemassifan agenda liberalisasi regional. Semakin terbuka pasar domestiknya maka akan semakin baik performa peran jaring produksi regional, yang diperkuat dengan competitive advantage yang dimiliki oleh masing-masing Negara. Maka, bergabung ke dalam sebuah Mega-Trading Bloc menjadi tidak terelakan, dan menjadi rebutan. Itulah mengapa Presiden Jokowi hari ini semakin massif mendorong negosiasi perdagangan RCEP, TPP, dan EU FTA.
Indonesia sangat diuntungkan dengan competitive advantage yang dimilikinya. Melimpahnya sumber daya alam dan kebijakan upah murah akan menjadikan Indonesia pemenang dalam konteks daya saing dalam perspektif kapitalisme (baca: eksploitasi). Model pembangunan Industri hilir Indonesia telah dituangkan oleh Presiden Jokowi ke dalam RPJMN 2015-2019 yang mengarahkan pembangunan industri hilir berbasis pada sumber daya alam, seperti: Pertama, Industri pengolahan komoditas pertanian (sawit, karet dan produk karet, cokelat, gula, pakan), pengolahan hasil hutan dan perkebunan; Kedua, produk turunan migas (Petrokimia); Ketiga, Mineral dan hasil olahannya; Keempat, Industri penghasil bahan konsumsi yakni mesin, tekstil, alat kesehatan, transportasi, alas kaki, dan elektronika.
Namun, jika Pemerintah tetap bertahan pada model ini (eksploitasi SDA dan buruh murah), tentunya tidak akan berlangsung lama. Indonesia akan kehilangan daya saingnya. Jika pertumbuhan nilai upah melampaui produktivitas buruh, maka Indonesia akan mengalami penurunan performa bisnis advantage yang akhirnya akan banyak industri yang melakukan relokasi. Dan hal ini sudah terjadi. Jika Indonesia tidak segera mengubah model produksinya dari labor intensive ke technolgy intensive, maka ke depan akan terus terjadi penutupan pabrik akibat relokasi, yang berdampak terhadap PHK ratusan bahkan ribuan buruh. Sehingga untuk mempertahankan investasi, satu-satunya yang bisa dilakukan oleh Pemerintah adalah terus menekan upah buruh.
Jika pun tidak terjadi relokasi, metode yang ditempuh oleh industri hari ini dalam menghadapi persoalan peningkatan upah dan skil buruh yang rendah adalah dengan menggunakan teknologi robot untuk menjalankan industri. Ini akan berdampak terhadap pengurangan jumah tenaga kerja dalam proses produksi. PHK pun tidak terelakkan.
Persoalannya, Pemerintah Indonesia hingga hari ini belum mampu menciptakan competitive advantage ke arah sana. Hal ini karena tidak ada kebijakan yang jelas terkait dengan peningkatan kualitas SDM buruh, khususnya terkait dengan skill kerja. Kedua, belum ada keseriusan pemerintah untuk meletakan fokus investasi pada area R&D yang akan mendorong Indonesia menciptakan teknologi baru dengan brand lokal.
Perjanjian TPP: Standar Emas & Nasib Buruh
TPP merupakan suatu Blok Perdagangan Terbesar di Asia Pasifik yang mendorong kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi yang mewakili 40% kekuatan ekonomi dunia. Pada 5 Oktober 2015, TPP yang dikomandoi AS telah mencapai kesepakatannya dan 4 Februari 2016 Perjanjian ini ditandatangani oleh 12 negara anggotanya, yakni Australia, Brunei Darussalam, Chile, Japan, Malaysia, Mexico, New Zealand, Peru, Singapore, United States of America, Korea Selatan, dan Vietnam.
TPP diinisiasi oleh Amerika Serikat (AS)dalam rangka untuk mendongkrak perekonomiannya melalui penghapusan berbagai bentuk hambatan perdagangan dan investasi AS di negara mitra TPP. Pembentukan TPP oleh AS juga dilatarbelakangi untuk menyaingi dan menghambat dominasi China di Asia Pasifik, dimana China telah banyak diuntungkan dengan mengikatkan banyak perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara ASEAN dan 6 negara Asia Pasifik lainnya seperti India, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan New Zealand.
Perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) merupakan sebuah perjanjian yang kontroversial dan mengundang protes masyarakat global. Hal ini karena TPP akan meliberalisasi sektor-sektor vital dengan proses perundingan yang tertutup serta dipengaruhi oleh kepentingan perusahaan multinasional. Perjanjian TPP berisi 30 bab yang mendorong liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan investasi seperti, perdagangan barang khususnya pertanian, sektor finansial, investasi, telekomunikasi, e-commerce, Government Procurement, persaingan usaha, BUMN, kekayaan intelektual, lingkungan, buruh, dan mekanisme penyelesaian sengketa.
Aturan TPP juga dikenal dengan istilah ‘WTO Plus’. Hal ini karena Perjanjian TPP memasukan beberapa aturan terkait dengan “Isu Singapura” yang masih diperdebatkan, seperti isu perdagangan dan investasi, government procurement, aturan kompetisi dan larangan monopoli, dan trade facilitation. Isu ini adalah kepentingan negara industri yang ditolak oleh negara berkembang.
Selain itu, upaya meningkatkan skala perlindungan bagi investor pun juga diterapkan. Misalnya terkait dengan perlindungan maksimum terhadap hak kekayaan intelektual. TPP memberikan standar perlindungan maksimum bagi investor dalam hal jaminan hak paten yang dapat diperpanjang lebih dari 20 tahun. Atau perlindungan maksimum bagi investor atas kegiatan investasi yang dilakukannya melalui penerapan mekanisme penyelesaian sengketa antara Investor dengan Negara (Investor-State Dispute Settlement/ISDS).
Selain ISDS, Perjanjian TPP juga memiliki mekanisme penyelesaian sengketa lainnya yang terkait dengan perdagangan melalui WTO Dispute Settlement Body dan mekanisme penyelesaian sengketa antara Negara (State to State) terkait dengan kepatuhan dan penerapan isi perjanjian TPP.
Seolah-olah ingin menerapkan perdagangan yang adil (Fair Trade), Perjanjian TPP juga memasukan bab-bab khusus yang mengatur perlindungan hak buruh, lingkungan, serta jaminan agenda pembangunan yang berkelanjutan. Hal-hal inilah yang akhirnya kenapa Perjanjian TPP disebut sebagai Perjanjian dengan Standar Emas (Gold Standard).
Namun, apakah standar emas ini berlaku untuk buruh? Atau hanya berlaku untuk investor?.
Bab 19 tentang Perlindungan Hak Buruh, tidak seperti apa yang dibayangkan. Sepertinya kedengaran baik dimana dalam sebuah FTA diatur mengenai jaminan perlindungan bagi pemenuhan hak-hak buruh berdasarkan Konvensi ILO. Bab 19 TPP memang mewajibkan seluruh negara anggota TPP untuk meratifikasi Konvensi ILO yang terkait dengan hak untuk kebebasaan berserikat, menghapus segala bentuk kerja paksa, menghilangkan penggunaan tenaga kerja anak, menghapus segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan penempatan kerja, dan menciptakan kondisi kerja kerja yang layak seperti menetapkan upah minimum, pembatasan jam kerja, dan menyediakan K3.
Bahkan, dalam bab 19 diberikan sebuah mekanisme penyelesaian sengketa yang berujung pada penyelesaian sengketa antar negara (State to State) akibat ketidakpatuhan terhadap penerapan bab 19. Atau adanya protes dari buruh akibat minimnya pemenuhan terhadap hak-hak buruh.
Sepertinya terlihat baik bukan?. Tapi tentunya investor ataupun negara industri punya niat lain dari hanya sekedar mewajibkan negara untuk melindungi hak buruh. Dan Pastinya bukan itu tujuan dari bab ini dibuat.
Kehadiran bab perlindungan buruh dalam TPP bukan upaya pertama kali ada. Di WTO pernah dimunculkan satu upaya untuk memasukan aturan mengenai perdagangan dan buruh oleh negara maju. Dan upaya ini ditolak oleh Negara Berkembang. Mungkin kelihatannya seperti sebuah paradoks. Tapi Negara berkembang punya alasan kuat ketika melakukan penolakan.
Alasan mendasarnya adalah suatu kegiatan perdagangan tidak bisa dikaitkan dengan persoalan perlindungan hak buruh. Untuk perlindungan hak buruh sudah dicover oleh ILO, sehingga WTO tidak perlu mengaturnya kembali. Menjadi tidak adil ketika suatu negara menjadikan alasan pelanggaran hak buruh dalam memproteksi pasar domestiknya. Dengan alasan itu, akan menjadi sah suatu negara untuk menghambat masuknya suatu barang. Persaingan dagang Inilah alasan mendasar kenapa aturan buruh dimasukan dalam perjanjian perdagangan.
Misalnya terhadap China, Amerika akan sangat senang sekali jika China bisa masuk TPP. Karena disatu sisi Amerka bisa menggunakan bab ini untuk menghambat masuknya barang China ke pasar domestik AS.
Pengaturan perlindungan hak buruh juga terlihat sumir. Karena tidak menggunakan ukuran atau indikator yang berkeadilan. Contoh, terkait upah minimum. Ada kewajiban negara mengatur upah minimum, tetapi tidak ada ukuran yang pasti ak menggunakan ukuran atau indikator yang berkeadilan. Contoh, terkait upah minimum. Ada kewajiban negara mengatur upah minimum, tetapi tidak ada ukuran yang pasti upah minimum seperti apa yang harus diatur. Tentunya ukuran yang dipakai adalah ukuran pengusaha, bukan ukuran upah layak yang dikehendaki oleh buruh.
Seperti Indonesia, seluruh ketentuan perlindungan hak buruh sudah diatur di dalam UU No.13 tahun 2003. Tetapi tidak ada jaminan bahwa perlindungan hak buruh sudah sesuai dengan ukuran adil. Setiap negara dapat mendefinisikan sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Yang pada akhirnya, buruhlah yang terus bernasib buruk akibat eksploitasi yang dilakukan investor melalui legitimasi negara.
EndNotes