Monitoring Indonesia for Global Justice (IGJ)
Opini oleh:
Olisias Gultom
Peneliti untuk Isu Digital IGJ
Pendahuluan
Setelah perang dunia kedua berakhir, segera negara-negara pemenang perang menyusun tatanan dunia yang baru. Mengikuti kemudian lahirnya lembaga-lembaga seperti PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), World Bank, IMF (International Monetary Bank) dan termasuk lahirnya GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Orde baru dunia dengan agenda liberalisasi mulai berlangsung dan dijalankan secara sistematik sejak saat itu. Menghindari terjadinya perang massal secara terbuka seperti perang dunia kedua menjadi alasan dibangunnya tatanan dunia yang baru. Tatanan yang didasarkan pada kekuatan kapital dan dibangun secara sistematis dan global.
Pertentangan segera muncul tidak lama setelah masa pembentukan tatanan dunia baru tersebut. Situasi berkembang dengan menguatnya Blok Barat dan Blok Timur. Ketegangan politik terjadi berbasis pertarungan liberalisasi pasar melawan pasar yang terkontrol menjadi dua kutub yang menguat. ‘Perang dingin’ selama kurang lebih 40 tahun baru mereda setelah Uni Soviet runtuh pada tahun 1988. Perubahan ini membuka seluas-luasnya kesempatan bagi rejim pasar bebas menyusun infrastruktur ekonomi neo liberal secara global.
Mengikuti terbentuknya organisasi keuangan internasional, tahun 1947 lahir sebuah kesepakatan pembebasan tarif terhadap barang-barang perdagangan atau dikenal dengan GATT. GATT terus berjalan dan berkembang, negara yang terlibat perlahan namun terus bertambah. Perluasan anggota dan konsekuansi perdagangannya membuat pengaruh GATT menjadi semakin luas dan mendalam secara global.
Melalui Putaran Uruguay yang dimulai tahun 1986, GATT akhirnya resmi menjadi WTO (World Trade Organization) dengan pemberlakuan aturan perdagangan pada Januari 1995. Organisasi yang saat berdiri terdiri dari 123 negara ini bertujuan utama melakukan liberalisasi perdagangan dunia. Sejak Putaran Uruguay, persoalan yang diatur tidak lagi hanya sebatas penurunan tarif atas barang perdagangan, tetapi semakin meluas pada persoalan jasa dan kekayaan intelektual.
China Dalam Agenda Liberalisasi Global
Republik Rakyat Cina (RRC) yang merdeka pasca Perang Dunia Kedua telah memperlihatkan perkembangan ekonomi yang pesat dengan kekuatan populasinya yang sangat besar. Salah satu negara penandatangan awal GATT ini sempat mengkritik GATT secara keras, akhirnya melakukan perubahan strategi ekonominya secara unik. Keputusan mengadopsi ekonomi pasar dengan tetap dipimpin oleh sebuah Partai Komunis yang tersentral akhirnya membuat RRC mengajukan kembali keanggotaanya dalam organisasi WTO. Setelah menunggu 15 tahun akhirnya pada tahun 2001 China resmi menjadi anggota WTO dimana sebelumnya terlebih dahulu melakukan rangkaian kesepakatan dagang dengan AS (Amerika Serikat).
Sebelum bergabung dengan WTO ekonomi RRC sesungguhnya telah mengalami perkembangan yang pesat. Mengimbangi kapasitas produksi yang besar dan terus meningkat RRC membutuhkan pasar yang lebih luas. Pangsa pasar elektronik RRC di AS telah meningkat pesat dari 9,5 % pada tahun 1992 menjadi 21,8 % pada tahun 1999. Kontribusi produk komputer dari RRC juga naik dari 4 % pada tahun 1996 menjadi 21 % pada tahun 2000 untuk pasar dunia. Produk harddisk dari RRC untuk pasar global meningkat dari 1 % pada tahun 1996 menjadi 6 % pada tahun 2000.
Umumnya negara-negara anggota WTO, khususnya negara berkembang, berharap melalui WTO mereka berpeluang memperbaiki perekonomian mereka. Tapi pada kenyataannya aturan-aturan yang diterapkan WTO sebaliknya malah memberikan beban dan menyulitkan bagi banyak negara berkembang dalam seperti dalam melakukan ekspor hasil produksi mereka. Aturan dan pola pengambilan keputusan WTO juga cenderung lebih berpihak pada negara-negara maju. Situasi ini akhirnya membuat WTO lebih menjadi ‘kontrol’’ bagi perdagangan dunia ketimbang ‘kesempatan’ yang adil bagi negara-negara di dunia.
RRC dalam prosesnya memperlihatkan hal yang sedikit berbeda. Setelah bergabung dengan WTO, segera produksi RRC mengisi pasar dunia dengan leluasa, setidaknya mampu membanjiri banyak negara-negara berkembang. Perlahan tapi pasti mulai menggeser banyak produk-produk yang selama ini didominasi negara-negara maju. Laporan beberapa survei dan riset memperlihatkan para pelaku ekonomi di Eropa dan Amerika akhirnya merasakan tekanan negatif setelah RRC bergabung di WTO.
Setelah WTO berdiri pada tahun 1995, proses globalisasi mulai menguat secara sistematis. Kekuatan kapital global semakin menancapkan pengaruhnya dibanyak tempat dan bidang. Globalisasi memperkuat semua negara untuk tunduk dalam aturan perdagangan dan hukum ekonomi kapital secara global. Paramater pasar dan finansial menjadi ukuran ketat yang harus dipenuhi setiap negara. Dominasi kapital yang terjadi secara global berkembang seperti tanpa lawan dan menyisakan lawan hanya pada dirinya sendiri, krisis.
Krisis 2008 telah memukul rejim kapital global secara keras yang memukul Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Beberapa negara Eropa bahkan mengalami kebangkrutan ekonomi. Peralihan modal dan penguasaan yang mengikutinya menjadi konsekuensi yang harus terjadi. Pada situasi tersebut ekonomi Jerman yang telah tumbuh pesat semakin menguat di Uni Eropa. Jerman sendiri telah tumbuh tumbuh menjadi negara penting secara ekonomi di Eropa.
Jerman setelah kehancurannya pasca perang dunia kedua dan dinamika politik, reunifikasi sejalan bubarnya Uni Soviet, berhasil tumbuh memperkuat perekonomiannya. Industri Jerman mengambil posisi penting dalam perdagangan global. Sebaliknya Jepang pasca kehancuran pada perang dunia kedua telah berhasil tumbuh dan menjadi salah satu kekuatan penting secara ekonomi di Asia. Berbeda dengan Jerman, Jepang mengalami kesulitan dalam menghadapi konsekuensi menjalankan ekonominya dalam arus rejim kapital global. Jepang masih menghadapi persoalan ekonomi, terlebih pasca krisis 2008.
Sebaliknya, Ekonomi RRC yang tengah tumbuh pesat dan produksi China yang semakin mendominasi perdagangan dunia segera menjadi kekuatan ekonomi baru yang berpengaruh secara global. Krisis ekonomi 2008 menjadi momentum penting bagaimana China menjadi aktor penting dalam Global Supply Chain. Peralihan produksi dari banyak negara (AS dan Uni Eropa) ke China menjadi wajah penting bagaimana proses peralihan produksi dunia beralih ke China.
Produksi ICT (Information Communication Technology) dan produk lain khususnya berbahan rare earth semakin mendominasi dunia. China diperkirakan menguasai 97% bahan rare earth dunia. Bahan penting bagi peralatan modern seperti elektronik maupun peralatan modern lainnya termasuk teknologi pertahanan. Rare earth juga merupakan bahan kunci bagi teknologi ramah lingkungan seperti turbin angin dan teknologi sejenis lainnya, dimana perkembangan teknologi alternatif modern kini sedang berkembang ke arah tersebut.
Pada tahun 2013, mengikuti perkembangan ekonominya, RRC memunculkan inisiatif One Belt One Road (OBOR) atau yang juga dikenal dengan Belt Road Initiative (BRI). Program pembangunan infrastuktur darat dan laut paling ambisius pada masa kini. Gagasan yang menghubungkan infrastuktur dan relasi ekonomi hampir 2/3 dunia. Tidak terbatas pada infrastuktur transportasi dan pendukungnya, tetapi juga infrastuktur telekomunikasi dan fasilitas digital yang sebelumnya telah juga berkembang. Jaringan transportasi darat, laut dan ‘udara’ melingkupi wilayah yang begitu luas. Sisi utara dan barat melintasi Asia Barat hingga ke Eropa, sisi timur melalui Asia Timur hingga Pasifik, sisi selatan melingkupi sebagian besar Afrika dan menembus hingga Amerika bagian selatan.
Perkembangan RRC tidak sebatas perdagangan barang semata, kekuatan finansial China juga mulai memperlihatkan pengaruh dan kekuatannya secara global. Sejalan gagasan OBOR/BRI, pasca krisis 2008 yang berkepanjangan, China juga melakukan insiatif mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Lembaga keuangan yang terdiri dari negara-negara Asia dan Eropa. Sebuah lembaga finansial yang mengimbangi ADB (19866) yang didominasi oleh Amerika Serikat dan Jepang dimana masing-masing memiliki share sebesar 15,7%. Hal ini menunjukan niat China dalam mengambil peran penting dalam ekonomi global, setidaknya dari wilayah Asia dan Pasific.
Krisis ekonomi 2008 telah menunjukan bagaimana China dapat dengan lebih cepat memulihkan ekonominya bahkan mendapatkan penguatan dari situasi krisis tersebut. Setelah memperlihatkan bagaimana produksi China menguasai pasar global, fase selanjutnya mendorong terbangunnya infrastruktur transportasi global dan dilanjutkan pada sektor finansial. Penguatan secara global ini telah menempatkan China pada posisi penting dalam perekonomian global. Perubahan peta kekuatan ekonomi global mulai mengalami pergeseran dengan beberapa pelemahan pada negara maju dan penguatan pada negara-negara berkembang. Situasi ini terwakilkan melalui ‘perang ekonomi’ yang terjadi antara AS dan RRC.
Tatanan Dunia Baru Pasca Covid19
Pada situasi memanasnya perang ekonomi antara AS dan RRC serta anjloknya harga minyak dunia dan perkembangan ekonomi global yang kian memasuki krisis baru, muncul pandemi Covid-19. Kebijakan lock down yang dilakukan hampir di seluruh negara dunia telah memberikan tekanan ekonomi yang sangat kuat dan mendalam dengan seketika. Pukulan ekonomi terjadi merata secara global, setidaknya dalam beberapa bulan pertama pandemi merebak.
Vaksin Covid-19 yang sudah mulai memasuki fase produksi telah memberikan harapan akan segera pulihnya keadaan dalam waktu yang tidak lama lagi. Artinya kondisi akan segera pulih, tetapi tentunya dengan situasi yang tidak sama persis seperti sebelum krisis. Negara yang lebih cepat mengatasi keadaan pandemi dan mengembalikan aktifitas ekonominya akan berpeluang mendapatkan keuntungan dan penguatan bagi perekonomiannya. Bagi-negara-negara dengan potensi dan kapasitas yang signifikan hal itu menjadi kesempatan menjadi lebih ‘kuat’
Bagaimana situasi peta kekuatan ekonomi global pasca Covid-19 ? seperti krisis 2008 apakah RRC akan mendapatkan momentum baru yang bisa memberikan keuntungan bagi mereka? Ataukah rejim kapital global yang akan mendapatkan momentum dalam mengembalikan kekuatan dan ‘kendali permainan’ kepada mereka? Ataukah situasi ini akan memunculkan peta kekuatan ekonomi global yang benar-benar baru? Melahirkan gagasan baru untuk bentuk ekonomi global baru?
Apapun itu, digitalisasi akan menjadi faktor penting dalam perkembangan perekonomian global kedepan. Hal ini terlihat dari banyaknya bidang dan sektor telah semakin mendalam mengalami proses digitalisasi. Kebijakan lock down secara global saat pandemi juga telah memberikan pelajaran penting bagaimana mekanisme digital mengambil peran penting dengan potensi yang semakin dikembangkan.
Bisnis berfasilitas layanan digital jelas akan memiliki ruang yang lebih besar dalam aktifitas perekonomian dan berbagai layanan kebutuhan. Model bisnis baru berbasis digital juga akan semakin berkembang, bahkan lebih cepat dari yang diperkirakan. Begitu juga dengan produk-produk digital yang akan semakin tumbuh dengan inovasi yang mungkin tidak dibayangkan sebelumnya. Beberapa aplikasi digital pada masa lock down telah memperlihatkan hal tersebut.
Perang digital akan berpeluang menentukan arah jalannya ‘permainan’ dan pertarungan ekonomi global. Berbagai aturan harus bisa segera beradaptasi dan mengantisipasi perkembangan ini atau akan terus tertinggal. Kecepatan perkembagan digital dan telekomunikasi dan dampak yang diakibatkan begitu cepat, meluas dan mendalam. Melanjutkan situasi sebelum pandemi, pertarungan teknologi dan penguasaan digital antara AS dan RRC akan menjadi warna penting dalam pertarungan digital secara global.
AS sebagai negara pioner dalam teknologi digital jelas akan mengandalkan Intellectual Property Rights (IPR) sebagai salah satu ‘senjata’. Sementara RRC dengan kekuatan data sebagai konsekuansi populasi mereka yang besar akan menjadi andalan penting. Pertarungan dan perlombaan teknologi baru sendiri seperti 5G telah semakin sengit, mengingat China telah menunjukan agresifitasnya dalam pengembangan teknologi ini dibanyak negara, bahkan hingga ke Eropa. Perluasan jaringan koneksi dan infrastuktur berbasis teknologi China telah menyebar cepat dan meluas.
Salah satu ‘perlombaan’ penting dalam dunia digital adalah penguasaan data. Penguasaan data adalah penguasaan atas banyak hal melingkupi begitu banyak bidang dan sektor kehidupan, dan tidak hanya terkait ekonomi semata. Melalui perkembangan teknologi, seperti Artificial Intelligence atau AI dan Big Data, tidak ada lagi data yang tidak berarti. Semua data bisa menjadi penting dan berharga. Penguasaan terhadap data berarti juga penguasaan terhadap pengetahuan, penguasaan pengembangan berbagai bidang, penguasaan pasar, penguasaan kebijakan dan seterusnya.
Penguasaan data dilakukan dengan pengumpulan data melalui semua piranti dan aplikasi yang dimungkinkan. Pengumpulan data yang dilakukan melalui jaringan, infrastruktur digital dan telekomunikasi menjadi sangat penting dan strategis. Pertarungan tidak hanya sebatas kompetisi terhadap produk dan penguasaan market ITC (Information Telecommunication Technology) tetapi juga melibatkan seluas mana terjadinya pengumpulan dan penguasaan atas data.
Belum adanya aturan yang mengontrol pengumpulan, penguasaan dan pemanfaatan data menciptakan ruang yang sangat luas bagi perusahaan-perusahaan besar digital dan telekomunikasi atau Big Tech melakukan penguasaan pasar dan penguasaan data dibaliknya. Termasuk juga konsekuensi langsung maupun tidak langsung yang ditimbulkan atas kontrol data tersebut. Sokongan kapital dibalik perusahaan Big Tech membuat mereka semakin kuat dalam menguasai dan memonopoli ruang digital dan telekomunikasi.
Liberalisasi transmisi elektronik dan digital menjadi landasan yang dibangun dalam perkembangan global. Kebebasan melakukan transmisi lintas negara dan wilayah menjadi syarat yang dipersyaratkan. Kebebasan tidak terikat pada aturan lokal atau negara atas fasilitas digital menjadi model yang harus dilakukan setiap negara. Kebebasan atas penguasaan source code aplikasi digital menjadi ‘hak’ yang tidak boleh diganggu. Pembebasan pajak dan bea cukai atas transmisi elektronik dan barang digital menjadi model yang terus dijaga secara global.
Hal-hal tersebut setidaknya menjadi bingkai bagaimana Big Tech, negara maju, penguasa teknologi komunikasi dan digital selama ini telah memanfaatkan data yang terkumpul. Bagaimana aturan yang sangat longgar tersebut telah menjadi surga dalam mendapatkan manfaat seluasnya dari data. Walaupun pada kenyataannya, pemanfaatan tersebut tidak sebesar saat ini tetapi dari waktu ke waktu pemafaatan data terus semakin besar dan meluas secara eksponensial.
Terdapat setidaknya dua fenomena yang patur dicatat dalam perkembangan digital dan telekomunikasi, khususnya terkait dengan pemanfaatan AI. Pertama, masuknya sebuah negara berkembang, China, sebagai ‘pemain’ penting dalam perkembangan global telekomunikasi dan digital ini. Membanjirnya produk China telah memberikan telah membuat situasi yang me‘manja’ kan yang sebelumnya dinikmati negara-negara maju menjadi terusik. Reaksi menuntut perubahan aturan atau pembuatan aturan baru terlihat sepabagi upaya mengembalikan situasi bagi ‘para pemain lama’ dengan sokongan kekuatan kapital dibelakangnya.
Kedua, lahirnya aturan GDPR (General Data Proctection Regulation) pada tahun 2018 di Eropa. Skandal Snowden telah menunjukan bagaimana perusahaan penyedia jasa layanan digital melalui aplikasi dan peralatan elektroniknya menjadi alat pengumpulan data bagi berbagai kebutuhan dan tidak semata dalam rangka kebutuhan bisnis, bahkan bagi kebutuhan inteligen negara seperti AS. Hadirnya GDPR banyak sedikitnya telah mempegaruhi ‘surga pengumpulan data’ menjadi terusik. Akses pengumpulan data bagi perusahaan Big Tech menjadi semakin terbatas, setidaknya di Eropa. Dampak yang kelihatannya juga mempengaruhi pegembangan AI bagi negara-negara Eropa.
Menyadari AI akan memiliki peran penting dalam perkembangan digital dan telekomunikasi, kedua fenomena diatas telah menciptakan komposisi peta persaingan global dalam dunia digital. Walaupun AS masih mendominasi penguasaan teknologi, tetapi RRC telah menunjukan kemajuan dan kemampuan yang sangat kompetitif, bahkan keunggulan pada beberapa bagian dalam dunia digital. Eropa sebaliknya menjadi sedikit tertinggal dalam ‘perlombaan’ ini.
Pada negara-negara berkembang digitalisasi menjadi harapan baru bagi peningkatan potensi ekonomi mereka serta solusi bagi berbagai penyediaan fasilitas kebutuhan layanan. Layanan pendidikan, kesehatan, layanan sosial dan lainnya menjadi lebih mungkin tersedia dalam waktu yang relatif lebih singkat. Bagi miliaran orang dan usaha mikro, kecil dan menengah, menjadi kesempatan membuka pasar maupun kapasitas bagi produksi mereka. Penyediaan infrastruktur telekomunikasi dan digital menjadi kebutuhan penting bagi pemenuhan harapan-harapan tersebut. Peran digital dan tidak terbatas pada persoalan ekonomi, semakin kuat memperlihatkan peran pentingnya dalam model perubahan global yang akan terjadi.
Covid-19 yang terjadi pada situasi memasuki krisis global telah memaksa perubahan menjadi begitu dramatis. Krisis ‘kilat’ yang tidak terelakan telah terjadi hampir pada seluruh negara dan memaksa untuk masuk dalam ‘iklim baru’ secara global. Komposisi kekuatan ekonomi global terdorong menghadapi dinamika baru dengan tuntutan perubahan ‘aturan main’. Trump setidaknya telah memperlihatkan tuntutan tersebut secara lugas baik dalam sikapnya maupun tuntutannya terhadap lembaga-lembaga internasional atas perubahan aturan global. Tuntutan perubahan yang signifikan atas apa yang telah dibangun sejak akhir Perang Dunia Kedua. ****
Sekretariat IGJ
Website: www.igj.or.id
Email: keadilan.global@gmail.com / igj@igj.or..id