Posisi Masyarakat Sipil Indonesia Terhadap Isu Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Pada Putaran Perundingan Ke-6 CEPA Indonesia-Uni Eropa,
Palembang, 16 Oktober 2018.
Perundingan Comprehensive Economic Partnership Agreement Indonesia-Uni Eropa – sejak diluncurkan pada 2016 hingga memasuki putaran negosiasi ke-6 pada bulan Oktober 2018 – kami melihat hanya terfokus pada liberalisasi dan deregulasi perdagangan dan arus investasi sebagai tujuan utama. Sementara banyak bukti menunjukkan kegagalan kebijakan neoliberal dari globalisasi yang dipimpin perusahaan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, degradasi lingkungan dan melebarnya ketidaksetaraan di seluruh dunia. Perjanjian perdagangan dan investasi terus mengabaikan biaya sosial dan lingkungan yang sangat besar. Agenda perundingan CEPA IEU, sebagian besar hanya mencerminkan kepentingan korporasi transnasional tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat Indonesia secara luas.
Masyarakat sipil dari Indonesia dan Eropa berbagi keprihatinan tentang potensi biaya sosial dan dampak hak asasi manusia serta lingkungan dari perjanjian CEPA Indonesia-Uni Eropa, termasuk di dalamnya isu Perlindungan HKI atau Intellectual Property Rights (IPR).
Bab IPR dalam Proposal IEU CEPA menunjukkan besarnya kepentingan korporasi. Salah satu artikel (artikel X.46) dalam bab IPR misalnya mewajibkan negara pihak untuk menjadi anggota UPOV 1991, UPOV 1991 adalah perjanjian internasional untuk tanaman yang mendorong komersialisasi dan privatisasi varietas tanaman. Hal ini dapat menyebabkan monopoli benih dan menghilangkan hak petani atas benih. Pemulia tanaman yang mengklaim hak kekayaan intelektual (HKI) atas varietas tanaman merupakan ancaman bagi penghidupan petani dan hak asasi manusia atas pangan.
Segelintir perusahaan benih seperti Monsanto, DuPont, Syngenta, Dow, BASF dan Bayer telah mendominasi pasar benih, bahkan telah menguasai lebih dari 75 persen pasar benih dunia dan proses konsentrasi pasar lebih lanjut sedang berlangsung dengan berbagai merger yang dilakukan perusahaan-perusaan ini. HKI dalam pertanian membuat petani lebih rentan terhadap fluktuasi pasar. Sejumlah studi yang dilakukan untuk melihat dampak keanggotan UPOV menunjukkan bahwa menjadi anggota UPOV berpotensi meningkatkan harga benih antar 200 hingg 600 persen.[1]
Perpanjangan HKI juga akan meningkatkan kriminalisasi terhadap petani dan berdampak terhadap perlindungan hak asasi manusia dan keberlanjutan ekologis. CEPA Indonesia-Uni Eropa juga akan berkontribusi pada konsentrasi lebih lanjut dari pasar benih yang semakin meminggirkan peran perempuan di pedesaan yang selama ini berkontribusi dalam melindungi dan melestarikan benih-benih lokal. Benih harus diposisikan atau diidentifikasikan sebagai barang publik. Petani hendaknya memiliki kebebasan dan perlindungan untuk membudidayakan, mendistribusikan dan menyimpan benih yang penting untuk menjamin produksi pangan yang berkelanjutan. Bab IPR juga memberikan perlindungan ekslusivitas data bagi input pertanian seperti pupuk dan pestisida. Monopoli pada agro-kimia (pupuk, pestisida) erat dengan pertanian monokultur, degradasi lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Aturan yang ada akan mencegah pasokan input kimia generik, padahal harga bahan pertanian generik bisa lebih murah dua-tiga kali lipat dibandingkan produk yang sama yang memiliki eksklusifitas data. Saat ini tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan input kimia seperti pupuk dan pestisida masih dibutuhkan oleh petani di Indonesia.[2]
Proposal TRIPS plus lain yang ditawarkan oleh EU adalah perpanjangan paten untuk produk perlindungan tanaman. Ini merujuk pada produk kimia seperti pestisida, dan pupuk. Perpanjangan ini diminta karena proses otorisasi untuk mendapatkan ijin pemasaran. Juga perpanjangan paten karena proses dalam pemberian paten. Ini tidak bisa diterima, karena produk-produk perlindungan tanaman adalah zat-zat yang biasanya berbahaya dan beracun. Sehingga upaya mempercepat proses pemeriksaan keamanan dalam proses ijin pemasaran, bisa membahayakan konsumen, produsen dan sekaligus lingkungan hidup. Sementara perpanjangan paten karena proses pemeriksaaan paten akan memperlambat bahan kimia versi generic memasuki pasar, sehingga akan meningkatkan harga.
Lebih jauh, ekslusifitas data dan perpanjangan paten karena proses otorisasi pemasaran dan proses paten akan memparpanjang monopoli, menghambat akses dan meningkatkan harga bahan kimia versi generic. Ini akan meningkatkan ‘sistem oplosan’ dalam penggunaan pestisida di lahan-lahan pertanian karena harga yang tinggi. Dan ini akan meningkatkan resiko kerusakan lingkungan, resistensi hama penyakit tanaman, keracunan bahan kimia.
Isu lain yang menjadi keprihatinan besar Masyarakat Sipil adalah dampak kesepakatan CEPA Indonesia-Uni Eropa tentang ketersediaan obat-obatan yang terjangkau. Dalam negosiasi CEPA, Uni Eropa menuntut perpanjangan perlindungan paten untuk perusahaan-perusahaan farmasi besar. Ini akan mengganggu kebijakan Indonesia untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan memastikan ketersediaan obat generik yang lebih murah. CEPA Indonesia-Uni Eropa seharusnya mengatur sektor farmasi sehingga kepentingan komersial ‘farmasi besar’ ditempatkan pada posisi kedua dibandingkan hak asasi manusia untuk kesehatan.
Dalam Proposal TRIPs plus yang dibuat oleh UE dalam negosiasi CEPA dengan Indonesia mencakup:
- Ekstensi perlindungan paten untuk obat-obatan, karena proses di dalam persetujuan pemasaran, dengan masa esktensi paten kedua jika terdapat penelitian pediatric.
- Eksklusivitas data dan pasar dalam obat-obatan, dengan periode eksklusivitas untuk penggunaan baru dari obat lama yang dinilai secara signifikan memiliki nilai klinis jika dibandingkan dengan terapi yang sudah ada.
Monopoli tambahan terhadap obat-obatan yang diusulkan oleh UE akan menjadikan obat-obatan ini tetap tak terjangkau di Indonesia. Hal ini dikarenakan obat-obatan yang dipatenkan memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan versi generiknya. Sebagai contoh, versi paten dari obat-obatan untuk mengobati penyakit AIDS berharga US$ 15,000/pasien/tahun, tetapi versi generiknya hanya berharga US$ 67/pasien/tahun.
PNB perkapita Indonesia adalah US$ 3,540 dibandingkan dengan EU US$ 32,778 (9 kali lipat lebih besar dari pada Indonesia). Bahkan pada tingkat keseimbangan daya beli, 62% populasi Indonesia hidup dengan biaya kurang dari US$ 5.50/hari, maka mereka memiliki masalah dalam memenuhi obat-obatan ditambah dengan level TRIPS dari perlindungan kekayaan intelektual (paten selama 20 tahun dan tidak ada ekslusivitas data/pasar untuk obat-obatan). Semisal dengan biaya pengobatan US$ 15,000/pasien/tahun dengan menggunakan obat-obatan paten untuk HIV/AIDS, dibutuhkan setidaknya pendapatan dari 62% rakyat Indonesia selama 7 tahun untuk bisa membayar biaya obat selama 1 tahun, apabila seluruh uang mereka digunakan untuk obat-obatan ini. Jika Indonesia dipaksa untuk menyetujui proposal RTRIPS+ UE di atas, maka akan banyak masyarakat Indonesia yang hidup dengan HIV meninggal oleh penyakit yang sebenarnya dapat diobati, dikarenakan harga obat-obatan yang terlampau mahal.
Mencermati perundingan IEU CEPA kami masyarakat sipil Indonesia mendesak agar pemerintah Indonesia tidak menerima aturan TRIPS plus dalam perjanjian dengan Uni Eropa. Karena akan melanggar hak atas kesehatan untuk mendapatkan akses obat yang murah dan terjangkau. Selain itu juga perjanjian ini akan melanggar hak atas pangan dan hak petani untuk menyimpan, mempertukarkan, mengembangkan dan memperjualbelikan benih. Sistem produksi pangan dalam negeri akan diserbu oleh impor dari Uni Eropa, yang merampas produsen pangan kecil termasuk perempuan di pedesaan dari mata pencaharian mereka. Indonesia hendaknya mempertimbangkan kembali, berbagai perundingan perjanjian perdagangan bebas seperti CEPA dengan Uni Eropa yang berpotensi mempersempit ruang kebijakan dalam proses pembangunan terutama mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan produsen pangan serta memastikan terpenuhinya perlindungan kesehatan secara terjangkau bagi seluruh masyarakat Indonesia.
[1] Public Eye. Owning seeds, Accessing Food . A human rights impact assessment of UPOV 1991. Based on case studied in Kenya, Peru and the Philippines. October 2014. https://www.publiceye.ch/fileadmin/files/documents/Saatgut/2014_07_10_Owning_Seed_-_Accessing_Food_report_def.pdf#page=1&zoom=auto,-158,449
[2] Sanya Reid Smith. Intellectual Property in Free Trad Agreements. 2008. TWN (ISBN: 978-983-2729-57-0)
Download >>> Posisi CSO Indonesia Isu IPR IEU CEPA