Ketentuan Investasi Perundingan RCEP Berikan Privilege Asing di Indonesia Memuat mekanisme sengketa yang dapat digunakan oleh investor untuk menggugat negara.
Tidak sedikit kekhawatiran yang disampaikan berbagai pihak terkait negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang saat ini memasukiround ke 19 di Hyderabad, India. Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi yang terdiri dari sejumlah LSM dan organisasi masyarakat, sepakat bahwa perkembangan yang terjadi dalam perundingan RCEP semakin menunjukan keberpihakan terhadap Korporasi dan berpotensi memperburuk situasi kehidupan rakyat kecil seperti petani, nelayan, pasien, buruh, pelaku usaha kecil, dan perempuan di 16 negara anggota RCEP.
“Praktik dominasi dan monopoli korporasi asing dalam perekonomian Indonesia akan semakin terlindungi di dalam RCEP, melalui perundingan bab investasi,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmi Hertanti, dalam konfrensi pers, Senin (24/7), di Jakarta.
Rahmi memaparkan selain memuat aturan perlindungan yang wajib dilakukan oleh host state kepada investor, dalam bab investasi juga memuat mekanisme sengketa yang dapat digunakan oleh investor untuk menggugat negara secara langsung apabila negara dianggap menerapkan kebijakan yang merugikan investor. Mekanisme ini dikenal dengan Investor-State Dispute Sattlement (ISDS).
Oleh karena itu, ia menegaskan kepada Pemerintah untuk menolak mekanisme ISDS dalam RCEP karena hal ini tidak sejalan dengan kebijakan yang telah diambil Pemerintah ketika melakukan terminasi terhadap Bilateral Investment Treaty (BIT) karena dianggap mekanisme ISDS ini merugikan Indonesia. (Baca Juga: Hak Digital Publik Jadi Pertaruhan di RCEP, Pemerintah Harus Tegas)
Rachmi juga menjelaskan bagaimana aturan RCEP juga memberikan privilege bagi dominasi dan monopoli korporasi besar adalah juga yang terjadi dalam isu digital, dimana aturan larangan diskriminasi terhadap produk digital telah menimbulkan kompetisi yang tidak adil dan berimplikasi terhadap start-up lokal.
“Masuknya pemain kelas dunia dalam e-commerce di Indonesia seperti OLX dan Lazada dengan suntikan dana asing membuat kedua perusahaan ini mendominasi praktek e-commerce di Indonesia. Hal ini menimbulkan tantangan besar bagi perkembangan start-up local” terang Rachmi.
Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI menambahkan RCEP tidak boleh lagi memberikan perlakuan istimewa kepada investor asing melalui sistem arbitrase internasional yang memungkinkan mereka melewati sistem hukum nasional untuk mengajukan tuntutan hukum kepada pemerintah, selain itu investasi harus tunduk pada evaluasi yang mencakup partisipasi masyarakat sipil dan penilaian dampak lingkungan dan hak asasi manusia.(Baca Juga: Perundingan RCEP Tak Transparan, Pemerintah Dinilai Tak Demokratis)
Menurut Yuyun, model perjanjian perdagangan bebas yang didorong selama ini hanya menguntungkan korporasi,baik asing maupun nasional yang pada akhirnya akan memperparah ketimpangan sebagaimana terlihat dari 59% sumberdaya agraria hanya dikuasai oleh 1 % orang selain memperparah kerusakan lingkungan hidup dan iklim melalui penguasaan dan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan perkebunan kayu skala besar.
”Perjanjian pedagangan harus didasarkan pada solidaritas internasional, selaras dengan komitmen internasional terhadap perubahan iklim, lingkungan, tenaga kerja, hak asasi manusia, dan kesehatan masyarakat. Pemerintah, masyarakat yang terkena dampak dan organisasi masyarakat sipil dapat meminta pertanggungjawaban investor jika terjadi pelanggaran terhadap kewajiban tersebut,”tegas Yuyun.
Terkait kontrol dan dominasi investor asing terhadap kehidupan rakyat, Koordinator KRuHA (Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air), Muhammad Reza menjelaskan Perdagangan bebas ala RCEP hanya akan mengakselerasi komodifikasi dan komersialisasi hajat hidup orang banyak, semakin memperlemah peran negara.
“Contoh yang paling konkrit adalah ketika negara tidak berdaya dlm upaya memutus kontrak privatisasi air di Jakarta dan upaya mengubah kontrak karya freeport menjadi Izin,” tegasnya.
Kartini Samon, peneliti dari GRAIN menyatakan, bab investasi dan perdagangan sektor jasa yang dirundingkan dalam RCEP berpotensi membuka pintu bagi investor dari negara anggota RCEP untuk memiliki tanah pertanian di negara anggota lainnya, dibawah aturan National Treatment pemerintah diwajibkan untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap investor local dan asing. Hal ini dapat meningkatkan potensi konflik lahan yang sudah tinggi di Indonesia saat ini dan semakin meminggirkan petani kecil.
Sementara untuk sector pangan, Zainal Arifin Fuad dari Serikat Petani Indonesia (SPI) berpendapat bahwa RCEP menjadi ancaman baru bagi kaum tani, baik dari sisi alat produksi seperti tanah, air dan benih, maupun dari sisi distribusi.
Dia mencontohkan bab perdagangan jasa misalnya, akan membuat pemerintah kehilangan haknya untuk membatasi operasi rantai retail yang datang dari negara anggota RCEP (market access). Bahkan, katanya, perjanjian perdagangan ini akan membuat pemerintah tidak berhak meminta para penyedia jasa layanan distribusi pangan untuk terdaftar atau memiliki perwakilan legal dan fisik di negara anggota RCEP dan atau memastikan sekian persen supply berasal dari produsen lokal.
“Maka RCEP juga bertentangan dengan program Kedaulatan Pangan dan Reforma Agraria Pemerintah Indonesia,” tutur Zainal.
Kemudian, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewi, menyatakan bahwa perempuan berperan penting dalam produksi pangan subsisten yang menjamin pangan dan gizi masyarakat. Namun, RCEP akan menghilangkan ini dan menghentikan perempuan untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya dalam pengelolaan pangan yang digantikan oleh sistem modern oleh korporasi.
“Untuk itu, kami bersama-sama dengan perempuan adat, perempuan tani, perempuan nelayan, dan perempuan lainnya yang termarjinalkan secara tegas menolak RCEP,” pungkasnya.
Dampak Perlindungan HaKI untuk Investor
Berdasarkan bocoran teks Intellectual Property Rights (IPR) RCEP, negara anggota RCEP akan diwajibkan untuk masuk menjadi anggota sistem paten internasional UPOV 1991. Hal ini akan menghambat kebebasan petani untuk mengembangkan dan mendistribusikan benih-benih lokal serta meningkatkan harga benih antara 200 hingga 600% berdasarkan situasi yang dialami petani di negara tetangga seperti Thailand dan Filipina.
Situasi ini akan semakin meningkatkan dominasi dan keuntungan produsen benih dan pestisida multinasional, sementara memperburuk situasi 25 juta rumah tangga petani kecil di Indonesia dan lebih dari 420 juta rumah tangga petani kecil di 16 negara anggota RCEP.
“Padahal secara nasional dalam perundangan kita terkait sistem budi daya pertanian dan perbenihan, atas keputusan Mahkamah Konstitusi petani mempunyai hak untuk melakukan pemuliaan benih dan mendistribusikannya,” ujar Achmad Yakub dari Bina Desa.”
Senada dengan itu, Deny dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengemukakan potensi ancaman RCEP terhadap akses obat terjangkau. “Ketentuan dalam RCEP mengenai Hak Kekayaan Intelektual seperti perpanjangan masa paten dan data eksklusifitas akan dapat merugikan banyak orang di seluruh dunia yang mengandalkan obat-obatan generik yang terjangkau,” ujar Deny yang menilai keberadaan RCEP mempersulit Indonesia untuk memaksimalkan fleksibilitas dari The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) guna menjamin obat terjangkau yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Terakhir, Lutfia Hanim, dari Third World Conecction, menyebutkan 16 negara Anggota RCEP yang terdiri dari10 Negara Asean serta Korea Selatan, India, Jepang, Selandia Baru, dan Cina. Hanim menyebutkan bahwa sebelumnya sudah terdapat beberap Free Trade Area (FTA) yang anggotanya adalah Indonesia dengan sejumlah negara RCEP, sehingga ia dengan tegas mempertanyakan urgensitas keterlibatan Indonesia di dalam RCEP.
Selain itu, Hanim juga menyoroti begitu tertutupnya perundingan RCEP. Hanim menilai hal ini menyulitkan keterlibatan publik dan menyulitkan kerja DPR nantinya disaat akan meratifikasi hasil perundingan RCEP.
“Kita konsen dengan masalah ketertutupan. Perundingan ini sudah sampai ke round 19. Sampai sekarang tidak ada draft dan apapun yang bisa di akses. Bahkan saat perundingan, tidak ada wartawan, tidak ada konfrensi pers. Jadi masyarakat atau bahkan DPR tidak tahu apa yang dirundingkan, isinya apa, sudah sampai mana. Sekarang apa hasilnya kita tidak tahu,” pungkas Hanim.