Kertas Posisi Indonesia for Global Justice[1]
Monopoli Harga Obat Jadi Akar Masalah Defisit BPJS
Jakarta, 13 Maret 2019 – Defisit BPJS Kesehatan mengancam akses masyarakat terhadap obat-obatan. Khususnya obat-obatan pasien penyakit katastrofik seperti kanker. Tingginya harga obat-obatan adalah salah satu faktor yang mendorong tingginya defisit. Diperkirakan belanja obat BPJS Kesehatan mencapai Rp 36 triliun pada 2018 atau 40% dari belanja kesehatan secara keseluruhan (alat, fasilitas dan tenaga kesehatan).[2] Bahkan meskipun pemerintah telah mengucurkan dana Rp 10,5 triliun untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan, menurut BP Farmasi, BPJS Kesehatan masih memiliki utang yang belum dibayar untuk pembelian obat berjumlah Rp 3,6 triliun kepada produsen obat. Dari Rp 10 triliun, hanya 6 hingga 10 persen yang digunakan untuk pembayaran obat-obatan atau hanya mendapat pembayaran Rp 300 miliar dari BPJS Kesehatan.[3]
Untuk menekan defisit, BPJS Kesehatan mengurangi manfaat atau tanggungan bagi obat-obatan untuk pasien pesertanya. Padahal jika melihat sistem penjaminan BPJS Kesehatan yang menggunakan model Indonesia Case Base Group (INA-CBGs)[4], maka tarif pelayanan kesehatan yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan dalam satu paket (meliputi biaya konsultasi dokter, biaya obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP), biaya pemeriksaan penunjang, akomodasi atau kamar perawatan dan biaya lainnya yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan pasien). Dengan adanya pengurangan manfaat, akan menjadikan jumlah penjaminan layanan kesehatan yang dibayarkan dalam satu paket tersebut, termasuk obat-obatan yang digunakan, akan menjadi semakin terbatas.[5]
Dampak dari pengurangan manfaat pelayanan kesehatan akan sangat dirasakan oleh pasien penyakit katastrofik. Hal ini karena jumlah pembiayaan untuk pengobatan penyakit katastrofik terus naik dari tahun ke tahun. Proporsinya pembiayaan pengobatannya adalah penyakit jantung mengambil porsi pembiayaan (52 persen), kanker (16 persen), stroke (13 persen), gagal ginjal (12 persen), talasemia atau kelainan darah (2,3 persen), hemofilia atau gangguan pembekuan darah (1,7 persen), hepatitis (1,6 persen), dan leukimia (1,5 persen).[6] Misalnya BPJS Kesehatan telah menghilangkan beberapa jenis obat-obatan untuk penyakit kanker seperti Trastuzumab, Cetuximab dan Bevacizumab dari daftar tanggungannya.[7] Hal ini tidak dapat dihindari karena obat-obatan yang disebutkan di atas adalah obat-obatan paten yang harganya mahal. Sedangkan dampak negatif yang harus dirasakan komunitas pasien cuci darah atau hemodialisis dalam pengobatannya diantaranya, (1) pasien hemodialisis makin dipersulit untuk melakukan pengobatannya, khususnya pasien yang membutuhkan pelayanan cuci darah. Sebab alur birokrasi yang harus ditempuh oleh mereka semakin dibuat berliku-liku oleh BPJS Kesehatan. Dimana mereka diwajibkan untuk membuat rujukan dari dokter di fasilitas kesehatan pertama yang dalam hal ini puskesmas; (2) Terdapatnya diparitas layanan karena adanya perbedaan jumlah biaya tanggungan yang diberikan terhadap pasien hemodialisis dalam mendapatkan layanan cuci darah di klinik dan rumah sakit pusat pemerintah; dan (3) Layanan yang diberikan semakin minimal, terutama untuk pasien yang membutuhkan cuci darah.[8]
Monopoli Obat dan Defisit BPJS Kesehatan
Setidaknya untuk menekan defisit dan tidak menghilangkan tanggungan obat-obatan penyakit katastrofik, BPJS Kesehatan dapat mengurangi pengadaan obat-obatan paten yang harganya mahal dan mensubstitusikannya dengan versi generiknya yang lebih murah. Namun demikian hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. IGJ menilai, bahwa faktor yang menyebabkan hal tersebut sulit untuk dilakukan antara lain, karena: (1) Tidak adanya versi generik dari obat-obatan kanker tersebut; (2) Monopoli paten dan teknologi oleh perusahaan farmasi transnasional dalam produksi obat-obatan kanker; (3) Ada obat-obatan yang tidak diregistrasi di BPOM; dan (4) Belum Efektifnya keberadaan Formularium Nasional (FORNAS) dan e-Catalogue yang digunakan sebagai dasar dari pengadaan obat-obatan BPJS Kesehatan.
Bahwa saat ini beberapa jenis obat-obatan kanker generasi terbaru merupakan obat-obatan biologis. Namun demikian baik paten maupun teknologi obat-obatan ini dimonopoli oleh perusahaan farmasi transnasional. Akibatnya selain obat-obatan ini tidak dapat diproduksi versi generiknya (dikenal juga sebagai biosimilar atau biogenerik), proses produksinya sangat kompleks dan biayanya mahal. Menjadikan perusahaan farmasi transnasional dapat menjual obat-obatan ini dengan harga yang sangat tinggi.
Lalu, bukan hanya obat-obatan biologis, tetapi juga banyak obat-obatan yang patennya dimonopoli oleh perusahaan farmasi transnasional tidak beredar di Indonesia. Hal ini karena mereka tidak mendaftar atau meregistrasi obat-obatannya di BPOM. Sehingga menjadikan obat-obatan yang diproduksinya tidak dapat dipasarkan di Indonesia. Ada beberapa pertimbangan kenapa perusahaan farmasi enggan untuk melakukan itu. Pertama, perusahaan farmasi melihat dari potensi pasar yang dimiliki. Tidak hanya berdasarkan besarnya jumlah populasi, tetapi juga berdasarkan pendapatan dan daya beli perkapita untuk layanan kesehatannya. Kedua, diukur berapa besar anggaran kesehatan suatu negara termasuk yang digunakan untuk pembiayaan sistem jaminan kesehatannya. Ketiga, dilihat dari keberadaan industri farmasi di negara tersebut. Terutama dalam kapasitas mereka untuk memproduksi obat-obatan, khususnya versi generik dari obat-obatan yang mereka produksi.
Berdasarkan ketiga hal di atas perusahaan farmasi transnasional akan enggan untuk memasarkan obat paten produksinya di Indonesia. Meski adanya peningkatan pendapatan dan penambahan jumlah kelas menengah yang signifikan dalam 10 tahun terakhir, tidak serta merta meningkatkan permintaan untuk obat-obatannya. Sebab perdapatan perkapita Indonesia hanya US$ 3,540 atau sepersepuluh dari pendapatan perkapita negara-negara Uni Eropa yang mencapai US$ 32,778. Sebab hal itu akan berpengaruh terhadap daya beli perkapita untuk pembelian layanan kesehatan, termasuk obat di dalamnya. Selain itu dengan komposisi penduduknya yang didominasi usia muda, kebutuhan akan obat-obatan untuk pengobatan katastrofik dianggap masih rendah. Dari 2200 triliun rupiah APBN tahun 2018, anggaran kesehatan hanya 110 triliun rupiah. Sedangkan jika dihitung berdasarkan proporsinya terhadap GDP, anggaran kesehatan hanya 2,8% dari GDP. Sehingga setiap orang di Indonesia hanya memperoleh pembiayaan kesehatan sebesar 112 USD perkapita. Idealnya anggaran kesehatan minimal 10% dari GDP.[9] Jelas dengan angka sekecil itu perusahaan farmasi transnasional tidak tertarik untuk memasarkan obatnya di Indonesia. Hal itu pula yang menjelaskan mengapa perusahaan farmasi masih menjadikan Amerika Utara dan Uni Eropa sebagai pasar pentingnya. Terkahir meskipun tidak menerapkan aturan perlindungan kekayaan intelektual yang ketat, tetapi kapasitas industri farmasi Indonesia masih rendah. Khususnya dalam hal ini untuk memproduksi versi generik obat-obatan paten. Berbeda misalnya dengan India, dimana perusahaan farmasi berkepentingan untuk memasarkan obat produksinya selain juga mendaftarkan patennya. Hal ini karena kapasitas industri farmasi India sudah cukup tinggi. Sehingga perusahaan farmasi transnasional khawatir bahwa obat paten produksinya akan kalah bersaing dengan obat generik produksi India.
Dalam pengadaan obatnya, Pemerintah harus menetapkan daftar dan harga obat yang dapat dijamin oleh BPJS Kesehatan, sehingga lahirlah Formularium Nasional (FORNAS) dan mekanisme pembelanjaan obat melalui e-Catalogue. FORNAS sebagai kendali mutu, adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, didasarkan pada bukti ilmiah mutakhir berkhasiat, aman, dan dengan harga yang terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam JKN. Sedangkan E-catalogue obat merupakan mekanisme pembelian obat melalui aplikasi e-purchasing yang berperan untuk mengendalikan harga obat FORNAS tersebut.[10]
Namun pada implementasinya, keberadaan FORNAS maupun e-catalogue tidak mampu menekan tingginya harga obat-obatan. Ini terlihat dari persentase obat generik yang digunakan dalam Fornas atau e-catalagoe hanya berkisar 17%, masih kalah jauh dari jumlah peredaran obat paten. Akibatnya BPJS Kesehatan harus membayar obat yang harganya lebih mahal antara 5-85 kali.[11] Lalu, terdapat regulasi yang bertentangan terkait penggunaan obat sehingga menimbulkan kebingungan acuan di tingkat fasilitas kesehatan. Selain itu belum adanya dorongan secara regulasi untuk membuat Rumah Sakit menggunakan FORNAS pada persentase minimal dalam formulariumnya. Ditambah lagi belum semua obat di FORNAS dapat muncul di e-Catalogue untuk dasar pembayaran klaim obat oleh BPJS Kesehatan. Terakhir yang sangat krusial adalah kelemahan aplikasi e-Catalogue. Hal ini dapat terlihat dari tidak ada informasi stok dan status pemesanan obat, tidak dibukanya akses bagi faskes swasta sebagai rekanan JKN, tidak terintegrasinya e-Catalogue dengan e-money obat Kementerian Kesehatan untuk menghasilkan data valid yang dapat digunakan sebagai dasar monitoring dan evaluasi.[12]
Rekomendasi Terhadap Defisit
Usul: Dalam upaya menyelesaikan persoalan defisit BPJS, Pemerintah mendorong berbagai skema seperti, (i) membenahi sistem pengadaan obat-obatan dari mulai penetapan daftar obat-obatan dalam formularium dan e-catalogue sampai kepada penggunaannya di fasilitas kesehatan; (ii) menghilangkan disparitas pelayanan yang diberikan pada berbagai tingkat fasilitas kesehatan maupun kelas; dan (iii) Membenahi sistem administrasi pelayanannya kepada pasien, dengan mengurangi alur birokrasi yang tidak perlu.
Namun, bagi kami persoalan terbesar dari defisit BPJS juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan harga obat yang akhirnya berdampak terhadap kemampuan BPJS dalam menyediakan obat untuk pasien. Oleh karena itu, persoalan harga obat yang mahal karena adanya monopoli paten oleh perusahaan farmasi harus menjadi prioritas utama untuk menyelamatkan keuangan BPJS Kesehatan dan hak atas kesehatan jutaan rakyat Indonesia. Untuk itu, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan kebijakan strategis dalam rangka membuka ketersediaan dan harga obat yang terjangkau bagi masyarakat, dengan membuat kebijakan sebagai berikut:
- Menekan harga obat-obatan yang digunakan dalam Fornas maupun yang berada dalam e-catalogue, khususnya untuk obat-obatan penyakit katastrofik. Cara yang dapat ditempuh seperti negoisasi harga dengan produsen obat. Jika obat-obatan tersebut adalah obat paten dan tidak memiliki versi generiknya.
- Memanfaatkan fleksibilitas yang diatur di dalam TRIPS seperti penggunaan lisensi wajib Paraller Importation dan Goverment Use. Ketiganya dapat dilakukan jika obat-obatan paten memiliki versi generik yang harganya lebih murah, industri farmasi lokal yang memiliki kapasitas memadai dan adanya kondisi darurat yang ditetapkan oleh pemerintah.
- Menolak aturan-aturan TRIPS-Plus untuk dimasukkan kedalam bab perlindungan kekayaan intelektual, khususnya dalam aturan paten, pada perjanjian-perjanjian FTA atau investasi yang sedang dirundingkan oleh Indonesia. Dampak dari aturan TRIPS-Plus dalam FTA, selain menguatkan monopoli perusahaan farmasi multinasional, harga obat akan menjadi sangat tinggi dan pada bagiannya akan membebani anggaran kesehatan negara.
****
Narahubung:
Muhammad Teguh Maulana,
Staff Riset dan Advokasi Isu Kesehatan dan Perburuhan
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi
Sekretariat IGJ
Komplek PLN, Jl.Laboratorium No.7
Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan 12760
Telp: 021 7984552
Email: keadilan.global@gmail.com / igj@igj.or.id
Website: www.igj.or.id
_______________________________________________
[1] Kertas posisi adalah hasil diskusi yang dilakukan oleh IGJ dengan judul “Defisit BPJS Kesehatan dan Dampaknya Terhadap Pengobatan Penyakit Katastrofik” pada tanggal 14 Februari 2019. Dengan menghadirkan pembicara Tony Samosir, Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia dan dr. Patrianef, Sp.B-KV, Dokter Spesialis Bedah Konsultan Vaskuler dan Ketua Umum Komnas Kesehatan.
[2] Syahdu, Winda. “Formularium Nasional (FORNAS) dan e-Catalogue Obat Sebagai Upaya Pencegahan Korupsi dalam Tata Kelola Obat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)”.Integritas, Volume 4 Nomor 2, Desember 2018. Hal: 179.
[3] https://nasional.kontan.co.id/news/gp-farmasi-sebut-pihaknya-baru-menerima-10-pembayaraan-obat-dari-bpjs-kesehatan diakses pada 13 Maret 2019; https://www.cnbcindonesia.com/news/20180917081645-4-33363/bpjs-kesehatan-defisit-industri-farmasi-kejepit diakses pada 13 Maret 2019; dan https://bisnis.tempo.co/read/1137542/defisit-bpjs-kesehatan-turut-jadi-penyebab-industri-farmasi-lesu/full&view=ok diakses pada 13 Maret 2019.
[4] Indonesia Case Base Group (INA-CBGs), sistem tarif klaim pada pelayanan di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL), yang dibentuk berdasarkan pengelompokan diagnosis dan prosedur dengan mengacu pada ciri klinis yang mirip/sama dan biaya perawatan yang mirip/sama, pengelompokan dilakukan dengan menggunakan grouper (Permenkes 27 Tahun 2014)
[5] Keterangan tersebut disampaikan dr. Patrianief saat menjadi pembicara pada acara diskusi yang diadakan IGJ pada 14 Februari 2019.
[6] https://tirto.id/lingkaran-setan-defisit-bpjs-kesehatan-c26p diakses pada 13 Maret 2019
[7] https://www.jawapos.com/nasional/humaniora/30/07/2018/bukan-cuma-mahal-bpjs-punya-pertimbangan-lain-hapus-obat-kanker diakses pada 13 Maret 2019; https://tirto.id/bpjs-hapus-obat-kanker-payudara-trastuzumab-lalu-bagaimana-cPkQ diakses pada 13 Maret 2019; https://tirto.id/trastuzumab-obat-kanker-payudara-yang-tak-lagi-ditanggung-bpjs-cG2y diakses pada 13 Maret 2019; dan https://tirto.id/bpjs-hapus-2-obat-kanker-ikabdi-turunkan-harapan-hidup-penyintas-dhrD diakses pada 13 Maret 2019.
[8] Keterangan tersebut disampaikan Tony Samosir saat menjadi pembicara pada acara yang diadakan oleh IGJ pada 14 Februari 2019.
[9] Data yang dipaparkan dr. Patrianief saat menjadi pembicara pada acara diskusi yang diadakan IGJ pada 14 Februari 2019.
[10] Syahdu., hal. 181.
[11] Laporan BPOM, 2017
[12] Syahdu., hal. 204.
Download >>>Kertas Posisi IGJ Terhadap Isu BPJS Kesehatan_2019