Jakarta, Villagerspost.com – Organisasi masyarakat sipil telah menyampaikan keprihatinan atas rencana Indonesia dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA-European Free Trade Association), yang terdiri atas Swiss, Norwegia, Eslandia, Liechtenstein untuk menandatangani perjanjian dagang pada Minggu (16/12). Perundingan perdagangan tersebut telah dirundingkan secara tertutup dan rahasia sejak 2010.
Pihak koalisi masyarakat sipil mengungkapkan, beberapa substansi yang dirundingkan dalam perjanjian Indonesia-EFTA itu akan membahayakan kedaulatan petani dan secara umum kedaulatan pangan Indonesia. Salah satunya, terkait kewajiban mengubah pengaturan perlindungan varietas tanaman di Indonesia agar “disesuaikan” dengan aturan UPOV 1991, yaitu rejim internasional perlindungan hak PVT yang dibuat oleh negara-negara maju, yang disusun untuk memenuhi kepentingan pertanian skala komersial.
International Union for the Protection of New Varieties of Plant 1991 atau UPOV 91 mengharuskan pemerintah untuk melindungi pemilik paten (atau jenis sertifikat lain) selama 20 hingga 25 tahun termasuk yang ada dalam ranah benih, ekosistem, dan keanekaragaman hayati. Jika demikian, maka pengetahuan dan pengalaman petani kecil akan diberangus. Perempuan petani yang pada umumnya bertanggung jawab atas benih akan kembali diekslusi seperti pada masa Revolusi Hijau. Ini sama saja dengan menghancurkan sumber penghidupan dan ruang hidupnya.
Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia M. Nurrudin menyebutkan, lebih dari 93 persen persen dari total petani di Indonesia adalah pertanian keluarga kecil (yaitu petani kecil), dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0,6 hektare. “Dari petani-petani kecil tersebut, tenaga kerja Indonesia menggantungkan hidupnya dari mata pencaharian sektor pertanian,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Villagerspost.com, Sabtu (15/12).
Nurrudin melanjutkan, pertanian Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara-negara EFTA, yang memiliki pendapatan nasionalnya lebih dari 20 kali pendapatan nasional kita. Karena itu, sistem perlindungan varietas tanaman ke UPOV 1991 tidak akan sesuai bagi model pertanian Indonesia.
“Di Swiss, benih dipasok melalui sistem benih komersial, sedangkan di Indonesia, sistem benih sebagian besar masih dikelola oleh petani, terutama petani kecil yang menjadi pemasok benih utama,” papar Nurrudin.
Sementara Said Abdullah, dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mengatakan, perlindungan PVT oleh UPOV memfokuskan pengembangan varietas standar yang terbatas dan hanya menghargai homogenitas. Pendekatan ini telah menyebabkan terjadinya erosi genetik, serta membuat tanaman rentan terhadap serangan hama dan tekanan perubahan iklim. Sementara, varietas petani sangat beragam yang mendukung keragaman hayati sumberdaya genetik di pertanian.
“Dengan perubahan iklim saat ini yang menyebabkan pola hujan dan kemarau yang lebih sulit diprediksi maka keragaman benih dan kreatifitas petani sangat diperlukan, sehingga sistem UPOV yang mangakomodasi keragaman benih industri tidak akan cocok dengan sistem pertanian di Indonesia yang sangat beragam,” kata Said Abdullah.
Selanjutnya Said Abdullah juga menyebutkan, fitur utama dari sistem perlindungan varietas tanaman oleh UPOV adalah larangan menyimpan, bertukar dan menjual benih yang dilindungi. Larangan tersebut ini akan merugikan pengetahuan petani dalam pemilihan dan pelestarian benih. “Lebih jauh, ini juga akan membuat memiliki ketergantungan petani pada perusahaan-perusahaan benih karena setiap musim tanam harus membeli ulang benih,” tegasnya.
Dwi Astuti dari Bina Desa mengingatkan, Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi internasional, seperti Konvensi Keragaman Hayati pada tahun 1994, juga pada tahun 2006 mengenai Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian. Dimana dalam komitmennya, pemerintah mengakui hak-hak petani, dan tanggung jawab pemerintah untuk mengambil langkah-langkah untuk “melindungi dan mempromosikan” Hak-hak Petani.
Dwi Astuti juga menyebutkan, bahkan baru-baru ini di bulan November 2018, dalam Majelis Umum PBB, dimana Indonesia menjadi salah satu pendukung dari diadopsinya “Declaration on the right of peasants and other people working in rural areas” atau “Deklarasi tentang hak petani dan orang-orang yang bekerja di daerah pedesaan”.
Karena itu, menurut Dwi Astuti, penerapan sistem UPOV 1991 akan bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia dengan konvensi sebelumnya. “Karena UPOV 1991 terbukti membatasi hak petani dan tidak memberikan ruang kebijakan bagi pemerintah negara seperti Indonesia untuk membuat ketentuan yang memastikan penerapan dan pemenuhan hak petani,” ujarnya.
Sementara Rachmi Hertanti dari Indonesia for Global Justice mengatakan berdasakan informasi yang diterima oleh IGJ, Norwegia salah satu anggota EFTA bahkan telah menolak untuk bergabung dan/atau mengimplementasikan UPOV 1991. Sementara Norwegia 21 kali lipat lebih kaya dari Indonesia.
“Karenanya perlu dipertanyakan, mengapa Indonesia harus setuju untuk bergabung atau mengikuti standar UPOV 1991,” kata Rachmi. Dengan tegas Rachmi menekankan bahwa perjanjian CEPA tidak harus mewajibkan Indonesia untuk bergabung atau mengimplementasikan UPOV 1991.
Editor: M. Agung Riyadi
Sumber : http://villagerspost.com/todays-feature/perjanjian-indonesia-efta-ancam-kedaulatan-petani/