Sembilan lembaga swadaya masyarakat dan lima orang petani petambak garam yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Ekonomi mengajukan judicial review sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU) No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka diantaranya, Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesian Human Rights and Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Solidaritas Perempuan (SP) dan KIARA. Lima pemohon lainnya bersifat perorangan yakni Amin Abdullah, Mukmin, Fauziah, Baiq Farihun dan Budiman.
Koordinator Kuasa Hukum Tim Advokasi Keadilan Ekonomi, Henry Oliver David Sitorus menerangkan ada empat pasal yang dimohonkan pengujian yakni Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 UU Perjanjian Internasional. Keempat pasal itu dinilai bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena selama ini peran dan fungsi pengawasan DPR sangat lemah ketika pemerintah melaksanakan perjanjian internasional.
“Keempat pasal dalam Undang Undang a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi rakyat. Akibatnya hilang kontrol dan keterlibatan rakyat (DPR) dalam proses perundingan perjanjian internasional. Kita daftarkan pengujian UU Perjanjian Internasional hari ini,” kata Henry dalam konferensi persnya di Jakarta, Rabu (14/2/2018). Baca juga: Kementerian Luar Negeri Keluarkan Inovasi Treaty Room
Misalnya, dalam Pasal 2 UU Perjanjian Internasional disebutkan, “Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal yang menyangkut kepentingan publik.”
Menurut David, frasa “berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat” menandakan peran DPR hanya sebatas memberi pertimbangan kepada pemerintah dalam memutuskan perjanjian internasional. “Kami melihat kata konsultasi menandakan tidak ada kekuatan DPR untuk mengikat agar hasil konsultasi tersebut dilaksanakan pemerintah,” kata David menerangkan.
Untuk itu, dia menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyebut, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal lainnya yang dinilai David bertentangan dengan UUD 1945 adalah Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional. Pasal itu menyebutkan “Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden”. David menilai aturan pengesahan perjanjian internasional dapat berbentuk keputusan presiden itu menandakan kesepakatan tersebut dapat dilakukan pemerintah tanpa persetujuan DPR.
Alasan yang sama juga terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 11 UU Perjanjian Internasional. “Kami melihat pasal-pasal tersebut (pasal 2, pasal 9, pasal 10 dan pasal 11 UU Perjanjian Internasional) bertentangan dengan UUD 1945,” kata David.
Perjanjian internasional yang menjadi sorotan Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi adalah kesepakatan-kesepakatan dalam bidang perdagangan internasional yang kerap dilaksanakan pemerintah. Kesepakatan tersebut dinilai berdampak negatif terhadap Indonesia.
Salah satu perjanjian internasional yang Indonesia tergabung di dalamnya adalah ASEAN Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Kerja sama ini terdiri dari negara-negara ASEAN dengan enam negara mitra lainnya yaitu Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Australia dan Selandia Baru.
Salah satu ancaman dari kerja sama perdagangan internasional tersebut adalah semakin terbukanya tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. “Misalnya, masuknya ahli teknologi dari Amerika Serikat diikuti masuknya tenaga kerja asing dengan alasan transisi teknologi yang harus diisi oleh orang asing juga,” paparnya.
Ancaman lain, pemerintah dinilai semakin mudah memberi izin masuk barang dari luar negeri ke Indonesia. Deputi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Tigor Hutapea mencontohkan salah satu kebijakan berkaitan dengan pasar bebas adalah impor garam yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 125 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Garam.
Adanya aturan tersebut, impor garam dapat dilakukan meski belum panen raya. Hal ini dinilai Tigor berimbas negatif bagi industri garam lokal karena melemahkan harga garam di tingkat petani. Menurut Tigor, alasan pemerintah mengimpor garam karena produksi nasional belum mencukupi, khususnya garam industri ternyata tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Berdasarkan hasil tinjauan langsung lapangan, Tigor menjelaskan pihaknya mendapati salah satu petambak garam yang tergabung dalam Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI) di Kabupaten Cirebon mampu menyediakan kebutuhan garam sebanyak 180 ton selama empat bulan dengan kualitas di atas rata-rata atau 97 persen tingkat yodium. “Kebijakan perdagangan bebas ini bukan untuk mensejahterakan petani garam, justru mematikan usaha pergaraman lokal,” tegasnya. Baca juga: Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Keluar dari Keanggotaan WTO
Dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta MK agar Pasal 2 dan 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional dihapus/dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal 9 ayat (2) UU Perjanjian Internasional sepanjang frasa ”dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden” bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Sementara Pasal 10 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait beban keuangan Negara hanya terbatas pada: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri”.
Sumber berita >>>http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a842251b3095/fungsi-kontrol-dpr-lemah–uu-perjanjian-internasional-dipersoalkan