REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi VII DPR, Mercy Chriesty Barends mengatakan, pemerintah harus mencermati dengan bijak banyaknya persoalan perdagangan dan investasi yang berpotensi merugikan kepentingan rakyat Indonesia. Salah satunya, tentang perjanjian perdagangan dengan negara lain, yaitu tidak adanya proses alih teknologi. Artinya, kata dia, Indonesia akan terus bergantung pada negara-negara maju.
“Kami menolak dengan keras bagian isi perjanjian yang tidak memungkinkan investasi tanpa alih teknologi, dan rekrutmen tanaga kerja asing besar-besar-besaran dalam suatu investasi, tapi mengabaikan tenaga kerja lokal,” ujar Mercy saat diskusi panel ahli tentang Perundingan RCEP dan Tantangannya di Ruang KK1 Gedung Nusantara DPR dalam keterangan pers di Jakarta, Ahad (11/12).
Diskusi tersebut digelar menyikapi putaran ke-16 perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), sebuah perjanjian perdagangan regional. Selain Indonesia, perjanjian antarnegara itu melibatkan Cina, India, Korea Selatan, Selandia Baru, Jepang, dan Australia.
Menurut Mercy, dengan perjanjian tersebut negara atau korporasi yang melakukan investasi di suatu negara tertentu dapat membawa tenaga kerja murah dari negara asalnya. Hal itu berarti, kata dia, pasar tenaga kerja nasional akan rusak dan angka pengangguran semakin tinggi.
Mercy meminta DPR dan pemerintah pusat yang terkait dengan isi perjanjian RCEP sudah harus memastikan untuk memasukan Human Right Impact Assessment (HRIA) sebagai mandatory step. Ini, kata dia, penting dibahas saksama di awal sebelum perjanjian perdagangan bebas tersebut ditandatangani.
“Memastikan proses negosiasi berlangsung transparan dengan melibatkan partisipasi publik untuk memberikan masukan dan saran untuk menjamin kepentingan masyarakat,” kata politikus PDIP tersebut.
http://www.republika.co.id/berita/dpr-ri/berita-dpr-ri/16/12/11/oi0jqq365-pemerintah-diminta-bijak-dan-saksama-soal-perjanjian-perdagangan-antarnegara