“Saatnya Nelayan Tradisional Berdaulat”
Jakarta, 6 Desember 2017
Kepada Yth
Bapak Joko Widodo, Presiden RI
Bapak Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI
Bapak Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan RI
Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Ibu Sondang Anggraini, Duta Besar Indonesia untuk WTO
Bapak Iman Pambagyo, Dirjen Perundingan Perjanjian Internasional, Kemendag RI
Bapak Jully Paruhum Tambunan, Direktur Perundingan Multilateral, Kemendag RI
Bapak Nilanto Perbowo, Direktur Jendral Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk
Kelautan Dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
Bapak Adi Dzulfuat, Kasubdit Penanganan Sengketa Perdagangan dan Kekayaan Intelektual
Direktorat PKKI, Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia
di Tempat
Hal: Penyampaian Kertas Posisi Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia
Tentang Isu Subsidi Perikanan Dalam Perundingan KTM Ke-11 WTO
Dengan hormat,
Kami, kelompok masyarakat sipil Indonesia yang bertanda tangan di bawah ini, dengan ini
menyampaikan beberapa pandangan dan masukan kami untuk posisi runding Indonesia terkait
dengan perundingan subsidi perikanan dalam perundingan KTM ke-11 WTO yang akan berlangsung
pada 10-15 Desember 2017, di Buenos Aires, Argentina.
Pasca KTM ke-9 WTO di Bali memandatkan kembali pembahasan mengenai Doha Development
Agenda (DDA). Isu mengenai subsidi perikanan merupakan bagian dari mandat Doha Development
Agenda 2001 yang menginginkan adanya perbaikan terhadap aturan disiplin dalam Pelaksanaan
Pasal VI GATT 1994 dan Kesepakatan tentang Subsidies and Countervailing Measures. Perundingan
Subsidi perikanan akan difokuskan pada persoalan overfishing, overcapacity, dan IUU Fishing di
seluruh perairan dunia yang disebabkan oleh adanya pemberian subsidi di bidang perikanan, dengan
merujuk pada target pendisplinan pada Agenda 14 SDGs dengan melarang subsidi yang
berkontribusi terhadap overfishing dan overcapacity dan pemberantasan IUUF pada tahun 2020.
Adapun beberapa pandangan kritis dan masukan terhadap posisi runding Indonesia, kami sampaikan
sebagai berikut:
1. Tentang Praktek Overfishing, Overcapacity, dan IUU Fishing
Data FAO menyebutkan bahwa subsidi perikanan dunia dinilai telah mencapai hingga USD 35 milyar,
dimana sekitar USD 20 Milyar dari subsidi tersebut berkontribusi secara langsung terhadap aktivitas
penangkapan ikan yang berlebih dan berdampak langsung pada keberlanjutan sumber daya
perikanan. Hal ini berdampak terhadap pangsa stock ikan yang terus menurun sepanjang tahun. FAO
mencatat adanya penurunan stok ikan yang yang cukup signifikan, dari sekitar adanya 90 persen stok
ikan di tahun 1974 dan menurun hingga 69 persen di tahun 2013
Oleh karena itu, kami mendukung upaya global untuk mengatasi overfishing, overcapacity,
dan praktek IUU Fishing di seluruh perairan dunia yang disebabkan oleh adanya pemberian
subsidi di bidang perikanan berlebih pada industri penangkapan ikan berskala besar, dan
secara khusus subsidi di negara-negara industri.
Pada level nasional, kami menilai bahwa kasus pencurian ikan di Indonesia melibatkan jaringan
“pasar” yang cukup besar karena dilakukan oleh pencuri ikan dari berbagai negara dan diperkirakan
menyebabkan Indonesia mengalami kerugian sekitar US$ 20 miliar atau sekitar Rp 260 triliun.
Sementara, di tingkat global kerugian akibat Illegal, Unreported, and Unregulated (lUU) Fishing
diperkirakan mencapai USD10 miliar hingga USD23,5 miliar atau setara Rp310 triliun per tahun.
Untuk itu, tindakan tegas terhadap praktik pencurian ikan menjadi salah satu cara untuk menekan
over exploitations yang terjadi di Indonesia.
Kami juga menilai, penindakan illegal fishing oleh Pemerintah Indonesia tidak cukup dengan
menenggelamkan kapal, walaupun jumlah kapal yang ditenggelamkan sudah mencapai 317 unit
kapal pencuri. Tetapi bagaimana penegakan hukum terhadap perusahaan pemilik kapal menjadi
kunci utamanya. Karena penindakan hukum hanya sebatas pada kapten kapal tidaklah cukup
membuat efek jera perusahaan pemilik kapal. Selain itu, penegakan hukum terhadap illegal fishing
harus menyentuh pada praktek-praktek pencurian ikan di perbatasan seperti double flagging,
mematikan alat VMS, dan transshipment di tengah laut.
Oleh karena itu, kami meminta agar Pemerintah Indonesia dapat melakukan penindakan
terhadap praktek-praktek overfishing, overcapacity, dan IUU Fishing yang dapat menyentuh
pada aktor utamanya, dan bukan ditujukan pada pelaku kecilnya. Aturan WTO harus juga
diarahkan pada hal ini.
2. Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia & Pengutamaan Peran Nelayan
Kami mencatat, bahwa hingga hari ini Indonesia memiliki 2.7 jiwa nelayan, baik mereka yang
beroperasi di laut maupun perairan umum, dimana sekitar 556.349 unit kapal sedang beroperasi dan
95,6 persen di antaranya adalah kapal skala kecil yang beroperasi di sekitar pesisir pantai atau
beberapa mil dari pantai, dengan spesifikasi perahu tanpa motor sebanyak 170.938 unit, kapal motor
tempel sebanyak 225.786 unit, kapal motor di bawah 5 GT sebanyak 123.748 unit, dan kapal motor
ukuran 5GT s.d 10 GT mencapai 35.877 unit (KIARA, 2017).
Berpijak pada keberadaan mayoritas nelayan lokal tersebut, Presiden Joko Widodo dalam salah satu
dari lima pilar Poros Maritim menempatkan nelayan sebagai pilar utama dalam Menjaga sumber daya
laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut di Indonesia.
Namun, nelayan belum sejahtera. Data BPS menunjukan 63,47% penduduk miskin di Indonesia
berada di daerah pesisir dan pedesaan. Rata-rata tingkat upah nelayan sekitar Rp1,1 juta per bulan,
sedikit di bawah pekerja bukan nelayan yang memiliki upah Rp 1,2 juta per bulan. Hasil survei
Pendapatan Rumah Tangga Pertanian 2011, penghasilan per tahun dari hasil melaut nelayan
mencapai Rp28 juta atau per bulannya hanya sekitar Rp2,3 juta.
Subsidi untuk nelayan adalah amanat Konstitusi. Nelayan Indonesia masih sangat membutuhkan
dukungan pemerintah terkait berbagai persoalan yang dihadapi nelayan seperti 1) Alat dan kapal
penangkapan; 2) biaya operasional untuk melaut, seperti: subsidi BBM, skema permodalan dan
asuransi untuk nelayan, serta Pembebasan pajak dan retribusi; 3) Sarana dan prasana pendukung
hasil tangkapan; dan 4) bantuan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan perikanan.
Kami menilai, hanya sekitar 16 persen dari total subsidi perikanan dari Pemerintah Indonesia yang
sampai pada nelayan tradisional skala kecil. Sebaliknya, 90% subsidi perikanan diberikan secara
ekslusif pada industri perikanan skala besar yang berkontribusi pada penangkapan ikan berlebih.
Merujuk kepada tiga kebijakan nasional yaitu UU Perikanan, UU Kelautan dan UU Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam terdapat sedikitnya 24 bentuk
tindakan kebijakan subsidi yang terkandung dalam pasal undang-undang tersebut (KNTI, 2017).
Dalam mandatnya, kebijakan undang-undang tersebut mewajibkan negara hadir untuk memenuhi
kebutuhan dasar pelaku kegiatan perikanan nelayan tradisional skala kecil. Lebih lanjut Indonesia
adalah salah satu negara yang berkomitmen kuat untuk melindungi perikanan skala kecil melalui
Pedoman FAO Mengenai Perlindungan Perikanan Skala Kecil dalam Konteks Mengurangi
Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Tahun 2014, dimana pendekatan hak asasi manusia menjadi
jiwa dari upaya perlindungan perikanan skala kecil.
Secara khusus tentang subsidi BBM, kami mencatat dari 90% rumah tanggal nelayan, 60%
pengeluaran produksinya didominasi oleh kebutuhan pembelian bahan bakar minyak (BBM). Namun
keberadaan Permen ESDM No. 6 tahun 2014 yang membolehkan Kapal 30 GT mendapatkan subsidi
solar telah berdampak terhadap terjadinya penimbunan BBM bersubsidi oleh pihak-pihak tertentu
(tengkulak) dan kemudian dijual dengan harga lebih tinggi di pasaran. Hal ini terjadi pada nelayan di
pesisir Pantura Jawa seperti di Kendal, yang membeli bahan bakar berupa solar tidak melalui SPBN
(gerai resmi dengan harga subsidi) sehingga membeli BBM yang harganya lebih mahal.
Di sisi lain, kami melihat dan menemukan bahwa kearifan tradisional nelayan dan masyarakat adat di
kepulauan Indonesia adalah praktik yang telah berlangsung selama berabad-abad dan masih efektif
dipraktekkan hingga hari ini guna menjaga keanekaragaman hayati yang amat kaya; serta merawat
perekonomian berbasis dari dan untuk komunitas. Pengelolaan berbasis komunitas tersebut dapat
kita temukan di berbagai kawasan pesisir Indonesia, yang kini masih dipraktekkan nelayan dan
masyarakat adat pesisir.
Pengelolaan eksosistem pesisir dan laut berbasis komunitas merupakan agenda penting yang harus
didukung Pemerintah dan berbagai pihak guna mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, dengan
tidak mengeyampingkan atau bahkan menghilangkan hak-hak konstitusional masyarakat nelayan dan
adat dalam menjaga kelestarian ekosistem demi kelangsungan hidup dan keberlanjutan
keanekaragaman hayati yang memiliki nilai sosial, budaya, religius, dan bahkan ekonomi.
Terlebih lagi asumsi bahwa konsekuensi subsidi perikanan menyebabkan penangkapan berlebih dan
memacu menipisnya stok ikan, khususnya di negara berkembang, adalah pandangan yang keliru dan
tidak sesuai dengan fakta lapangan. Di Indonesia, 91,8 persen di antaranya nelayan tradisional
dengan armada kapal bertonase di bawah 5 gross ton. Dalam konteks inilah, Indonesia harus kembali
kepada mandat UUD 1945.
Terjadinya ketimpangan ekonomi dapat terlihat dengan jelas antara nelayan skala kecil dan industri
perikanan skala besar ini akibat dari distribusi subsidi perikanan yang tidak adil tersebut. Oleh karena
itu, kami meminta agar agenda penghapusan subsidi perikanan bukan ditujukan bagi nelayannelayan
tradisional skala kecil, tetapi harus difokuskan pada pelaku usaha perikanan tangkap
skala besar.
3. Tuntutan Terhadap Posisi Runding Indonesia
Kami menilai, sebagai negara maritim dan dalam rangka memperkuat implementasi agenda poros
maritim, perundingan isu subsidi perikanan di WTO menjadi penting untuk dikawal prosesnya. Hal ini
dilakukan guna memastikan isi kesepakatan WTO tidak bertentangan dengan kepentingan
perlindungan terhadap sumber daya dan kedaulatan perikanan Indonesia, serta kesejahteraan
nelayan.
Kami melihat, bahwa kepentingan terhadap isu subsidi perikanan terbagi menjadi dua, dimana di satu
sisi, mayoritas negara berkembang dan negara-negara miskin menginginkan agar segala
kesepakatan yang melarang beberapa kategori subsidi perikanan harus merujuk secara eksplisit
kepada pembukaan mandat yang diberikan dalam Program Kerja Doha (Doha Work Program) tahun
2001. Namun, di sisi yang lain negara-negara industri bersama dengan sekutunya dalam Koalisi
‘Friends of Fish’ – Argentina, Peru, Kolombia, dan Uruguay – bertekad untuk menghapus “Doha” dari
kesepakatan subsidi perikanan yang diusulkan serta dari Ministrial Declaration Buenos Aires di KTM
11 WTO nanti.
Kami menilai bahwa posisi Indonesia yang mendorong penguatan terhadap disiplin special and
differential treatment (S&D) untuk negara berkembang dan LDCs countries adalah langkah yang tidak
dapat ditawar.
Kami meminta agar Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan Posisi runding yang memberikan
pengecualian terhadap larangan subsidi terkait dengan kegiatan penangkapan ikan secara artisanal,
penangkapan ikan skala kecil, dan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (EEZs) dengan
tetap berpedoman pada kebijakan peraturan perundang-undangan nasional dan Pedoman
Perlindungan Perikanan Nelayan Skala Kecil FAO Tahun 2014.
Oleh karena itu, dari pandangan kritis diatas, maka dengan ini kami menyusun beberapa
rekomendasi posisi runding Indonesia di WTO sebagai berikut:
1. Tidak melakukan trade-off kepentingan antara isu subsidi perikanan dengan isu-isu Singapura di
dalam KTM ke-11 WTO.
2. Pembatasan ataupun penghapusan subsidi perikanan harus difokuskan pada industri-industri
perikanan tangkap (hulu hingga hilir) berskala besar dan negara-negara industri.
3. Aturan penindakan terhadap praktek-praktek overfishing, overcapacity, dan IUU Fishing di dalam
WTO harus dapat menyentuh pada aktor utamanya, dan bukan ditujukan pada pelaku kecilnya.
4. Mempertahankan posisi runding Indonesia terhadap subsidi di sektor perikanan yang telah
diberikan oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana diatur di dalam UU No.7 Tahun 2016 dan UU
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
5. Mandat Doha Development Agenda (DDA) harus menjadi rujukan dalam perundingan subsidi
perikanan yang tetap memperhatikan kepentingan negara berkembang dan negara terbelakang
(LDCs Countries) dengan menerapkan ketentuan special and differential treatment (S&D).
6. Tidak terjebak pada usulan atau proposal yang membagi skema subsidi kepada beberapa
klasifikasi box (green box, blue box, amber box) seperti yang telah terjadi pada isu pertanian.
7. Menyusun posisi runding yang memperkuat konsep perlindungan nelayan tradisional skala kecil
dengan pendekatan terpadu atas eksosistem pesisir dan laut berbasis komunitas, guna
mencegah hilangnya keanekaragaman hayati, dengan tidak mengeyampingkan atau bahkan
menghilangkan hak konstitusional masyarakat nelayan dan adat dalam menjaga kelestarian
ekosistem demi kelangsungan hidup dan keberlanjutan keanekaragaman hayati yang memiliki
nilai sosial, budaya, religius, dan bahkan ekonomi.
Namun, jika dalam prosesnya kesepakatan WTO tidak mampu melindungi kedaulatan nelayan
dan wilayah maritim Indonesia, maka sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia
mempertimbangkan untuk segera mencabut komitmentnya di WTO.
Hormat kami,
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN)
Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI)
Aliansi Nelayan Sumatera Utara (ANSU)
Forum Nelayan Jawa Tengah (FJNT)
Komite Perjuangan Rakyat (KPR)
BINA DESA
Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Narahubung:
Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ: 08174985180
Susan Herawati, Sekjen KIARA: 082111727050
Ahmad Marthin Hadiwinata, Ketua Harian KNTI: 081286030453