Jakarta, Gatra.com – Menjelang Perundingan Indonesia-EU CEPA tanggal 19-23 Februari 2018 di Solo Kelompok Masyarakat Sipil Menggugat UU Perjanjian Internasional Ke Mahkamah Konstitusi.
Sembilan organisasi masyarakat sipil Indonesia dan 5 orang petani petambak garam yang tergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Ekonomi mengajukan Judicial Review Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ke Mahkamah Konstitusi. Pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 yakni, Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang a quo.
Pendaftaran uji materi Undang-Undang Perjanjian Internasional oleh Tim Advokasi Keadilan Ekonomi telah didaftarkan di Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 14 Februari 2018.
Henry Oliver David Sitorus Koordinator Kuasa HukumTim Advokasi Keadilan Ekonomi mengatakan keempat pasal dalam undang-undang aquo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi rakyat. Akibatnya hilang kontrol dan keterlibatan rakyat dalam proses perundingan perjanjian Internasional.
Misalnya dalam pasal 2, frasa dapat berkonsultasi dengan DPR telah menghilangkan kedaulatan rakyat dalam proses pengikatan Indonesia ke dalam sebuah perjanjian internasional yang berdampak luas terhadap kehidupan rakyat.
Karena frasa konsultasi tidak memiliki implikasi hukum dalam pengambilan keputusan pembuatan kebijakan negara, sehingga Pasal ini bertentangan dengan Pasal 11 UUD 1945 terang David.
Selain itu, pembatasan terhadap kualifikasi perjanjian internasional yang ada di dalam pasal 10 dan 11 undang-undang aquo telah mengakibatkan beberapa perjanjian internasional yang diratifikasi telah luput dari kontrol rakyat, sehingga menghilangkan hak rakyat untuk memberikan pertimbangan atas dapat atau tidaknya perjanjian internasional itu disahkan mengingat dampaknya yang luas terhadap kehidupan rakyat.
Misalnya, Pasal 11 undang-undang aquo perjanjian dibidang ekonomi, perdagangan, penanaman modal, dan perjanjian pajak berganda hanya perlu disahkan melalui Keputusan Presiden. Hal ini menempatkan kekuasaan pemerintah sangat besar daripada DPR RI yang menjadi representasi kedaulatan rakyat.
Padahal, seharusnya Presiden dalam membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, lanjut David.
Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti menyebut alasan gugatan ini diajukan menjelang perundingan Indonesia-EU CEPA adalah untuk memberikan pesan kuat kepada Pemerintah Indonesia.
“Kami ingin memberikan pesan kepada Pemerintah Indonesia bahwa Perundingan Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia-EU CEPA yang akan berlangsung di Solo pada 19-23 Februari 2018 berpotensi melanggar Konstitusi,” tegas Rachmi.
Rachmi menambahkan, gugatan Judicial Review terhadap UU Perjanjian Internasional ke Mahkamah Konstitusi ini merupakan kelanjutan upaya dari Gugatan JR UU Ratifikasi ASEAN Charter yang pada 2012 pernah digugat namun mengalami kekalahan.
“JR UUPI ini merupakan ikhtiar kami dalam mencari keadilan atas perjanjian perdagangan bebas yang berdampak buruk terhadap kehidupan rakyat,” tambahnya.
Rahmat Maulana Sidik, Department Advokasi IGJ, menjelaskan ada beberapa perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang disahkan tanpa melalui persetujuan DPR, padahal perjanjian FTA tersebut berdampak sangat luas terhadap kehidupan rakyat, dan bahkan mengharuskan adanya proses harmonisasi terhadap regulasi nasional.
Selama ini, tambahnya, proses perundingan FTA selalu tertutup, tidak melibatkan publik, dan tidak transparan mengenai apa-apa saja yang dirundingkan. Maulana juga mencontohkan dampak dari Perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), masyarakat tidak tahu kapan disahkan tetapi aturannya langsung terasa.
Seperti soal makin derasnya produk impor masuk ke Indonesia, kolapsnya industri lokal dan pelaku usaha kecil akibat kalah bersaing, masuknya tenaga kerja asing, dan sebagainya. Beberapa contoh perjanjian kerjasama yang disahkan melalui Keppres atau Perpres dan berdampak luas bagi kehidupan masyarakat yakni, Perjanjian Perdagangan antara ASEAN dan China yang diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 48 Tahun 2004, ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) 2009 yang diratifikasi Indonesia pada tahun 2010 dengan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2010; ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) tahun 2009 yang diratifikasi Indonesia pada tahun 2011 dengan Peraturan Presiden No. 49 Tahun 2011.
Ketua Departemen Luar Negeri Serikat Petani Indonesia (SPI), Zainal Arifin Fuad, menjelaskan bahwa FTA (perjanjian perdagangan bebas) adalah konsep atau kebijakan yang melibatkan hajat hidup orang banyak, sehingga dalam proses pengambilan keputusan di dalamnya harus melibatkan orang banyak pula, yakni DPR.
Munculnya tuntutan ini mengingat proses perjanjian perdagangan bebas yang sangat tidak transparan dan dampak negatifnya, setelah terealisasi, yang kerap merugikan masyarakat Indonesia, khususnya petani. Perdagangan maupun Investasi bebas memposisikan petani sebagai salah satu elemen yang paling dirugikan karena cenderung mengedepankan korporasi sebagai aktor ekonomi tunggal.
Transisi aktor ini terlihat dengan pesatnya land grabbing yang dilakukan terhadap lahan pertanian petani oleh korporasi, dan tak jarang menempatkan petani sebagai korban kekerasan dan kriminalisasi. Lagipula, konsep perdagangan bebas sebenarnya sangat bertolak belakang dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia seperti UU No. 18 tahun 2012 dan UU No. 19 tahun 2013 yang keduanya mengamanatkan negara untuk berperan aktif dalam mendorong kesejahteraan petani, termasuk dari ancaman perdagangan bebas.
Oleh karena itu, diharapkan pemerintah maupun DPR nantinya dapat menimbang ulang perjanjian-perjanjian perdagangan bebas yang sedang diproses atau sudah berlaku dan lebih mengedepankan perdagangan yang menghormati kondisi para petani.