TRIPS-PLUS CEPA INDONESIA-EFTA MENGANCAM AKSES OBAT-OBATAN MURAH DAN HAK ATAS KESEHATAN JUTAAN RAKYAT INDONESIA
Perundingan perjanjian CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) antara Pemerintah Indonesia dengan negara-negara EFTA (European Free Trade Association) yang terdiri dari Swiss, Norwegia, Eslandia dan Liechtenstein) di Bali, 29 Oktober – 31 Oktober 2018, yang kemungkinan menjadi pertemuan terakhir dari beberapa pertemuan sebelumnya.
Sindi Putri dari Indonesia AIDS Coalition mengatakan kekhawatirannya “Kami sangat prihatin jika dalam perjanjian ini memasukkan pasal-pasal yang akan memperpanjang dan memperluas monopoli perusahaan farmasi lebih dari ketentuan yang diterapkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).”
“Proposal untuk memperkuat dan memperluas monopoli sering disebut sebagai TRIPS-plus, ini mengacu pada salah satu perjanjian dalam WTO yaitu perjanjian Hak Kekayaan Intelektual terkait perdagangan. Proposal TRIPS plus dalam WTO meliputi: data dan / atau eksklusivitas pasar pada produk farmasi, bahkan ketika mereka tidak dipatenkan dan patent linkage yaitu praktik menghubungkan persetujuan pemasaran untuk produk generik dengan status paten produk pencetusnya,” jelas Sindi.
Lebih jauh Sindi mengatakan bahwa persaingan yang tinggi pada obat-obatan generik adalah kunci untuk meningkatkan akses ke obat-obatan yang terjangkau di Indonesia. Misalnya, karena persaingan, harga HIV / AIDS turun dari US $ 15.000 per orang per tahun menjadi $ 167 per orang per tahun. Jika ada ketentuan TRIPS plus yang dimasukkan dalam CEPA, persaingan generik akan terhambat sehingga akses ke obat-obatan yang terjangkau di Indonesia akan terancam. Ditambah lagi kondisi seperti Indonesia dimana kepatuhan dalam terapi pengobatan HIV tidak terlalu baik. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka ODHA yang tidak melanjutkan pengobatan (lost to follow up), sehingga kita memerlukan obat-obatan ARV jenis regimen terbaru dan umumnya obat-obatan ini masih dilindungi paten. Obat-obatan ARV regimen yang lebih baru ini biasanya lebih ampuh dalam menekan virus HIV serta tidak mudah timbul resistensi pada ODHA.
Sindi juga mencontohkan, di banyak negara, penerapan ketentuan TRIPS-plus telah meningkatkan biaya obat-obatan secara signifikan. Sebagai contoh, di Yordania, eksklusivitas data menunda pengenalan pada alternatif obat generik antara tahun 2002 dan 2006 yang seharusnya 79% lebih murah dan akhirnya harga obat yang lebih tinggi mengancam keberlanjutan keuangan program kesehatan masyarakat pemerintah.[1] Harga obat di Yordania juga 800% lebih tinggi daripada di Mesir karena adanya eksklusivitas data. Di Kolombia, sebagai hasil dari eksklusivitas data, biaya untuk sistem kesehatan masyarakat meningkat sebesar US $ 396 juta antara 2003 dan 2011.[2] “Karena itu, jika proposal TRIPS Plus diterapkan, ini bisa menjadi penghambat program JKN/Jaminan Kesehatan Nasional, “kata Sindi.
Sementara itu, Rachmi Hertanti, menyebutkan bahwa pengkaitan paten dan registrasi obat untuk pemasaran atau patent linkage adalah konsep yang kontroversial karena otoritas pengatur obat tidak memiliki mandat, kapasitas atau keahlian untuk beroperasi sebagai ‘polisi paten’. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip dasar kekayaan intelektual yang diakui dalam Pembukaan Perjanjian WTO-TRIPS, bahwa ‘hak kekayaan intelektual adalah hak pribadi’. Oleh karena itu adalah tanggung jawab pemegang hak untuk menegakkan hak pribadinya sendiri. Karena alasan inilah otoritas pengaturan obat dari banyak negara seperti di Filipina dan di Uni Eropa tidak mengakui patent linkage atau kaitan paten.
Rachmi mengutip Pelapor Khusus PBB untuk Hak Kesehatan telah merekomendasikan bahwa ‘Negara-negara maju tidak boleh mendorong negara berkembang dan LDC untuk masuk ke dalam TRIPS-plus FTA’ dan ‘Negara berkembang dan LDC tidak boleh memperkenalkan standar TRIPS-plus dalam hukum nasional mereka.’[3]
Rachmi mengingatkan Negara-negara EFTA dan Indonesia telah meratifikasi perjanjian hak asasi manusia yang mencakup hak atas kesehatan yang akan dilanggar dengan dimasukkannya proposal TRIPS-plus di CEPA.
Rachmi juga menyesalkan perundingan yang selama ini berjalan selalu tertutup, dan ekslusif. Serta tidak melibatkan kelompok masyarakat sipil mungkin terdampak dalam hal ini adalah kelompok pasien, dan masyarakat Indonesia, yang akan menanggung biaya monopoli perusahaan farmasi, yaitu akses obat-obat yang terjangkau.
Kami menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk TIDAK menyetujui proposal TRIPS-plus seperti data dan / atau eksklusivitas pasar, kaitan paten atau ketentuan TRIPS-plus lainnya dalam negosiasi EFTA.
Catatan untuk Redaksi:
- Pada tanggal 12 September 2018 lalu, masyarakat sipil baik dari Indonesia dan Internasional sempat mengirimkan surat kepada Presiden Republik Indonesia mengenai kekhawatiran atas pengaturan TRIPS-Plus dalam perundingan Perjanjian Kerjasama Ekonomi (CEPA) Indonesia – EFTA.
- Perundingan CEPA Indonesia EFTA juga merundingkan banyak isu lainnya: liberalisasi investasi, perdagangan barang, liberalisasi sektor jasa, dan lainnya.
Kontak :
Sindi Putri, Indonesia AIDS Coalition, HP : 087878407551 Email : sindi@iac.or.id
Rachmi Hertanti, Indonesia For Global Justice, HP +62 817-4985-180 Email : rachmi.hertanti@gmail.com
[1] Malpani, R. All costs, no benefits: how the US-Jordan free trade agreement affects access to medicines, Journal of Generic Medicines (2009) 6(3):206-217, Available from: http://jgm.sagepub.com/content/6/3/206.short.
[2] Cortés Gamba M, Rossi Buenaventura F, Vásquez Serrano M. Impacto de 10 Años de Proteccion de Datos en Medicamentos en Colombia, IFARMA and Fundación Misión Salud; Bogotá D.C., Colombia (2012), Available from: http://www.mision-salud.org/wp-content/uploads/2013/02/IMPACTO-DE-10-A%C3%91OS-DE-PROTECCION-DE-DATOS-EN-COLOMBIA.pdf
[3] http://www2.ohchr.org/english/bodies/hrcouncil/docs/11session/A.HRC.11.12_en.pdf
Download >>>Draft Rilis_CEPA_EFTA_FIN