Jakarta, Gatra.com – Sepuluh organisasi yang bergerak dalam bidang hak rakyat dan lingkungan hidup dan tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil, memprotes keras sikap pemerintah Indonesia dalam perundingan dagang bersama negara-negara Eropa, atau Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA).
Mereka mengritik perundingan yang dilaksanakan pada tanggal 29-31 Oktober lalu di Bali mengenai isu kesehatan dan sawit tersebut, tanpa adanya informasi yang bisa diakses oleh publik, dan diykini tanpa restu DPR.
Lutfiyah Hanim dari Third World Network menegaskan kekhawatiran dari para aktivis, melalui forum tersebut, ditengarai ada kepakatan menyimpang yang dicapai antara negara-negara Eropa, yang terdiri dari Swiss, Norwegia, Eslandia, dan Lichtenstein dengan Indonesia.
Kekhawatiran tersebut menjadi penting, terutama pada kasus monopoli perusahaan obat-obatan atau farmasi.
Dalam hal ini, pasar obat-obatan yang terbagi menjadi dua yaitu pasar obat generik dan pasar obat paten, nantinya pasar obat paten yang akan dimonopoli.
Dan melalui pertemuan ini, ada kabar Swiss ingin tetap menjadi negara utama yang memasok bahan baku obat-obatan di Indonesia.
“Jadi monopoli memang sudah dilindungi dalam undang-undang Paten. Maka yang diminta oleh Swiss kali ini adalah memperpanjang monopolinya,” ungkap Lutfiah dalam konferensi pers di di Kaffeine Kline, Jakarta Selatan pada Rabu (7/11).
Dia juga menambahkan bahwa berdasarkan undang-undang tersebut, jangka waktu perlindungan untuk paten adalah 20 tahun, dan kini Swiss meminta lebih untuk memperkuat serta memperbesar monopolinya.
Akibatnya konsumen di Indonesia hanya akan bisa mendapat obat-obat paten tanpa banyak memiliki pilihan untuk mendapat obat generik.
Bisa disimpulkan, perundingan yang selama ini berjalan tertutup dan eksklusif serta tidak melibatkan kelompok masyarakat sipil ini, akan berdampak kepada kelompok pasien dan masyarakat Indonesia yang menanggung biaya monopoli perusahaan farmasi yaitu akses obat-obat terjangkau.
Di sisi lain, atas hasil perundingan ini, Indonesia meminta negara-negara Eropa itu untuk membuka kran impor minyak sawit.
Pemerintah Indonesia meminta kepada Swiss untuk diadakannya pengamanan (secure) terhadap ekspor Sawit ke Eropa walaupun pada kenyataannya aturan di negara-negara Eropa itu memiliki parlemen tersendiri yang sangat kuat.
“Jadi pemerintah menginginkan pasar sawit tidak terganggu dan menukarnya dengan kita, menyetujui proposal mereka untuk memperkuat dan memperpanjang monopoli produk obat-obatan,” kata Lutfiah.
Yang sangat disesalkan dari hasil perundingan ini, pihak Swiss meminta untuk Indonesia mengubah aturan dengan memperpanjang dan memperkuat terkait obat-obatan tersebut.
“Dan jika aturan tersebut diubah yang untung itu semua negara di dunia seperti perusahaan obat Swiss untung, perusahaan obat Amerika juga untung karena kita kan tidak bisa membuat aturan tidak hanya berlaku untuk perusahaan Swiss,” jelas Lutfiyah.
Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti menilai, dalam kesepakatan ini, ada proses demokrasi yang telah dilanggar Pemerintah.
“Kami melihat adanya indikasi proses trade off untuk memenangkan sawit. Dimana pemerintah Indonesia harus menukarnya dengan kepentingan masyarakat, yaitu isu kesehatan atau obat,” kata Rahmi yang juga Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi ini.
Menurutnya, saat ini, Koalisi Masyrakat Sipil telah mengirimkan surat terbuka ke Komisi I dan VI DPR RI. Dalam proses stratifikasi, DPR menjadi penentu keputusan perjanjian dari perundingan ini pada 23 November mendatang.
Namun sayangnya, DPR dikatakan dari awal juga tidak dilibatkan dalam perundingan ini.
“Mereka disodori teks yang mungkin puluhan hingga ratusan halaman tanpa tahu detail dan jebakan-jebakannya.” kata Rachmi.
Selain itu, DPR hanya diberi waktu yang sangat terbatas untuk mengatakan iya atau tidak. “Pertanyaan kami, sempat tidak DPR mempelajarinya dengan sungguh-sungguh?” kritik Rachmi.
Sementara itu, dikonfirmasi soal tuduhan ini, pika Kementerian Luar Negeri belum bisa berkomentar banyak.
“Saat ini sedang disusun informasi untuk publik terkait IE CEPA ini,” kata Hendra Halim, Direktur Eropa II Kementerian Luar Negeri kepada Bernadetta Ferbiana dari Gatra.com.
Reporter: YSS/CH
Editor: Mukhlison