Berbagai diskusi dan pro-kontra tentang perlu tidaknya Indonesia bergabung dalam Trans-Pacific Partnership (TPP) telah mengemuka di publik sejak Presiden Jokowi menyatakan ketertarikannya untuk bergabung dalam skema kerjasama tersebut pada kunjungannya ke Amerika Serikat (AS) Oktober tahun lalu.
TPP merupakan kerangka kerja sama ekonomi komprehensif lintas Pasifik yang saat ini telah mencakup 12 negara. Keberadaan AS di dalam keanggotaan TPP membuat skema kerja sama ini menjadi sangat strategis dan begitu diperhitungkan, mengingat besarnya peran negara adidaya tersebut dalam perdagangan dunia dan potensi pasar yang dimilikinya.
Perbincangan tentang TPP di Indonesia semakin ramai saat Vietnam juga memutuskan ikut bergabung ke dalam TPP. Masuknya Vietnam sangat menjadi perhatian karena Vietnam merupakan pesaing utama Indonesia di pasar dunia dan memiliki banyak kesamaan produk-produk ekspor andalan dengan Indonesia.
Di pasar AS, misalnya, Vietnam dan Indonesia sama-sama mengandalkan ekspor produk-produk manufaktur padat karya seperti alas kaki, tekstil dan produk tekstil. Sayangnya, pangsa pasar sebagian besar produk ekspor Indonesia tersebut di negeri Paman Sam sukar berkembang, bahkan cenderung menurun. Pasalnya, bukan hanya karena dikenakan tarif impor yang tinggi oleh AS (tarif maksimum hingga lebih dari 40%), tetapi juga karena harga untuk produk-produk serupa dari Vietnam yang lebih murah. Akibatnya, Vietnam mampu melakukan penetrasi pasar secara lebih agresif dan mengurangi pangsa pasar negara pesaingnya untuk produk-produk yang sama.
Jika RI tidak ikut bergabung dengan TPP, dikhawatirkan ekspor kita ke negara-negara TPP khususnya AS berpotensi akan semakin seret, dan pangsa pasar ekspor Indonesia pun akan semakin terenggut oleh Vietnam. Namun, atas dasar kekhawatiran tersebut, apakah lantas Indonesia harus langsung memutuskan untuk bergabung dengan TPP?
Nanti dulu! Masalahnya, banyak hal yang selama ini menghambat daya saing ekspor Indonesia yang tidak dapat diselesaikan dengan fasilitas penghapusan hambatan perdagangan dalam TPP.
Sebut saja di antaranya inefisiensi birokrasi terkait dunia usaha dan industri, mahalnya biaya energi, dan kenaikan upah buruh yang tidak diikuti oleh peningkatan produktivitas. Demikian pula tidak efisiennya sistem logistik yang membuat peringkat kinerja logistik Indonesia berada jauh di bawah hampir seluruh anggota TPP, khususnya logistik yang mendukung aktivitas ekspor-impor.
Oleh karenanya, tidak heran jika selama ini ekspor Indonesia ke AS tumbuh lebih lambat dibanding Vietnam. Padahal, hingga 2015 lalu fasilitas pemangkasan tarif dalam TPP belum efektif diberlakukan, sehingga sebagian besar tarif impor yang dikenakan negeri Paman Sam untuk produk Vietnam masih relatif sama dengan yang dikenakan untuk produk RI.
Tanpa ada upaya segera dan serius untuk mengatasi faktor-faktor penghambat daya saing ekspor tersebut, peningkatan ekspor yang kita harapkan dari bergabung dengan TPP bukan tidak mungkin hanya akan menjadi ilusi belaka.
Selain itu, sebagian produk ekspor andalan Indonesia saat ini seperti furniture, udang, karet, dan kopi sudah menikmati tarif 0%, sehingga bergabung dengan TPP tidak akan banyak berpengaruh terhadap peningkatan ekspor produk-produk ini.
Terlebih lagi, permintaan pasar AS untuk komoditas andalan RI seperti karet dan minyak sawit, dalam lima tahun terakhir justru mengalami tren penurunan yang cukup tajam. Itulah yang menjadi penyebab kontraksi tajam ekspor karet Indonesia dalam lima tahun terakhir, selain karena faktor anjloknya harga karet dunia.
Di luar ketiga alasan di atas, yang jauh lebih penting untuk diwaspadai lagi sebenarnya adalah fakta bahwa TPP bukan semata-mata perjanjian dagang. Substansi yang diatur dalam TPP memiliki cakupan yang sangat luas dengan tingkat intervensi terhadap peraturan perundang-undangan dalam negara anggota yang sangat dalam, bahkan melebihi aturan-aturan liberalisasi dalam Masyarakat Ekonomi Asean. Selain perdagangan barang, TPP juga mengatur perdagangan jasa, tenaga kerja, investasi, pelestarian lingkungan, perlindungan hak cipta, persaingan usaha, BUMN, UMKM, dan anti korupsi.
ASPEK NON-DAGANG
Artinya, besarnya potensi manfaat dari perdagangan barang saja belum cukup untuk dijadikan dasar bagi Indonesia untuk bergabung ke TPP, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain tersebut.
Pertama, TPP sangat perinci mengatur standar perlindungan investasi, di mana jaminan perlindungan maksimal diberikan kepada investor asing oleh negara tuan rumah, sedangkan kewajiban investor dan negara asalnya tidak banyak disinggung. TPP juga menuntut jaminan kepada negara penerima untuk tidak menasionalisasi perusahaan penanam modal, baik dalam bentuk divestasi saham maupun pengambilalihan lahan. Padahal divestasi saham perusahaan asing khususnya di sektor tambang di Indonesia merupakan kebijakan strategis untuk penguasaan kekayaan alam oleh negara dalam jangka panjang.
Apabila pemerintah melakukan perubahan kebijakan yang berdampak pada pelanggaran kesepakatan investasi, pemerintah dapat dituntut hingga ganti rugi penuh, meskipun alasan pelanggaran kesepakatan adalah untuk kepentingan masyarakat di negara tersebut. Dalam hal ini, Indonesia pernah mengalami beberapa kasus sengketa dengan investor asing di arbitrase internasional, dengan tuntutan ganti rugi hingga miliaran dolar.
Kedua, adanya ketentuan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual dalam kesepakatan TPP berpotensi mengancam penggunaan obat generik, yaitu obat-obatan yang masa hak patennya telah habis sehingga dapat dijual dengan harga murah. Hal ini tentunya akan berdampak pada peningkatan biaya pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya penyediaan obat-obatan bagi masyarakat menengah ke bawah. Padahal, Indonesia masih sangat bergantung pada obat generik untuk dapat pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah.
Ketiga, TPP menuntut persamaan perlakuan dan kompetisi bebas antara seluruh pelaku usaha, baik asing maupun dalam negeri, termasuk juga badan usaha milik negara (BUMN). Ketentuan ini tentunya bertolak belakang dengan upaya pemerintah lebih mendorong peran BUMN sebagai agent of development di berbagai sektor.
Belum lagi bila mempertimbangkan berbagai ketentuan TPP lainnya yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa pemerintah, UMKM, perburuhan, bahkan yang di luar domain ekonomi dan perdagangan, yakni ranah sosial, hukum dan lingkungan hidup. Oleh karenanya, kajian tentang TPP harus dilakukan dengan sangat komprehensif dengan melibatkan seluruh aktor dan pakar dalam bidang-bidang terkait, tidak hanya di bidang ekonomi dan perdagangan saja.
Jangan sampai keinginan untuk merebut pasar ekspor di beberapa sektor malah mengakibatkan kerugian yang bisa jadi jauh lebih besar, tidak hanya dari sisi finansial, tetapi juga kedaulatan hukum serta penguasaan sumber daya dan aset-aset strategis negara.
*) Mohammad Faisal, Research Director at the Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia
Sumber Berita :
http://koran.bisnis.com/read/20160526/251/551648/meluruskan-kekeliruan-tentang-tpp