Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) resmi disahkan dalam Rapat Paripurna ke-tujuh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 2020 dan ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 2 November 2020 sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. UU CK merubah banyak materi pasal dari sejumlah Undang-Undang lintas- sektoral yang diantaranya juga mencakup sektor terkait ketenagakerjaan, pertanahan, perkebunan, pertanian, nelayan, pendidikan dan UMKM. Perubahan dan termasuk juga penambahan dan penghapusan atas pasal-pasal pada sejumlah Undang-undang asal untuk selanjutnya dikemas dalam satu materi Undang-Undang “spesial” bertajuk Cipta Kerja tersebut tak pelak dapat memantik masalah yang serius, mengingat perubahan-perubahan materi tersebut serta merta mempengaruhi muatan, landasan filosofis dan arah dari kebijakan dalam sektor-sektor terkait. Upaya pemerintah untuk mengintegrasikan sistem pertanian, perkebunan, perikanan, pangan, pertanahan, air hingga pendidikan ke dalam sistem pasar yang longgar dan sangat kental nuansa bisnis dan investasi sebagaimana dalam UU CK dikhawatirkan justru berdampak menghambat pemajuan sektor-sektor tersebut selaras dengan cita-cita pembangunan nasional yang didasarkan pada mandat UUD 1945, dan sebaliknya dapat semakin memundurkan semangat kedaulatan serta terlindunginya hak-hak warga negara di dalamnya.
UU Cipta Kerja merupakan produk yang dipaksa disahkan sehingga melanggar tata peraturan perundang-undangan yang ada. Bahkan Pemerintah Indonesia meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk segera melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dalam prolegnas prioritas tahunan. Latar belakang yang membuat pemerintah meminta hal tersebut dikarenakan adanya desakan dari World Trade Organization (WTO) untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya surat dari Pemerintah Indonesia yang dicatat di WTO dengan nomor WT/DS477/21/Add.13, WT/DS478/21/Add.13 pada 18 Februari 2020 yang pada pokoknya akan mengubah 4 (empat) Undang-Undang Nasional melalui Undang-Undang Cipta Kerja agar sesuai dengan ketentuan World Trade Organization (WTO). Empat Undang-Undang itu diantaranya: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan hewan.
Selain mengandung banyak masalah pada aspek materiil, bagi ormas-ormas tani, nelayan, pegiat pendidikan serta elemen masyarakat sipil lain yang aktif memperjuangkan hak-hak konstitusional, bahwa UU CK tidak cukup memiliki landasan hukum yang kuat karena tidak memenuhi syarat-syarat tahapan berdasarkan pembentukan peraturan perundangan. Dengan kata lain UU CK adalah inskonstitusional karena tidak memiliki dasar pembentukan hukum yang layak dan memadai dalam proses pembentukannya. Diantara penyimpangan yang nampak dalam proses pembentukan UU CK tersebut adalah tidak tercerminkannya keterbukaan dan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan. Bahkan praktik buruk proses legislasi Undang-Undang ini tidak berhenti pada saat disahkan oleh DPR RI saja, namun pasca diundangkan juga masih mengandung kesalahan perumusan yang berdampak pada substansi pasal yang dikandungnya. Keadaan cacat formil yang melekat pada UU CK tersebut tak pelak dapat melahirkan rantai ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraannya.
Penolakan terhadap UU CK sedari awal sudah dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk diantaranya kalangan petani, pekebun dan nelayan kecil yang tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya, padahal substansi dalam pasal-pasal tersebut juga sangat berkait erat dan dapat menimbulkan dampak sistemik bagi sektor dimana mereka bekerja dan menggantungkan masa depannya. Merespon hal itu, Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) menyatakan pandangan sebagai berikut:
1. Pilihan hukum yang ada untuk membatalkan UU CK dilakukan melalui dua mekanisme, yaitu: Pertama, meminta presiden menggeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu); dan Kedua, melalui permohonan pengujian formil dan pengujian materiil UU CK kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pilihan hukum tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda, terutama dalam menempatkan peran masyarakat sipil untuk mengawal setiap proses dan mempertahankan hak konstitusional rakyat dalam pembentukan hukum.
2. Dinamika saat ini, pilihan dikeluarkannya Perppu masih sangat bergantung pada keputusan Presiden. Peran masyarakat sipil dalam proses ini pun terbatas dalam menawarkan opini semata. Di sisi lain, Konstitusi dan UU Mahkamah Konstitusi memberikan ruang kepada Warga Negara untuk menuntut dan memperjuangkan hak- hak konstitusionalnya, melalui pengujian formil dan pengujian materiil kepada MK. Pilihan ini sekaligus mengantisipasi tidak dikeluarkannya Perppu oleh Presiden. Pengujian formil terhadap UU CK menjadi relevan dan sangat urgen dilakukan saat ini mengingat hanya diberikan waktu maksimal dimohonkan 45 hari sejak dicatatkan dalam Lembaran Negara.
3. Urgensi pengujian formil tidak sekedar untuk menjegal UU CK, lebih dari itu adalah untuk mengawal independensi MK sebagai Pengawal Konstitusi dalam pelaksanaan dan mengeksekusi putusan, mempertahankan tafsir MK terkait hak-hak konsitusional dalam berbagai Putusan MK yang berlaku final and binding.
4. UU CK sesungguhnya tidak benar-benar bermaksud “cipta kerja” bagi petani dan nelayan kecil, melainkan merombak UU terkait petani dan nelayan tanpa partisipasi dari petani dan nelayan, yang selanjutnya berdampak buruk bagi perlindungan atas hak-hak petani dan nelayan kecil, terbengkalainya cita-cita reforma agraria, tersanderanya kedaulatan pangan, melemahnya sistem perkebunan berkelanjutan, dan juga sistem pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan UU CK bersifat diskriminatif sejak proses perencanaan, penyusunan, dan pembahasannya.
5. Pengundangan dan pemberlakuan UU CK yang jika terbukti cacat secara formil akan menjadi tidak layak dilakukan oleh negara yang menjunjung tinggi hukum dan konstitusi. Jika tidak maka kasus malfungsi pembentukan hukum akan memiliki presedennya di masa-masa yang akan datang sehingga dapat menjadi peluang bagi terjadinya dekonstruksi yang lebih luas dalam sistem hukum dan perundangan nasional.
6. Dengan tujuan pembelaan terhadap hak-hak konstitusional rakyat Indonesia, Komite Pembela Hak Konstitusional mengambil sikap yang pada pokoknya mempertahankan hak-hak konstitusional yang dirugikan atas proses pembentukan UU CK dengan melakukan pengujian formil atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di atas pilihan lain melalui proses legislasi dan regulasi.
Jakarta, 19 November 2020
Hormat Kami,
Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL)
Komite Pembela Hak Konstitusional terdiri dari organisasi/lembaga:
1. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
2. Serikat Petani Indonesia (SPI)
3. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
4. Yayasan Bina Desa
5. Sawit Watch (SW)
6. Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
7. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
8. Indonesia for Global Justice (IGJ)
9. Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
10. Field Indonesia
11. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
12. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)
13. Aliansi Organis Indonesia (AOI)
14. Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (Jamtani)
15. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)
Narahubung (Contact Person) :
1. Lodji (Yayasan Bina Desa) – 081290767747
2. Gunawan (IHCS) – 081584745469
3. Ruli (SPI) – 081276169187
4. Rizka (KRKP) – 081397270241
Download: