DENPASAR, kanalbali.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi mendesak Pemerintah Indonesia tidak menyepakati perjanjian Regional Comprehensive Economic Pratnership (RCEP) . Tuntutan disampaikan saat RCEP putaran ke-25 sedang dilaksanakan di Nusa Dua, Bali.
Tuntutan itu karena RCEP cenderung bersifat rahasia dan membatasi akses publik mengenai materinya. Padahal publik ikut menanggung resiko dari perjanjian itu. “Seperti sekarang kami disini hanya diberi kesempatan 1,5 jam bertemu dengan perwakilan Indonesia, tapi kalau kalangan bisnis akan diberi kesempatan lebih lama,” kata aktivis koalisi, Kartini Samon.
Nyoman Mardika dari Manikaya Kauci menyebut, RCEP diduga akan memberi keleluasaan yang lebih besar bagi investor untuk merampas ruang kehidupan warga. “Padahal seperti di Bali, kami masih terus melawan upaya menjadikan teluk benoa sebagai kawasan investasi,” tegasnya.
Kecenderungan melakukan reklamasi juga menjadi trend untuk membuat apa yang disebut sebagai ‘Bali’ baru di sejumlah kawasan pesisir yang berpotensi menyingkirkan penduduk lokal yang hidup sebagai nelayan.
Masalah yang lain adalah soal kedaulatan benih dimana mekanisme perjanjian juga akan membuat suatu alasan untuk mengakui hak atas kekayaan intelektua dan merampas hak petani untuk mengembangkannya sendiri. Akibatnya, harga benih pun menjadi sangat mahal bagi petani.
Hal lain yang mengkhawatirkan adalah dalam hal penyediaan obat-obatan khususnya HIV. Ferry Norita dari menyebut, jumlah orang dengan HIV sudah mencapai sekitar 300 ribu orang dan saat ini obat-obatan yang tersedia masih sebatas obat lini 1.
“Bagaimana bila mereka nanti harus menggunakan obat-obatan lini 2 atau 3 yang harus diimport dan perdagangannya dikuasai oleh koorporasi,” katanya. (kanalbali/RFH)