JAKARTA, KOMPAS — Perundingan perjanjian dagang Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP yang kini hampir selesai, berpotensi diumumkan pemerintah jilid II Presiden Joko Widodo pada November mendatang. Namun, sejumlah pihak meminta pemerintah berhati-hati terhadap potensi eksploitasi asing melalui RCEP.
Pesan itu dinyatakan lewat surat terbuka yang dilayangkan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi kepada Jokowi. Koalisi ini terdiri dari, Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia AIDS Coalition (IAC), Solidaritas Perempuan, Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).
“Kami menyoroti kehadiran strategi hambatan nontarif yang tepat di tingkat perekonomian domestik. Hal ini diperlukan mengingat RCEP melebarkan akses pasar (bagi negara lain),” tutur Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti saat dihubungi, Senin (21/10/2019).
RCEP melibatkan negara-negara anggota ASEAN, China, India, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan. Kementerian Perdagangan memperkirakan, gabungan kekuatan negara-negara dalam RCEP ini setara dengan 32,2 persen ekonomi dunia.
Dalam surat terbuka itu, akses terbuka bagi investor asing menjadi sorotan. Koalisi berpendapat, pemerintah mesti menyiapkan strategi untuk mencegah penyalahgunaan mekanisme sengketa antara Investor dan Pemerintah (Investor State Dispute Settlement/ISDS).
Jika tidak ada, koalisi mengkhawatirkan, investor asing sewenang-wenang dalam memanfaatkan mekanisme ISDS apabila merasa hak-haknya dirugikan karena kebijakan nasional. Contoh tindakan kesewenang-wenangan itu meliputi, menghindari pembayaran pajak serta melawan undang-undang dan kebijakan yang mengatur kepentingan umum.
Terkait investasi asing, koalisi mengutip kesimpulan temuan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang menyebutkan, tidak ada korelasi antara kehadiran bab investasi dalam perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan kenaikan penanaman modal asing di negara-negara yang terlibat. Artinya, masih ada ruang ketidakpastian dalam peningkatan investasi asing di Indonesia.
Investasi asing, menurut koalisi, juga berpotensi berdampak pada penguasaan tanah atau lahan. Hal ini dapat berimbas pada ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah bagi rakyat, khususnya dalam skala kecil dan berorientasi pada pertanian.
Koalisi turut menilai, kehadiran asing melalui RCEP juga berpotensi memprivatisasi layanan publik yang esensial seperti air, energi, kesehatan dan pendidikan. Dampaknya, rakyat terancam lebih sulit mengakses layanan publik tersebut. Seharusnya, pemerintah masih memiliki ruang dalam pengelolaannya.
Pembahasan perdagangan bebas dalam salah satu bab RCEP juga berpotensi menyebabkan lonjakan barang impor di Indonesia. Sebelumnya, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo berpendapat, hal itu dapat diatasi dengan pemberlakuan mekanisme pengamanan perdagangan atau safeguard sesuai dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Saat ini, pembahasan dan perundingan RCEP telah memasuki tahap finalisasi oleh komite negosiasi perdagangan atau TNC. Targetnya, pada awal November 2019, menteri-menteri perdagangan negara anggota RCEP dapat melaporkannya pada pemimpin atau kepala pemerintahan untuk diumumkan.
Kehadiran asing melalui RCEP berpotensi memprivatisasi layanan publik yang esensial seperti air, energi, kesehatan dan pendidikan.
Negara-negara ASEAN turut menjadi bagian dari RCEP. Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor nonmigas Indonesia ke ASEAN sepanjang Januari-September 2019 mencapai 26,69 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, impor nonmigas senilai 21,68 miliar dollar AS.
Tarif turunan
Saat ini, Iman mengatakan, perundingan RCEP tengah membahas tarif turunan atau tarif diferensial. Tarif turunan ini menyangkut rantai pasok di antara negara-negara anggota RCEP.
Sebagai contoh, Indonesia mengolah bahan baku dari India dan barang jadinya diekspor ke China. Namun, belum ada perjanjian yang mengatur tarif preferensial bahan baku dari India tersebut ke China. “Hal ini penting untuk dibahas. Karena itu, kami bicara aturan spesifik terkait produk serta provisi terkait tarif diferensial,” katanya.
Iman optimistis, perundingan RCEP dapat mencapai kemajuan sebesar 90-92 persen pada saat dilaporkan kepada menteri yang nantinya dilaporkan ke kepala negara atau pemerintahan. Terkait teks dokumen RCEP, saat ini kemajuannya sudah mencapai 95 persen selesai.
Sumber : https://kompas.id/baca/utama/2019/10/21/lampu-kuning-sebelum-umumkan-perjanjian-dagang-rcep/