Oleh Rinda Amalia., SH., MH
Laporan dari United Kingdom, 18 Agustus 2020.
Setelah penandatangan Indonesia/UK Joint Trade Review putaran kedua dengan International Trade UK dan Kementrian Perdagangan Indonesia pada 20-21 Juli 2020, yang didelegasikan oleh Direktorat Hubungan Perjanjian Perdagangan Bilateral Cathryn Law dan HM Komisioner Perdagangan untuk Asia Pasifik Natalie Black. Dimana dalam muatan penandatangan tersebut disebutkan alasan utamanya berkaitan dengan masalah bersama yang tidak terduga yakni Covid-19, serta untuk memperbaiki keadaan ekonomi kedua negara terutama di sektor perdagangan dan investasi[1].
Yang patut menjadi perhatian adalah ketika dalam situasi pandemi ini, kedua pihak UK dan Indonesia tetap melaksanakan perundingan perjanjian, yang berarti, posisi Indonesia dianggap cukup penting dalam peta perdagangan internasional di UK. Berdasar dari siaran resmi pemerintah UK di Gov. UK, pada tahun 2019, total perdagangan barang dan jasa antara UK dan ASEAN adalah £41.7bn, merupakan yang tertinggi selama 10 tahun. Sedangkan total perdagangan UK dengan Indonesia sendiri bernilai sekitar £2.9bn pada tahun 2019.
Posisi Indonesia dinilai sangat prestisius oleh Her Majesty’s Komisioner Perdagangan Asia Pasifik, Natalie Black CBE dengan berkata “saya sangat senang dengan Diskusi review perdagangan UK-Indonesia yang berkembangan dengan baik. Indonesia adalah patner kunci UK dan kita sangat berkeinginan kuat untuk melakukan lanjutan pembicaraan perdagangan bilateral perdagangan dan investasi yang akan dilaksanakan di berbagai sektor kunci, termasuk didalamnya jasa profesional, farmasi, energi, pendidikan dan teknologi”. Selanjutnya, dia juga mengungkapkan jika “kita akan melihat lebih dekat kolaborasi antara dua negara ini dan bekerja sama untuk membentuk kerjasama yang dinamik antara UK dengan ASEAN dan Kawasan Asia Tenggara”.
Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, anggota dari G20 dan salah satu negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN. Dan juga merupakan negara ke 4 (empat) dengan jumlah penduduk di dunia dan akan diprediksi akan menjadi 5 (lima) terbesar ekonomi dunia pada tahun 2050.
Peta Perdagangan Indonesia – UK
Dikutip dari Embassy of The Republic of Indonesia in London[2], kerjasama UK dan Indonesia tidak hanya pada bidang perdagangan dan investasi saja tapi juga dalam pembahasan forum kajian. Dalam bidang perdagangan dua arah, tercatat UK adalah 5 besar partner perdagangan asing dengan pencatatan perdagangan[3] pada tahun 2015: US$2.34 billion, 2014: US$ 2.55 billion, 2013: US$ 2.72 billion. Untuk investasi yang dilakukan di Indonesia, UK merupakan 10 besar partner investasi asing untuk Indonesia dengan pencatatan sebagai berikut 2015: US$ 503.22 million (267 projects), 2014: US$ 1.59 billion (182 project), 2013: US$ 1.08 billion (231 project). Sedangkan untuk projek forum kajian UK dan Indonesia membahas mengenai hal-hal seperti dibawah ini:
- Partnership Forum;
- Annual Trade Talks;
- Energy Dialogue;
- Joint Working Group on Education;
- Joint Working Group on Creative Industries;
- Navy to Navy Strategic Meeting
Hal ini pun dipertegas kembali pada acara yang diselenggarakan oleh British Foreign Policy Group[4] dan Kedutaan Besar Republik Indonesia yang diselenggarakan pada 9 Juli 2019. Yang diselenggarakan untuk memperingati 70 tahun hubungan diplomatik antara kedua negara. Seminar ini diberi tajuk “The Future of Indonesia-UK Relations Post Brexit” dibuka oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk UK H.E Dr. Rizal Sukma dan dihadiri oleh Dr. Champa Patel Ketua Program Asia Pacific, H.E Dr. Dino Patti Djalal Ketua Komunitas Pembuat Kebijakan di Indonesia, Richard Graham MP Ketua APPG di Indonesia, Martin Hatfull Ketua Masyarakat Anglo-Indonesia dan Mantan Duta Besar untuk Indonesia, Orlando Edward Manager Regional Tim Global Network British Council.
Pada pertemuan ini ada beberapa hal penting yang dibahas, pertama adalah mengenai China dan Hubungan Geopolitical. Richard Graham MP mengatakan untuk menaikan hubungan dengan China sebagai hal yang akan menguntungkan bagi dua negara. Dr. Dino Patti Djalal mencatat perdagangan Indonesia dan China perlahan-lahan naik dan diharapkan akan menyentuh $1000 billion untuk tahun depan, semenetara perdagangan dengan US menurun, paling baru hanya bernilai sekitar $16 billion. Martin Hatfull mencatat bahwa ini akan hal susah antara UK dan Indonesia untuk fokus pada hubungan pada hubungan bilateral karena UK sedang sibuk dengan Brexit dan Indonesia sedang memfokuskan diri dengan ASEAN.
Kedua adalah mengenai pendidikan. Orlando Edwards memberikan penjelasan yang menarik tentang bagaimana hubungan Indonesia-UK dapat ditingkatkan melalui pendidikan. Dia menguraikan peluang untuk terlibat dengan Indonesia melalui program pendidikan transnasional, seperti pengajaran program universitas UK di Indonesia, atau program yang dibagi antara Indonesia dan UK. Ia juga menyoroti karya British Council dalam memajukan sektor budaya di Indonesia, dengan festival seni penyandang disabilitas di Indonesia yang baru-baru ini digelar, yang kini telah menjadi acara tahunan. Di UK, budaya Indonesia dipromosikan melalui acara-acara di antaranya London Book Fair. Richard Graham juga menekankan perlunya memperkuat hubungan orang-orang antara kedua negara. Dia mengatakan ada kebutuhan untuk memindahkan kesadaran individu tentang bangsa lain di luar pariwisata, ke pengalaman sekolah dan universitas. Martin Hatfull menambahkan bahwa ada kebutuhan untuk menarik lebih banyak pelajar UK yang tertarik untuk belajar di Indonesia, karena telah terjadi peningkatan pelajar Indonesia yang belajar di UK, yang belum tertandingi dengan cara lain. Dr Djalal menggemakan hal ini dan menambahkan bahwa kesulitannya terletak pada sistem visa Indonesia untuk pelajar, karena negara ini tidak terlalu terbuka untuk pelajar asing yang ingin belajar atau meneliti di Indonesia. Ia juga mencatat bahwa saat ini hanya ada sekitar 5.000 pelajar Indonesia di UK, jauh lebih banyak yang belajar di Australia. Keterbukaan pendidikan akan menjadi kunci untuk memperkuat hubungan kedua negara.
Ketiga adalah mengenai perdagangan. Martin Hatfull mengatakan bahwa rekam jejak UK dalam mengidentifikasi sektor-sektor yang akan diprioritaskan dalam hal ekspor dan investasi tidak bagus, dan bahwa negara tersebut harus mengambil pandangan jangka panjang. Ia mengatakan bahwa bisa dibentuk satgas gabungan untuk melihat bagaimana kedua negara dapat memanfaatkan hubungan perdagangan secara maksimal, dengan Indonesia memprioritaskan infrastruktur, dan sumber daya manusia UK. Dr Djalal mencatat bahwa cara yang baik untuk membangun hubungan ekonomi adalah melalui berbagi teknologi dan inovasi dari UK ke Indonesia. Dia menambahkan bahwa batu sandungan utama untuk meningkatkan hubungan perdagangan adalah masalah visa – biaya visa untuk keluarganya yang beranggotakan lima orang untuk pergi ke UK lebih dari setengah biaya tiketnya. Martin Hatfull setuju bahwa masalah visa adalah kunci perdagangan juga.
Dalam membangun hubungan perdagangan UK-Indonesia, pembicara menekankan pentingnya menjaga kepedulian terhadap lingkungan. Richard Graham MP menyoroti perubahan iklim sebagai masalah yang semakin penting bagi Indonesia dan UK. Martin Hatful mengatakan mengoordinasikan agenda iklim bisa menjadi ‘kemenangan cepat’ untuk memperkuat hubungan. Mengenai topik minyak sawit, Dr Djalal memberikan penjelasan tentang perubahan radikal posisi Indonesia terhadap minyak sawit sejak tahun 1970-an, dari salah satu tingkat deforestasi terburuk di dunia, hingga bekerja dengan komunitas internasional untuk mendorong disiplin perusahaan dalam masalah ini. .
Peta GeoPolitik dan Ekonomi UK untuk Indonesia setelah Brexit
Makna dari kebijakan politik luar negeri sering digunakan berkaitan dengan diplomasi, tetapi sebenarnya ini mencakup semua yang dilakukan pemerintah di luar negeri untuk mengamankan keamanan nasional, kemakmuran dan pengaruh serta kepercayaan dunia luar terhadap negara itu sendiri[5]. Begitu pula yang dilakukan oleh Indonesia dan UK. Tentu menjadi hal yang masuk akal jika kedua belah pihak saling berdiplomasi dan bernegosiasi untuk mendapatkan hal yang terbaik bagi negaranya masing-masing, hanya kini tinggal seberapa kuat posisi negara tersebut, bagaimana daya tarik dan tawar dari masing-masing negara.
Brexit merupakan gabungan dari kata British dan Exit yang mengacu pada makna pengunduran diri UK dari Uni Eropa. Setelah referendum yang diadakan pada Juni 2016 oleh David Cameron 51,9% dari masyarakat UK memilih untuk keluar dari UE. Referendum ini merupakan referendum kedua UK selama pemerintahan David CAmeron. Kemudian Negosiasi terus berlangsung sejak tahun 2018 sampai tahun 2019 untuk membahas hal-hal teknis yang perlu diselesaikan. Pada bulan Maret 2019, Parlemen UK meminta pemerintah untuk mengundurkan tanggal Brexit ke bulan April, lalu ke bulan Oktober, karena Parlemen menimbang kesiapan pemerintah sangat minim untuk melakukan Brexit ini. Pada bulan Juli 2019, karena usulannya terus menerus ditolak, Theresa May mengundurkan diri, digantikan dengan Boris Johnson, yang juga merupakan salah satu pendukung terkuat Brexit sejak masa-masa awal.
Pada bulan 31 Oktober 2019, akhirnya tercapai kesepakatan untuk satu bagian penting daripada Brexit, namun dengan alasan untuk mempelajarinya lebih lanjut, kembali Parlemen UK menolak untuk melakukan ratifikasi, sehingga kembali melewati batas Oktober yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun pada bulan Desember 2019, pada saat pemilihan umum kembali digelar di UK, partai Konservatif pendukung pemerintah mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari rakyat, sehingga menguasai kembali Parlemen UK, yang sangat memuluskan Boris Johnson untuk segera keluar dari Uni Eropa. Tanggal 31 Januari 2020 merupakan tanggal dimana UK secara resmi akan keluar dari Uni Eropa. Dalam hal negosiasi, begitu banyak hal yang belum disepakati namun melalui suatu voting di Parlemen Uni Eropa pada 29 Januari, disepakati bahwa akan ada masa transisi dimana seluruh peraturan yang lama masih akan tetap berlaku sementara negosiasi terus berlangsung, dan diperkirakan periode transisi ini akan berlanjut sampai akhir tahun pada 31 Desember 2020. Sebelumnya, pada 23 Januari, Parlemen UK yang kini dikuasai oleh pendukung pemerintah dan Boris Johnson telah meratifikasi perjanjian pengunduran diri tersebut[6].
Pertumbuhan ekonomi untuk UK
Pertumbuhan UK telah dipangkas oleh Bank of England (BOE) pada tanggal 30 Januari 2020 dari 1,2% menjadi 0,8%. Pemangkasan ini terjadi dikarenakan faktor ketidakpastian perkembangan dagang pasca terlaksananya Brexit. Laju pertumbuhan ekonomi UK sendiri sejak referendum Brexit sampai ke akhir 2019 cenderung menurun dari sekitar 2% menjadi 1,1% yoy pada kuartal ketiga di tahun 2019.
Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi kerajaan dilaporkan bertambah menyusut 0,3% pada November 2019. Indeks manufaktur turun 1,7% pada November, sedangkan indeks jasa, yang menyumbang terhadap 80% ekonomi, telah turun 0,3%. Investasi bisnis juga telah menurun sejak kuartal ketiga 2017, sampai setidaknya pertengahan tahun 2019. Sementara itu, kinerja produktivitas dilaporkan berada pada titik terlemahnya sepanjang sejarah sampai kuartal ketiga tahun lalu. Uraian komprehensif dan data di atas menunjukkan merosotnya kinerja ekonomi UK menjelang Brexit dan cenderung suramnya prospek pasca Brexit. Efek dominonya akan terasa pada ekonomi zona Eropa yang sedang berjuang menghadapi tekanan resesi kawasan. Dan ketika ekonomi China sedang semakin meredup diserang wabah virus corona, maka pelemahan ekonomi pada ketiga lokasi keuangan utama dunia ini akan berdampak juga pada ekonomi global yang diwarnai ketidakpastian. Nampaknya ini menambah ketidakstabilan global yang menghadang di tahun 2020, ditambah dengan isu wabah virus serta tensi geopolitik Timur Tengah. Bagi Indonesia, ini merupakan tantangan eksternal yang semakin berat bagi pertumbuhan ekonomi. Sedangkan, Fitch Ratings sebagai lembaga pemeringkat internasional baru-baru ini mempertahankan peringkat Indonesia di pada level BBB/outlook stabil (Investment Grade), antara lain karena ekonomi Indonesia diakui resilient atau berdaya tahan di tengah dinamika perekonomian global. Ekonomi Indonesia diakui akan tetap resilien, atau berdaya tahan, kedepannya, didukung program infrastruktur dan reformasi pemerintahan Presiden Jokowi[7].
Nah kemudian pertanyaannya adalah, dengan posisi Geopolitik dan ekonomi UK pasca Brexit yang masih seperti menerka-nerka ditambah dengan suasana pandemi covid ini, mengapa kedua negara ini tetap melaksanakan Joint Trade Review? Apakah ini akan lebih menguntukan Indonesia? atau UK terhadap Indonesia sebagai ladang mencari keuntungan baru? Apakah dimungkinkan dalam perjanjian bilateral bisa mendapatkan win-win solution bagi para pihak? Kenyataan selama ini bilateral trade agreement cenderung lebih ketat dan tidak menguntungkan bagi negara yang memiliki posisi tawar lebih lemah. Apalagi sifat dari perjanjian tipe ini biasanya sangat tertutup yang memang ditujukan untuk menghindari diskusi publik yang ditakutkan akan menyebabkan gagalnya agenda terselubung dari perjanjian itu sendiri. Untuk itu diperlukan kejelian dalam melihat apa maksud terselubung dari UK dalam perjanjian ini.
[1] Diambil dari www.gov.uk, diakses tanggal 18 Agustus 2020
[2] Embassy of The Republic of Indonesia in London, The United Kingdom Accredited to Republic of Ireland and IMO., Indonesia-UK Relations., www.kemlu.go.id., diunduh pada 26 September 2020
[3] ibid
[4] British Foreign Policy Group., The Future of Indonesia – UK Relations Post Brexit., https://bf[g.co.uk., diunduh pada 26 September 2020
[5] Diambil dari Britsh Global Review www.csis.org tanggal 18 Agustus 2020
[6] Daniel Sumbayak., Brexit: UK Resmi Keluar Uni Eropa, Masalah Selanjutnya?., www.vibiznew.com., diunduh tanggal 26 September 2020
[7] ibid