JAKARTA – Kompak dengan lembaga swadaya masyarakat, pemerintah dalam perundingan Organisasi Perdagangan Dunia di Buenos Aires, Argentina, pekan ini, bertahan pada posisi memperjuangkan agar subsidi perikanan tetap dapat diberikan kepada nelayan kecil.
Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Nilanto Perbowo mengatakan Indonesia bahkan mendorong supaya subsidi perikanan dikaitkan dengan upaya setiap negara menghentikan praktik illegal, unreported, and unregulated fishing(IUUF).
Demikian pula dengan pengelolaan sumber daya perikanan di setiap negara agar dijadikan salah satu rujukan untuk menetapkan kriteria pemberian subsidi perikanan di masing-masing negara.
“Artinya, Indonesia tidak mendukung pemberian subsidi bagi kapal-kapal perikanan yang berskala komersial, industri, berukuran besar, karena tidak sebanding dengan kemampuan negara berkembang memberikan subsidi yang sama,” katanya kepada Bisnis, Senin (11/12).
Indonesia, lanjutnya, sangat berkepentingan untuk mempertahankan reformasi perikanan yang sudah berjalan 3 tahun terakhir, mulai dari pembatasan ukuran kapal perikanan hingga larangan alih muatan (transhipment) internasional.
Pemerintah mengklaim kebijakan reformasi itu telah mengerek stok ikan dan menguntungkan nelayan kecil. “Penangkapan ikan oleh nelayan kecil sekarang mendapatkan hasil lebih banyak sebelumnya,” ujar Nilanto.
Sebelumnya, 13 LSM yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia mendesak agar penghapusan subsidi perikanan dikecualikan pada aktivitas penangkapan ikan skala kecil, penangkapan ikan secara artisanal, dan penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif.
Nelayan kecil Indonesia membutuhkan dukungan pemerintah berupa alat dan kapal penangkapan; biaya operasional untuk melaut, seperti subsidi BBM, skema permodalan dan asuransi untuk nelayan, pembebasan pajak dan retribusi; sarana dan prasana pendukung hasil tangkapan; serta bantuan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perikanan.
“Kami menilai posisi Indonesia yang mendorong penguatan terhadap disiplin S&D [special and differential treatment untuk negara berkembang dan LDCs [least development countries] adalah langkah yang tidak dapat ditawar,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti. (Sri Mas Sari).