Ditulis oleh:
Rahmat Maulana Sidik Koordinator Advokasi
Indonesia for Global Justice (IGJ) Email: rmaulanasidik55@gmail.com
Cerita rakyat banyak disuarakan ditengah pandemi ini. Semua cerita itu disampaikan dan dikeluhkan dalam serial diskusi suara dari pelosok negeri yang diadakan oleh Indonesia for Global Justice (IGJ) bekerjasama dengan Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) pada 24 April hingga 20 Mei 2020. Dalam diskusi itu, masyarakat dari berbagai wilayah banyak mengeluhkan respon pemerintah dalam menangani pandemi yang tidak memperhatikan pemenuhan hak-hak masyarakat. Khususnya, terkait kebijakan PSBB yang diterapkan Pemerintah Daerah masing-masing yang berjalan tidak sesuai dengan pemenuhan hak-hak masyarakat. Bisa dibayangkan ketika kebijakan PSBB diterapkan, masyarakat diminta untuk tetap dirumah saja. Sementara tidak ada jaminan bagi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lalu bagaimana nasib mereka melewati pandemic covid19 ini.
Tentunya, Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditengah pandemi covid19 ini menambah kegelisahan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Banyak cerita memilukan yang disampaikan oleh saudara-saudara dari berbagai daerah dalam serial diskusi suara dari pelosok negeri. Termasuk keluhan soal lesunya ekonomi masyarakat karena adanya kebijakan pembatasan sosial. Masyarakat tidak bisa melakukan aktivitasnya dengan normal karena ada aturan-aturan pembatasan yang sangat ketat untuk pencegahan virus corona. Sementara, pemerintah tidak cepat tanggap dalam menjawab keresahan yang terjadi di masyarakat bahkan strategi pemerintah belum cukup matang dalam menghadapi pandemi covid19 ini.
Sulawesi Selatan: Kebijakan PSBB Merusak Rantai Ekonomi Masyarakat
Di Sulawesi, kebijakan pembatasan sosial berdampak membuat masyarakat was-was, dikarenakan tidak bisa menjual hasil produksi pertaniannya. Seperti jagung yang biasanya dijual untuk kebutuhan pakan ternak, sekarang kesulitan untuk menjualnya. Kemudian, sapi yang biasanya dijual ke masyarakat yang akan mengadakan pesta/resepsi pernikahan kini tidak ada yang menampung sapi mereka[1]. Tentu saja, karena mengadakan pesta/resepsi pernikahan sudah dilarang sejak pandemi covid19. Sehingga, akibat dari adanya pembatasan sosial ini membuat hancur rantai ekonomi hasil pertanian dan peternakan masyarakat Sulawesi.
Mirisnya, Pemerintah di daerah Sulawesi hanya membuat seruan/himbauan kepada Kepala Desa agar mengalihkan dana desa untuk memberikan bansos kepada masyarakat. Namun, tidak jelas skema kebijakan yang digunakan bahkan tidak ada upaya konkrit untuk memulihkan ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pangan.
Selain itu, kebijakan PSBB dikeluhkan oleh Mahasiswa perantau di Sulawesi Selatan. Mereka tidak bisa pulang ke kampung mereka, dan harus tetap melaksanakan kegiatan perkuliahan secara online. Dilematisnya disampaikan oleh kawan-kawan Kesatuan Perjuangan Rakyat bahwa mahasiswa kesulitan dana untuk membeli paket internet selama kuliah online berlangsung. Biaya untuk membeli kuota sangat besar ditambah dengan uang kebutuhan mereka sehari-hari (seperti: makan, minum, dll). Sementara, orang tua mereka dikampung juga kesulitan ekonomi ditengah pandemi ini. Yang dikeluhkan adalah tidak ada sedikitpun insentif kuota internet untuk mahasiswa yang diberikan oleh pihak kampus ataupun pemerintah daerah di Sulawesi.[2]
Sulawesi Utara: Kebijakan PSBB Tidak Diterapkan
Kebijakan PSBB di Sulawesi Utara tidak ada. LBH Manado menyampaikan ceritanya dalam diskusi suara dari pelosok negeri bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara tidak menerapkan PSBB karena APBD di Provinsi tidak bisa membiayai atau menanggung kebutuhan masyarakat mulai dari pemberian sembako dan bantuan lainnya. Selain tidak adanya kebijakan PSBB, di Manado juga masih memperbolehkan masyarakat yang mau mudik. Namun dengan catatan harus dikarantina di kampungnya selama 14 hari.
Disamping itu, LBH Manado[3] membuka posko pengaduan atau konsultasi online melalui media social (facebook) LBH Manado untuk buruh/pekerja yang dirumahkan atau masyarakat yang membutuhkan pendampingan kasus ditengah pandemi covid19 ini. Setidaknya setelah mereka membuka posko pengaduan tersebut, ada 13 kasus yang sudah masuk dalam kanal pengaduan, diantaranya kasus buruh yang dirumahkan, PHK dan bahkan tidak digaji oleh perusahaan. Kemudian LBH Manado turut membantu kasus-kasus pengaduan masyarakat itu dengan meneruskan kepada Pemerintah agar menghadirkan solusi bagi masyarakat yang menghadapi masalah ditengah pandemi ini.
Bali: Tidak Menetapkan PSBB Tapi Pembatasan Sosial Sangat Luar Biasa
Berdasarkan cerita dari kawan-kawan Yayasan Manikaya Kauci[4], bahwa di Bali tidak mau mengusulkan kebijakan PSBB ke Kementerian Kesehatan. Tetapi pembatasan-pembatasan aktivitas sosial-masyarakat sangat luar biasa. Sehingga, kawan-kawan Manikaya Kauci menganggap Pemerintah Provinsi Bali hingga Pemkot/Pemkab di Bali ingin masyarakatnya taat untuk tetap dirumah namun jaminan kebutuhan hidup masyarakatnya tidak mau dipenuhi. Untuk menjalankannya, Pemprov Bali menggunakan peran desa adat guna mengatur pembatasan aktivitas masyarakat. Desa Adat ini kemudian membentuk satgas covid19 bernama “gotong royong” yang diisi oleh Polisi Adat Bali untuk mengawasi segala aktivitas sosial masyarakat agar tidak berkerumun.
Jawa Tengah: Kebijakan PSBB Harusnya Bisa Memberi Solusi Bagi Anjloknya Harga Komoditas Petani
Kebijakan PSBB di Jawa Tengah tidak berjalan efektif. Walau sudah ada himbauan untuk melakukan pembatasan sosial, tetapi masyarakat masih ramai dan berkumpul seperti dalam situasi normal. Masyarakat Jawa Tengah mengalami dilematis tersendiri dari adanya kebijakan pembatasan sosial. Dikarenakan bila mendengarkan anjuran Pemprov Jateng dengan tetap dirumah saja, maka bagaimana mereka menghidupi keluarganya.
Padahal anggaran jaring pengaman sosial untuk penanganan covid19 di Jawa Tengah sebesar Rp.1,3 Triliun. Angka yang cukup fantastis bila digunakan untuk membeli hasil pertanian langsung dari petani. Sebab sejak pandemik ini, harga hasil pertanian anjlok drastis, seperti jambu biji merah di Jawa Tengah biasanya dijual ke tengkulak dengan harga Rp.5.000,- kini anjlok menjadi Rp.750,-. Begitu juga dengan harga komoditas lain yang juga turut anjlok seperti cabe, sayuran dan ikan. Yang disayangkan justru Gubernur Jawa Tengah tidak fokus untuk memberikan solusi bagi anjloknya harga komoditas petani malah sibuk mengurus polemik parkir di Pantura. Sehingga, Pemprov Jawa Tengah tidak punya navigator untuk mengatasi ancaman krisis pangan yang akan terjadi ditengah pandemi.
Jawa Timur: Membangun Lumbung Pangan Saat PSBB
Sedikit berbeda dengan provinsi lain, kebijakan PSBB di Jawa Timur tetap diterapkan. Pemerintah Provinsi Jatim menyerukan kepada masyarakat agar segala aktivitas diluar rumah wajib menggunakan masker dan handsanitizer serta menghindari kerumunan dalam jumlah massa lebih dari empat orang. Tentu saja, dari adanya pembatasan sosial tersebut masyarakat mengeluhkan akses sembako yang sulit dicari di pasar umum. Hal ini dikarenakan adanya pembatasan aktivitas jual-beli ditempat yang ramai. Kondisi ini dikeluhkan oleh masyarakat yang biasa berdagang maupun konsumen yang membeli di pasar umum. Namun, Pemerintah Provinsi Jatim melakukan inisiasi dengan membangun lumbung pangan Jatim Expo, yang didalamnya terdapat berbagai kebutuhan pokok pangan masyarakat. Jadi lumbung pangan ini dibangun sebagai stok kebutuhan pangan dan bisa diakses oleh seluruh masyarakat Jawa Timur[5]. Kebijakan membuat lumbung pangan Jatim Expo juga untuk menutup akses pasar umum yang biasa digunakan masyarakat untuk belanja kebutuhan sembako, dengan pertimbangan kesehatan ditengah pandemi dibuat satu lumbung pangan yang bisa diakses oleh seluruh masyarakat.
Sumatera Selatan: Kebijakan PSBB Telat Diterapkan, Daya Beli Masyarakat Menurun
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menetapkan status PSBB pada 7 Mei 2020 sementara sudah banyak masyarakat di Kota Palembang yang terpapar covid19. Dalam hal ini LBH Palembang sangat menyayangkan kelambanan Pemprov dalam merespon pandemi khususnya penetapan kebijakan PSBB. Menurutnya banyak kelompok-kelompok rentan terpapar covid19 dan harus dilindungi, seperti masyarakat miskin kota.
Selain itu, beliau menilai bila kebijakan pembatasan social yang diterapkan tidak memperhatikan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Maka, akan banyak masyarakat Sumsel yang akan jatuh ke jurang kemiskinan. Beliau sampaikan data BPS terdapat sekitar 1,6 juta masyarakat yang rentan miskin, bila tidak ada perlindungan serius dari pemerintah maka akan menambah jumlah angka masyarakat miskin setelah pandemi.
Kebijakan pembatasan juga menurunkan daya beli masyarakat di Sumsel, karena usaha-usaha banyak ditutup termasuk banyak pekerja/buruh di PHK dan dirumahkan. Termasuk permintaan konsumen pada pedagang-pedagang juga semakin menurun. Kebijakan PSBB di Sumsel yang meliburkan sekolah-sekolah juga membawa dampak buruk bagi pelajar, selain aktivitas belajar mengajar yang terganggu juga para pelajar cenderung malas belajar di rumah.
Lampung: Kebijakan PSBB Dimanfaatkan Pengusaha Untuk Mengebiri Hak- Hak Pekerja
Di Lampung, kebijakan PSBB diterapkan namun aktivitas masyarakat berjalan dengan normal. Hanya beberapa aktivitas yang ditutup aksesnya sementara, seperti sekolah-sekolah diliburkan, dan masjid ditutup. Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR) Lampung menceritakan kebijakan PSBB ini justru dimanfaatkan oleh pengusaha untuk mem-PHK dan merumahkan pekerja/buruh. Dari data yang dihimpun oleh KPR per April 2020 terdapat sekitar 1.600 pekerja yang di PHK, bila digabungkan dengan pekerja yang dirumahkan maka angkanya bisa mencapai 2000-an pekerja. Selain itu, KPR menyampaikan juga kondisi kebijakan PSBB di Lampung tidak meringankan pembayaran uang kuliah bagi mahasiswa yang aktivitas kampusnya dilakukan secara daring. Kuliah menggunakan daring banyak dikeluhkan mahasiswa Lampung karena memakan biaya yang tidak sedikit. Kampus juga tidak membuat aturan keringanan pembayaran UKT justru menagih pembayaran seperti dalam keadaan normal.
Indramayu: Hasil Pertanian Tidak Terserap Karena PSBB
Disampaikan oleh Kepala Desa Kalensari, Indramayu dalam diskusi suara dari pelosok negeri, bahwa di Indramayu diterapkan kebijakan PSBB berbarengan dengan musim panen petani. Tetapi, beliau sampaikan petani tetap diperbolehkan keluar untuk memanen hasil dari pertanian mereka. Yang menjadi kekhawatiran para petani di Indramayu kemana harus menjual hasil pertanian mereka, karena semua akses transportasi ditutup. Kabarnya gabah tidak terserap oleh pasar. Karena kekhawatiran hasil pertanian yang tidak terserap oleh pasar, Kepala Desa Kalensari membuat kebijakan dalam skala lokal terkait strategi serapan gabah. Strategi lokal yang dibuat agar hasil pertanian seperti beras terjual dengan memasarkan kepada relawan covid19, rata-rata relawan itu membeli beras petani desa kalensari dengan harga Rp9.700.
Selain membuat kebijakan itu, hasil petani di desa ini kebanyakan yang disimpan. Di desa Kalensari ini ada sekitar 385 Kepala Keluarga (KK), jika dalam 1 KK menyimpan 2 ton gabah maka ada sekitar 1000 ton gabah petani. Bisa dibayangkan di Indramayu ada 315 Desa, ada berapa ton gabah yang disimpan dan belum terserap. Kepala Desa Kalensari mempertanyakan peran Bulog yang katanya bisa menampung gabah petani, harusnya Bulog bisa menyerap hasil gabah petani yang tidak jelas pasarnya ditengah wabah ini.
Harga gabah kering panen itu sekitar Rp3.000 sampai Rp3.800, kalau dijual ke BUMDES menerima dengan harga Rp4.300 dan ke tengkulak biasa menampung dibawah harga itu sekitar Rp4.100 bahkan ada yang Rp3.000. Gabah biasanya banyak dibeli oleh tengkulak, karena tengkulak di desa ini mempunyai alat-alat produksi seperti penggilingan padi, sehingga banyak petani yang menjual hasil gabahnya ke tengkulak. Padahal dijual dengan harga dibawah harga acuan pangan.
Maluku: Kebijakan PSBR Pemerintah Maluku Tidak Menjamin Kelancaran Rantai Ekonomi dan Distribusi Masyarakat
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Regional (PSBR) yang ditetapkan oleh Pemprov Maluku untuk membatasi aktivitas masyarakat antar pulau. Kebijakan Namun, seperti kebanyakan daerah lain, kebijakan PSBB maupun PSBR membuat para petani kesulitan memasarkan hasil pertaniannya ke pasar karena akses transportasi dan pembatasan di pasar-pasar umum. Salah satu organisasi masyarakat sipil yang bernama HUMANUM mempertanyakan kejelasan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Maluku terkait PSBR, karena kebijakan ini tidak dibarengi edukasi kepada masyarakat. Sehingga banyak masyarakat yang takut berlebihan menghadapi pandemi ini, bahkan takut memasarkan hasil pertanian mereka. Alhasil, produk pertanian masyarakat menumpuk tidak tahu akan dijual kemana[6]. Ungkap organisasi HUMANUM, bahwa pemerintah boleh menghimbau orang untuk tetap dirumah, tetapi pemerintah juga harus memastikan bagaimana agar rantai ekonomi masyarakat tetap berjalan.
Adapun harga jual hasil pertanian, seperti bawang, dan sayuran praktis menjadi sangat mahal tidak seperti biasanya. Persoalan distribusi juga dialami oleh nelayan, dari hasil tangkapannya bingung kemana akan didistribusikan. Apalagi nelayan yang berada di pulau-pulau kecil di Maluku, kesulitan untuk mengakses transportasi ditengah kebijakan PSBR. Organisasi HUMANUM memiliki kekhawatiran tentang bagaimana pemerintah seharusnya memastikan rantai distribusi masyarakat tidak terputus dan konsumen juga bisa mengakses kebutuhan pangannya ditengah pandemi ini.
Kebijakan PSBR membuat organisasi HUMANUM membatasi kegiatan advokasi dan pendampingan yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar. Melainkan diubah menjadi ke personal (1 atau 2 orang). HUMANUM juga memberikan edukasi ke masyarakat dengan tagline “Mari Bakabong” yang artinya “Mari Berkebun” untuk kebutuhan hidupnya masing-masing. Sehingga, mereka mengkampanyekan jangan pikir untuk menjual, pikir berkebun untuk kebutuhan hidup masing-masing. Kegiatan edukasi ini menurut HUMANUM untuk mengantisipasi kelangkaan kebutuhan pangan di saat pandemi.
Kalimantan Timur: Kebijakan PSBB Tidak Diterapkan di Wilayah Oligarki Tambang
Di Kalimantan Timur, tidak ada penetapan kebijakan PSBB yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi. Organisasi JATAM menyoroti tidak adanya kebijakan PSBB tersebut, padahal sudah 251 orang meninggal terinfeksi covid19. Ungkap mereka penularan covid19 sudah merambah ke 3 karyawan perusahaan tambang yakni PT. Kaltim Prima Coal (KPC) yang baru saja kembali dari India dan Jakarta. Tidak adanya kebijakan PSBB tentu saja membuat aktivitas tambang mereka tetap berjalan. Terbukti dengan setiap saat wara-wiri kapal tongkang yang mengangkut batubara dengan muatan sekitar 45.000 sampai 50.000 ton[7]. Sehingga, JATAM meyakini tidak akan ada penerapan kebijakan PSBB di wilayah oligarki tambang, karena untuk memastikan semua aktivitas tambang mereka tetap berjalan khususnya di wilayah Kutai Timur, Kutai Kertanegara dan Penajem Paser Utara, sebab disitulah wilayah ATM oligarki dan para taipan tambang.
Balikpapan menjadi salah satu kota yang paling banyak penyebaran covid19, berdasarkan informasi yang didapatkan JATAM bahwa Walikota Balikpapan akan mengajukan penetapan PSBB ke Kementerian Kesehatan. Namun, mereka masih berhitung soal cukup tidaknya APBD digunakan untuk pemenuhan kebutuhan dasar warganya sekitar 70.000 jiwa. Setelah dipertimbangkan, Walikota tidak yakin APBD akan mencukupi kebutuhan warganya. Yang dikhawatirkan adalah seruan untuk dirumah saja oleh pemerintah tapi kebutuhan pangan masyarakat dalam keadaan krisis.
Sumatera Barat: Kebijakan PSBB Yang Kontra Penegakan HAM
Penetapan status PSBB di Sumatera Barat sejak 22 April 2020. Kebijakan PSBB ini dibuat dengan menetapkan jam malam di beberapa Kab/Kota di Sumbar. LBH Padang mempertanyakan dasar hukum penetapan jam oleh Pemprov Sumbar. Beberapa kab/kota menerapkan jam malam kepada masyarakat yang melarang aktivitas dari jam 10 malam sampai jam 6 pagi. LBH Padang mengungkapkan bahwa memang dalam kebebasan social, politik ada kebebasan yang bisa dibatasi dalam keadaan tertentu. Namun, harus dengan regulasi yang jelas. Karena bila regulasinya tidak jelas dasar hukumnya maka penerapan dan prosedurnya bisa melanggar HAM.
LBH Padang mendapat laporan pengaduan ada pengamen yang dipukuli karena ia masih berkeliaran pada 22.30 malam. Namun, setelah dilaporkan ke Kepolisian tidak mendapat tanggapan serius dari laporan penganiayaan ini. LBH Padang juga menyoroti penyaluran bansos yang seharusnya disalurkan pemerintah sebelum adanya kebijakan PSBB. Sehingga, masyarakat sudah terpenuhi kebutuhan hidupnya mulai dari pangan hingga uang. Kemudian setelah penetapan PSBB selama 20 hari belum juga bansos itu diterima oleh masyarakat.
Sumatera Utara: Kebijakan PSBB Berjalan Setengah Hati
Organisasi masyarakat sipil di Sumatera Utara mengkritisi kebijakan PSBB yang diterapkan oleh Pemprov. Kontras Sumut mengungkapkan bahwa PSBB berjalan setengah hati, kenapa dikatakan setengah hati karena satu sisi masyarakat dibatasi mobilitasnya untuk tidak keluar rumah. Disisi lain, pemerintah tidak sanggup membiayai masyarakat yang harus keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ungkapnya masyarakat butuh kepastian dari Pemprov, bila dirumah saja siapa yang akan menanggung kebutuhan ekonominya dan sampai kapankah mereka harus dirumah saja, sehingga kebijakan ini tidak jelas. Pemerintah di Sumatera Utara tidak mengambil kebijakan yang konkrit apakah melakukan pembatasan dirumah saja, atau dibiarkan begitu saja. Sebab, Gubernur Sumut menganggap enteng persoalan ini dengan mengatakan Sumut belum terlalu zona merah, merahnya masih merah jambu. Sehingga, kebijakan PSBB masih dijalankan setengah hati.
*** Sekretariat:
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Jalan Kalibata Tengah No. 1A, Kalibata, Jakarta Selatan. 12740
Website: www.igj.or.id | Email: igj@igj.or.id
[1] Armin Salasa, FIAN Indonesia – Sulawesi Selatan, diskusi melalui daring “Suara Dari Pelosok Negeri” sesi Sulawesi yang diselenggarakan oleh KPR (Kesatuan Perjuangan Rakyat) dan Indonesia for Global Justice (IGJ) pada Mei 2020.
[2] Tenri Sompa, KPR Sulawesi Selatan, diskusi melalui daring “Suara Dari Pelosok Negeri” sesi Sulawesi yang diselenggarakan oleh KPR (Kesatuan Perjuangan Rakyat) dan Indonesia for Global Justice (IGJ) pada Mei 2020.
[3] Frank Kahiking, LBH Manado, diskusi melalui daring “Suara Dari Pelosok Negeri” sesi Sulawesi yang diselenggarakan oleh KPR (Kesatuan Perjuangan Rakyat) dan Indonesia for Global Justice (IGJ) pada Mei 2020.
[4] I Nyoman Mardika, Yayasan Manikaya Kauci, diskusi melalui daring “Suara Dari Pelosok Negeri” sesi Sulawesi yang diselenggarakan oleh KPR (Kesatuan Perjuangan Rakyat) dan Indonesia for Global Justice (IGJ) pada Mei 2020.
[5] Disampaikan Dian Pratiwi – FIAN Indonesia dalam seri diskusi suara dari pelosok negeri sesi Jateng, Jatim dan Yogyakarta yang diadakan mulai 24 April – 20 Mei 2020.
[6] Disampaikan Vivi Marantika, HUMANUM, dalam seri diskusi suara dari pelosok negeri sesi Kalimantan dan Maluku yang diadakan mulai 24 April – 20 Mei 2020.
[7] Disampaikan Rupang Pradarma, Jatam Kaltim, dalam serial diskusi suara dari pelosok negeri sesi Kalimantan dan Maluku yang diadakan mulai 24 April – 20 Mei 2020.