Jakarta, 21 Maret 2018
Kepada Yth:
Bapak Joko Widodo, Presiden RI
Bapak Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI
Bapak Luhut Binsar Panjaitan, Menko Kemaritiman RI
Bapak Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan RI
Ibu Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri RI
Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Bapak Hanif Dhakiri, Menteri Ketenagakerjaan RI
Ibu Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
Bapak Iman Pambagyo, Dirjen Perundingan Perjanjian Internasional, Kemendag RI
Bapak Havas Oegroseno, Deputi Koordinasi Kedaulatan Maritim, Kemenko Kemaritiman RI
Bapak Ayodya Kaleke, Asisten Deputi Delimitasi Zona Maritim Kemenko Kemaritiman RI
Ibu Diah Suradiredja, Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI)
Hal : Penyampaian Pernyataan Masyarakat Sipil mengenai Perjanjian Kemitraan Komprehensif UE-Indonesia (IEU CEPA)
- Pendahuluan
Ini merupakan pernyataan bersama masyarakat sipil Indonesia dan Uni Eropa. Kami percaya bahwa Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif UE-Indonesia (CEPA) pertama-tama harus didekati sebagai sarana untuk melayani kepentingan umum. Hal Ini harus dilakukan dengan memastikan bahwa perdagangan dan investasi berkontribusi terhadap pembangunan yang adil dan berkelanjutan, prasyarat untuk mencakup lingkungan yang sehat, ekonomi yang ramah iklim, kepastian terhadap mata pencaharian dan pekerjaan yang layak untuk semua serta berkeadilan gender. CEPA harus bersyarat pada ratifikasi dan pelaksanaan undang-undang hak asasi manusia yang paling mendasar, serta kesepakatan iklim dan lingkungan.
CEPA harus sama sekali tidak membatasi ruang kebijakan pemerintah untuk mengatur ekonomi dan mengambil tindakan untuk memastikan hak warga negara terhadap kehidupan, pangan, air dan sanitasi, energi, kesehatan, perumahan, pendidikan dan pekerjaan yang layak. Kami melihat bahwa negosiasi saat ini sebagian besar didorong oleh kepentingan perusahaan transnasional besar. Akses dan perlindungan pasar yang tidak terbatas untuk investasi asing akan menghasilkan konsentrasi pasar dan modal lebih lanjut. Hal ini berkontribusi terhadap perkembangan sosioekonomi yang tidak adil di dalam dan di antara negara-negara dan oleh karenanya bukan merupakan cara atau langkah yang berkelanjutan untuk masa yang akan datang.
- Kondisi untuk proses negosiasi
- Berikan transparansi penuh
Transparansi mensyaratkan keterbukaan, konsultasi penuh dengan dan keterlibatan mitra sosial dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dan berbagi informasi selama proses negosiasi. Mandat, proposal negosiasi dan teks negosiasi konsolidasi dari kedua pihak yang melakukan negosiasi, serta semua masukan dari pemangku kepentingan, harus dipublikasikan secara proaktif dan harus sepenuhnya dapat diakses publik dalam bahasa yang mudah dipahami dan waktu yang cukup untuk dipelajari oleh pihak-pihak yang ingin melakukan negosiasi untuk memungkinkan akses yang sama terhadap dokumen oleh semua pemangku kepentingan.
- Memastikan masukan pemangku kepentingan yang seimbang
Semua pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan masukan kepada pengambil keputusan selama negosiasi kesepakatan ini. Pemerintah dan Komisi perlu memastikan bahwa mereka mencapai keseimbangan dalam interaksi pemangku kepentingan mereka, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal Ini termasuk secara aktif mencari masukan dari kelompok yang kurang terwakili, khususnya masyarakat adat dan perempuan sebagai tindakan afirmasi khusus, serta membatasi interaksi dengan kelompok-kelompok yang terlalu banyak diwakili. Kontak dengan kelompok kepentingan harus diungkapkan secara lengkap dan proaktif.
- Meratifikasi dan melaksanakan konvensi inti ILO
Pelanggaran hak-hak pekerja yang terus berlanjut oleh perusahaan menunjukkan kurangnya implementasi dan penegakan konvensi pekerja inti ILO oleh pemerintah Indonesia. Berbagai temuan penelitian terbaru menunjukkan bahwa banyak pelanggaran hak asasi manusia dan buruh di Indonesia yang diakui secara internasional. Tanggung jawab pemerintah dan perusahaan sebagaimana diakui oleh Prinsip-Prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menjadi pusat perundingan yang sedang berlangsung. Kesepakatan tersebut harus mencakup referensi yang jelas mengenai Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja, Agenda Pekerjaan Layak ILO, konvensi Tata Pemerintahan ILO, perlindungan hak-hak Masyarakat Adat (Konvensi ILO 169) dan perlindungan pekerja perikanan (Konvensi ILO 188). Ratifikasi konvensi tata kelola ILO C122 dan C129, ILO C169 dan kepatuhan terhadap konvensi inti ILO adalah syarat dari ratifikasi CEPA.
- Melakukan dan mengungkapkan penilaian dampak terhadap hak asasi manusia dan pembangunan berkelanjutan
Untuk memastikan perlindungan dan promosi hak asasi manusia dan untuk mendukung pembangunan yang adil dan berkelanjutan, sangat penting bahwa penilaian mendalam mengenai dampaknya terhadap hak asasi manusia dan lingkungan dilakukan sebelum berakhirnya perundingan CEPA. Hasilnya harus, bersama dengan masukan dari pemangku kepentingan, mengarah pada amandemen teks untuk memastikan bahwa kesepakatan tersebut sesuai dengan tujuan pembangunan yang adil dan berkelanjutan secara menyeluruh. Penilaian Dampak Keberlanjutan yang dibutuhkan dan Penilaian Dampak Hak Asasi Manusia (Human Capital Impact Assessment / HRIA) harus dilakukan bukan hanya ex ante (sebelum) , tetapi juga ex post (setelah), untuk mengevaluasi dan memperbaiki dampak hak asasi manusia dan lingkungan yang merugikan yang terjadi sebagai hasil kesepakatan perdagangan dan investasi.
- Deklarasi dukungan untuk Perjanjian PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang mengikat untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia oleh investor
Kami mengharapkan semua Pihak CEPA untuk secara proaktif dan konstruktif terlibat dalam perundingan di PBB untuk sebuah Perjanjian mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang bertujuan untuk memperbaiki ketidakseimbangan antara rezim perlindungan investasi dan terbatasnya akses terhadap keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia
- Akhiri penggundulan hutan
CEPA seharusnya tidak melemahkan namun berkontribusi pada upaya untuk menghentikan deforestasi, mengingat komitmen Indonesia dan UE untuk mengurangi deforestasi paling lambat pada tahun 2020 dan untuk menghentikan hilangnya tutupan hutan global pada tahun 2030. Meskipun ada pengaduan berulang yang diajukan oleh pemantau hutan independen kepada pihak berwenang/aparat penegak hukum dalam rangka penegakan Kesepakatan Kemitraan Sukarela UE-Indonesia, namun kawasan hutan terus dibabat atau dibersihkan secara ilegal, terutama untuk konsesi kelapa sawit.
III. ‘Red Lines’ atau ‘batasan keras’ untuk negosiasi
Kami mendesak pihak-pihak yang bernegosiasi untuk tidak memasukkan ketentuan apapun di bawah CEPA yang akan membatasi kapasitas negara untuk mengatur dan mengambil tindakan untuk kepentingan umum. Karena itu, ada sejumlah ‘Red Lines’ atau ‘batasan keras’yang tidak bisa dilewati dalam negosiasi
- Jauhkan minyak kelapa sawit di luar negosiasi
Indonesia adalah penghasil dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. Produksi, pengolahan dan perdagangan produk kelapa sawit di Indonesia oleh perusahaan domestik dan asing (termasuk Eropa) menyebabkan masalah lingkungan, sosial, hak asasi manusia dan perburuhan yang luar biasa. Ini termasuk pemotongan skala besar dan pembakaran hutan primer dan sekunder untuk perkebunan kelapa sawit, menjadikan Indonesia sebagai penyumbang utama perubahan iklim; pencemaran lingkungan; perampasan tanah dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat lokal; dan pelanggaran hak-hak buruh sistemik yang serius di sektor ini.
Negosiasi perdagangan bukanlah tempat yang tepat untuk memecahkan masalah ini. Dalam sebuah dialog inklusif di luar negosiasi perdagangan, melibatkan semua pemangku kepentingan, Indonesia dan Uni Eropa harus mengupayakan peta jalan yang ambisius untuk mengatasi masalah seputar kelapa sawit secara demokratis, transparan dan holistik. Termasuk peraturan akses kelapa sawit di CEPA akan menghasilkan peningkatan perdagangan produk kelapa sawit, berdasarkan skema sertifikasi sukarela yang lemah seperti RSPO dan ISPO yang tidak memiliki mekanisme pelaksanaan dan penegakan hukum dan terbukti gagal melindungi kepentingan masyarakat lokal, pekerja, petani kecil dan lingkungan.
- Mengecualikan layanan publik yang vital
Akses terhadap layanan umum dasar yang terjangkau sangat penting bagi kesejahteraan penduduk di negara manapun. Demi menjamin akses universal terhadap layanan publik dasar, hal ini harus dikecualikan dari liberalisasi, karena hal ini dapat dengan mudah menyebabkan perilaku diskriminasi oleh penyedia layanan (asing), dengan memastikan layanan pribadi yang berkualitas untuk layanan publik bagi yang kaya dan memberikan layanan dibawah standar untuk masyarakat miskin. Layanan seperti kesehatan, pendidikan, air, listrik harus dikecualikan dari komitmen liberalisasi dan privatisasi berdasarkan bab layanan CEPA. Selain itu , layanan dasar masyarakat harus dibebaskan dari disiplin pada peraturan domestik; pihak-pihak yang berkepentingan dengan CEPA harus bebas mengatur, melindungi dan mengembangkan layanan publik sesuai dengan kebutuhan kesejahteraan masyarakat dalam negeri, yang tidak boleh dilemahkan oleh persyaratan bahwa peraturan harus ‘paling tidak memberatkan ‘untuk bisnis.
- Mengizinkan pensyaratan kinerja, persyaratan konten lokal dan perlakuan istimewa bagi produsen kecil dalam negeri
Baik dalam kaitannya dengan penyediaan layanan dan pengadaan barang publik, Indonesia harus tetap bebas untuk menetapkan persyaratan kinerja (yaitu pembatasan) bagi investor asing, termasuk pembatasan kepemilikan asing (mayoritas), pembatasan pekerja asing di posisi kunci, dan persyaratan konten lokal (yaitu penggunaan sumber daya dan pekerja lokal). Peraturan tersebut merupakan instrumen penting untuk memastikan bahwa investasi yang masuk secara efektif berkontribusi pada lintasan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing, nilai tambah industri lokal dan meningkatkan lapangan kerja lokal.
Dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, Para Pihak harus tetap bebas dalam tender publik untuk ‘memperoleh sumber lokal’, dengan memberikan preferensi kepada usaha kecil dan menengah dalam negeri (UKM) dan produk lokal, sebagai bagian dari kebijakan pembangunan nasional, regional atau lokal.
Produksi dalam negeri yang diserbu oleh impor dari UE sudah semakin merampas petani kecil dan nelayan di Indonesia dari mata pencaharian mereka. CEPA harus mengizinkan Indonesia untuk tetap memiliki ruang kebijakan penuh untuk memprioritaskan produksi lokal untuk mengurangi kemiskinan pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan setempat, dan jika perlu, memaksakan kuota impor untuk produk pertanian sensitif.
- HKI: memastikan akses terhadap obat generik dan benih
Bab Hak Kekayaan Intelektual tidak boleh mencakup peningkatan perlindungan paten yang menghambat akses terhadap obat-obatan yang terjangkau (generik), karena ini akan merupakan pelanggaran langsung terhadap hak asasi manusia terhadap kesehatan. Dengan demikian, dampak HKI harus dievaluasi oleh HRIA.
Hal yang sama berlaku untuk pematenan benih: Lisensi benih yang diperluas untuk perusahaan multinasional akan menghalangi petani kecil lokal yang memproduksi, menggunakan kembali dan atau berbagi / menukar benih mereka sendiri dan menciptakan ketegangan dengan mata pencaharian, keanekaragaman hayati dan hak atas makanan. Petani bahkan mungkin berisiko dikriminalisasi dan diadili karena penggunaan benih ‘tanpa izin’ jika bab HKI CEPA berisi penegakan yang lebih kuat.
- Tidak ada pembatasan terhadap pemberlakuan tarif ekspor Indonesia untuk bahan mentah yang tidak diproses
Teks CEPA harus menahan diri untuk tidak menargetkan tindakan ekspor Indonesia yang bertujuan untuk mempromosikan pemrosesan bahan baku dalam negeri. Langkah tersebut bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah domestik yang akan mendukung pengembangan industri hilir lokal dan membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
- Bab Pembangunan Berkelanjutan yang bersifat mengikat
Bab Pembangunan Berkelanjutan yang termasuk dalam CEPA harus memiliki tujuan yang nyata dan mengikat, bukan bahasa aspirasi seperti saat ini yang termasuk dalam perjanjian perdagangan UE. Tujuan yang jelas untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia, tenaga kerja, lingkungan dan iklim yang terkait dengan perdagangan dalam CEPA harus dihormati dan dijunjung tinggi, harus dirumuskan, dipantau dan ditegakkan. Tujuan pembangunan berkelanjutan dan merata yang ditetapkan dalam bab pembangunan berkelanjutan harus mengatur kesepakatan secara keseluruhan.
- Kebutuhan konkrit untuk memajukan hak pekerja
CEPA harus mencakup komitmen yang jelas untuk menghormati undang-undang ketenagakerjaan internasional yang ada dan undang-undang ketenagakerjaan nasional baik di UE dan di Indonesia. Setiap penurunan standar atau regresi standar ILO dalam undang-undang domestik akibat kesepakatan CEPA tidak dapat diterima.
- Akses untuk memperbaiki pelanggaran hak asasi manusia dan buruh, dan perlindungan lingkungan harus dipastikan
CEPA harus mengandung mekanisme yang efektif untuk menegakkan standar hak asasi manusia, lingkungan dan perburuhan. Semua pemangku kepentingan harus memiliki akses langsung ke mekanisme pengaduan dengan pemulihan yang efektif, dan Para Pihak dalam perjanjian harus berkewajiban untuk bertindak atas pengaduan yang dibuat, melalui penyelesaian sengketa antar negara. Setiap bab, klausul atau aspek dari kesepakatan yang mengkompromikan hak asasi manusia dan kewajiban kerja atau perlindungan lingkungan merupakan subjek aduan. CEPA harus memastikan bahwa, untuk tujuan ini, mekanisme pemantauan yang efektif diterapkan, termasuk dengan menyediakan kapasitas dan sumber keuangan yang diperlukan.
- Menghilangkan Perlindungan investasi yang tidak jelas dan penyelesaian sengketa investor-negara
CEPA harus benar-benar membatasi hak-hak substansial dan prosedural dari investor asing yang umumnya diberikan dalam bab-kesepakatan investasi dalam perjanjian perdagangan. CEPA tidak boleh memasukkan mekanisme penyelesaian sengketa investor-negara terlepas dari apakah itu ISDS “klasik”, Sistem Pengadilan Investasi (Investment Court System/ICS) atau menetapkan pembentukan Pengadilan Investasi Multilateral (Multilateral Investment Court/MIC) yang memungkinkan investor asing untuk melewati sistem hukum nasional dan mengajukan aduan langsung terhadap suatu negara sebelum pengadilan internasional. Akses istimewa bagi investor semacam itu, yang menjadikannya sebagai alat politik yang kuat dan terbukti merugikan kepentingan publik dalam perjanjian perdagangan dan investasi masa lalu, tidak dapat dibenarkan.
Jakarta, 09 Februari 2018
Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia:
- Indonesia for Global Justice.
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
- Indonesia AIDS Coalition (IAC).
- Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA).
- Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI).
- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
- SEAFish for Justice.
- Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN).
- Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI).
- Persatuan Petambak Garam Indonesia (PPGI).
- Satu Dunia.
- Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI).
- PATTIRO Semarang.
- Bojonegoro Institute.
- Development Institute.
- Migrant CARE.
- International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).
- Solidaritas Perempuan (SP).
- Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS).
- FSP.TSK-KSPSI.
- Farmers Initiative for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD Indonesia)
- Federasi Serikat Pekerja Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPTKILN-SPSI).
- Federasi Konstruksi dan Informal (F-KUI).
- Labor Institute Indonesia.
- FSB.KAMIPARHO-KSBSI.
- Bina Desa.
- Serikat Petani Indonesia (SPI).
- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).
- FSB KIKES KSBSI.
- Komite Perjuangan Rakyat (KPR).
- Federasi kehutanan, Industri Umum, Perkayuan, Pertanian dan Perkebunan (F-HUKATAN-KSBSI).
- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
- Sawit Watch.
Download >>>