E-commerce Asia, khususnya ASEAN tengah berkembang pesat. Beberapa lembaga bahkan melaporkan pertumbuhan e-commerce ASEAN sebagai salah satu yang tertinggi di dunia tahun 2018. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan infrastruktur dan pemanfaatan fasilitas ICT (Information Communication Technology) yang ada pada setiap negara. Angka pertumbuhan retail online (2,8%) masih jauh dibandingkan keseluruhan retail (offline), dengan lebih dari 250 juta pengguna internet, ASEAN yang memiliki sekitar 850 juta penduduk memiliki potensi perkembangan ekonomi yang sangat besar. Kendala lemahnya infrastruktur dan fasilitas pendukung ekonomi dan perdagangan pada masing-masing negara, melalui teknologi digital, membuat kekuatan ekonomi dan perdagangan yang selama ini terpendam menjadi semakin terbuka. Teknologi digital telah menjadi harapan bagi banyak kelompok masyarakat sebagai peluang membangun kekuatan ekonominya. Potensi ekonomi dan pasar yang besar ini memang menjanjikan, tetapi sekaligus menggiurkan bagi banyak ‘pemain dunia’.
Perkembangan e-commerce dan ekonomi digital lainnya di ASEAN, khususnya Indonesa, tidak bisa dilepaskan dari tingginya peran ‘pemain dunia’. Dukungan teknologi dan modal internasional membuat potensi pasar dan kemampuan produksi masyarakat dapat bersinergi mengembangkan potensi perekonomian secara nasional, seperti yang diperlihatkan dengan lahirnya unicorn-unicorn market place yang telah melibatkan jutaan mechant UMKM di Indonesia. Tetapi situasi ini pada sisi lain memberikan kerentanan bayang-bayang dominasi ‘pemain besar dunia’ yang juga berada dibalik dukungan modal dan teknologi tersebut. Dominasi pasar dan penguasaan teknologi, termasuk didalamnya melalui penguasaan regulasi dunia, membuat ‘harapan’ rakyat atas perkembangan ekonominya menjadi hilang.
Lemahnya perlindungan data di Indonesia menjadi contoh betapa tidak terlindunginya masyarakat Indonesia dari pemanfaatan data secara kasar dan tidak terkontrol. Data telah menjadi begitu berharga dan strategis yang berpengaruh pada hampir semua sendi kehidupan . Siapa menguasai data akan menguasai masyarakat, menguasai hampir semua hal. Sehingga penguasaan data harus bisa terkontrol. Fasilitas sistem digital terkoneksi merupakan akses utama pengumpulan dan pemanfaatan data, karena itu ekonomi digital atau e-commerce menjadi pintu gerbang penting dalam upaya pengumpulan data.
Penguasaan melalui modal dan teknologi yang terjadi pada ekonomi digital atau e-commerce, setidaknya memiliki 2 potensi ancaman. Pertama, perkembangan e-commerce tanpa kontrol akan menjadi peluang bagi pembukaan pasar Indonesia seluas-luasnya. Setelah memasuki masa saturasi bagi produk lokal, maka dominasi produk impor akan semakin memainkan perannya dengan dukungan kekuatan finansial dan teknologi yang berada dibelakangnya.
Kedua, proses pembukaan pasar juga berarti pengumpulan data, yang saat dilakukan tanpa proteksi dan terkontrol, akan membuka seluas-luasnya data tak terproteksi bagi pemain digital dunia. Secara strategis hal ini menjadi peluang besar bagaimana perusahaan-perusahaan besar dunia (TNC) akan bisa mulai mengelola dan memanfaatkan data sesuai keuntungannya serta mengatur dan menguasai kebijakan dengan penguasaan data yang mereka miliki. Ancaman kolonialisasi melalui penguasaan data secara digital menjadi semakin terlihat jelas.
Selain akibat ketergantungan terhadap modal, persoalan ketertinggalan teknologi (lag of technology) dalam e-commerce akhirnya membuat negara-negara berkembang terdesak mengikuti pengaturan penggunaaan teknologi yang diusulkan oleh negara-negara maju. Jelas akan menguntungkan perusahaan-perusahaan besar penguasa teknologi. Hal ini yang sedang terjadi pada proses-proses FTA seperti yang juga terjadi pada perundingan RCEP.
Misalnya pada persoalan kebebasan melakukan transfer data lintas batas dan lokalisasi data/server (cross-border data transmission and data localization). Alasan mempermudah komunikasi dan transaksi perdagangan, tuntutan pembebasan transfer data tanpa-batas yang dilakukan tanpa kejelasan mekanisme atau jaminan perlindungan data termasuk pengelolaannya, secara teknologi hal tersebut hanya berarti membuka seluas-luasnya proses pengumpulan dan penguasaan data secara besar-besaran. Hal yang sama juga terjadi pada larangan agar meletakkan server atau data secara lokal. Alasan standar teknologi dan investasi menjadi alasan bagi negara-negara maju menolak hal tersebut. Sementara hal tersebut tidak jauh berbeda, salah satunya yaitu sebagai upaya memudahkan transfer dan penguasaan atas data.
Kepastian perlindungan data dan lokalisasi data menjadi persoalan krusial yang seharusnya dipertahankan oleh negara-negara yang menghadapi lag of technology. Pemaksaan pelaksanaan bab e-commerce RCEP yang menentukan transfer data lintas-batas secara bebas tanpa adanya jaminan keamanan data, akan menciptakan regulasi pada masing-masing negara anggota yang hanya akan memperkokoh penguasaan dan pengelolaan data oleh perusahaan besar/TNC penguasa teknologi dan menciptakan kerugian pada masyarakat secara meluas.
Pada sisi lain, transaksi terhadap produk-produk digital seperti multimedia (video, musik, games, sosial media, buku/teks elektronik) juga termasuk didalamnya pelayanan jasa secara elektronik (jasa konsultasi, marketing dan lainnya), masih berjalan tanpa regulasi. Kerugian negara-negara yang berbanding terbalik dengan keuntungan perusahaan-perusahaan penyelenggara seperti tidak mendapatkan perhatian dalam bab e-commerce pada RCEP. Hal ini menjadi bagian yang tersembunyi didalam kesepakatan yang akan dilakukan melalui RCEP apabila dilanjutkan.
Bab e-commerce pada RCEP yang tidak hanya memberikan dampak terbatas pada persoalan perdagangan semata, tetapi meluas pada sektor lain. Selain itu bab e-commerce juga belum membahas mekanisme transaksi dan pembayaran produk digital yang merugikan hampir seluruh negara-negara anggota dan sebaliknya hanya memberikan keuntungan pada perusahaan-perusahaan tertentu. Mengingat persoalan-persoalan tersebut, maka pembahasan bab e-commerce pada RCEP sudah seharusnya dihentikan hingga persoalan-persoalan terebut mendapatkan solusinya.
RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) lainnya pada prinsipnya menyimpan agenda-agenda maupun dampak-dampak tersembunyi dibalik teks-teks kesepakatan yang sedang disusun. Alasan-alasan formal perdagangan pada isu e-commerce tidak hanya terbatas pada trading secara digital semata tetapi lebih luas berdampak pada hampir semua aspek perekonomian dan sektor lainnya. Penghentian kesepakatan komprehensif model CEPA menjadi alternatif solusi dalam mengurangi dampak keekonomian yang akan meluas
====================
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Contact:
Mr. Olisias Gultom, Senior Researcher
keadilan.global@gmail.com / igj@igj.or.id
DOWNLOAD >>>Kertas Posisi IGJ di RCEP Bali