Warta Ekonomi.co.id, Jakarta – Lembaga swadaya masyarakat Indonesia Global Justice (IGJ) menginginkan pemerintah benar-benar melindungi kedaulatan petani nasional dalam perundingan ASEAN Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
“Perjanjian RCEP akan mengancam kedaulatan petani melalui pengaturan perlindungan hak kekayaan intelektual khususnya mengenai benih,” kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Senin (17/10/2016).
Menurut Rachmi Hertanti, pada saat ini sudah banyak petani di berbagai daerah yang sudah mengalami kriminalisasi akibat pengaturan hak kekayaan intelektual, yang salah satu isu pentingnya adalah tentang kedaulatan petani atas benih.
Rachmi berpendapat bahwa RCEP berpotensi kembali mengkriminalisasi petani jika Pemerintah Indonesia tidak menyusun strategi yang tepat dalam perundingan perjanjian pasar bebas yang terkait dengan RCEP. Pada 17-21 Oktober 2016 akan berlangsung putaran perundingan ASEAN RCEP ke-15 di Tianjin, Tiongkok.
Perjanjian perdagangan RCEP yang terdiri atas 10 negara ASEAN dengan Australia, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan yang diharapkan selesai akhir tahun ini.
Sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menginginkan pemerintah dapat memberanikan diri untuk menyetop impor pangan guna meningkatkan kesejahteraan kalangan petani di berbagai daerah.
“Stop impor butuh keberanian politik,” kata Ketua Bidang Petani, Pekerja dan Nelayan DPP PKS Ledia Hanifa dalam rilis, Rabu (28/9/2016).
Menurut dia, kebijakan politik yang penting sebagai kunci kesejahteraan petani adalah dengan menghentikan impor pangan strategis yang sebenarnya mampu dihasilkan oleh petani.
Mengutip data Biro Pusat Statistik (BPS) 2015, Ledia memaparkan nilai impor 8 produk strategis nasional seperti beras, jagung, kedelai, gula, gandum, dan garam menembus angka Rp52 triliun.
“Ini jelas sebuah ironi di negeri agraris,” katanya dan menambahkan, pengawalan UU Perlindungan petani sampai di level provinsi dan kabupaten dalam bentuk lahirnya perda adalah wujud nyata kehadiran negara di sawah dan desa.
Ia juga berpendapat target kedaulatan pangan pemerintah sampai kini masih belum tercapai sepenuhnya, meskipun Indonesia merupakan negeri agraris. Padahal, lanjutya, kodrat negeri agraris dan maritim adalah kodrat Indonesia, dan potensi agraris akan mampu mengantarkan Indonesia perkasa dalam urusan pangan sebagai pilar ketahanan nasional sampai level pedesaan. (Ant)