Rilis Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (Koalisi MKE)
Jakarta, 24 Februari 2021. RCEP atau Regional Comprehensive Economic Partnership telah ditandatangani oleh Indonesia, negara-negara anggota ASEAN, dan enam negara RCEP diantaranya Jepang, Korea Selatan, China, Australia serta Selandia Baru, pada 15 November2020 lalu.
Selama ini, proses perundingan berjalan secara tertutup dan tidak ada satu pun teks RCEP yang dibuka kepada publik. Kelompok ma syarakat sipil untuk Keadilan Ekonomi secara konsisten terus mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk secara hati-hati mengikatkan komitmen Indonesia di berbagai perjanjian pasar bebas yang memiliki konsekuensi hukum dan inkonsistensi terhadap Konstitusi Indonesia.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 tentang UU No. 24 Tahun 2000, yang dimenangkan oleh Koalisi untuk Keadilan Ekonomi, telah menegaskan bahwa Perjanjian internasional yang penting harus dengan persetujuan DPR tidak dapat dibatasi, tetapi harus dinilai secara kasuistis sesuai dengan kategori yang terdapat dalam pasal 11 ayat (2) UUD 1945, yakni menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang- undang.
Untuk itu, sebelum Perjanjian RCEP diratifikasi, maka sesuai dengan Konstitusi seluruh komitmen liberalisasi yang diikatkan oleh Pemerintah ke dalam Perjanjian RCEP harus dianalisis dampaknya sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UUD RI 1945 dan dilakukan secara demokratis. Hal ini harus menjadi dasar pertimbangan DPR RI dalam menyetujui atau tidak menyetujui ratifikasi Perjanjian RCEP. Tegas Rachmi.
Catatan Kritis Kelompok masyarakat Sipil Atas Bab Investasi
RCEP memang telah ditandatangani, namun banyak pertanyaan yang perlu dijelaskan oleh pemerintah secara terbuka. Karena perjanjian ini akan mengikat seluruh warga negara, akan mengubah peraturan, akan mengurangi ruang kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah saat ini dan masa depan, demikian kata Peneliti Third World Network (TWN), Lutfiyah Hanim.
Untuk bab investasi misalnya, selama ini Indonesia sudah meratifikasi banyak perjanjian investasi baik perjanjian investasi bilateral, perjanjian dagang bilateral (FTA-free trade agreement) yang memuat bab investasi, yang mengklaim akan meningkatkan investasi asing ke Indonesia. Apakah pemerintah pernah mengevaluasi traktat-traktat investasi tersebut dan bab investasi dalam FTA yang ada sebelumnya? Bagaimana pemerintah mengetahui bahwa RCEP terutama bab investasi akan lebih menguntungkan, mendatangkan investor asing daripada perjanjian-perjanjian sebelumnya? Dalam hal ini pemerintah perlu mengevaluasi dan mempublikasikan hasilnya secara terbuka, demikian kata Hanim.
(Sebagai informasi, pemerintah telah menandatangani puluhan traktat/perjanjian investasi bilateral, dan FTA yang telah diratifikasi dan memuat bab investasi, seperti FTA Australia Indonesia (2019), Asean China Investment agreement (2009), ASEAN – Korea Investment Agreement (2009) ASEAN-Korea Investment Agreement (2009), ASEAN Comprehensive Investment Agreement (2009), EPA (Economic Partnership Agreement) ASEAN Jepang, EPA Indonesia Jepang).
Sementara itu, Rahmat Maulana Sidik, Koordinator Riset dan Advokasi IGJ berpandangan dengan banyaknya perjanjian yang telah ditandatangani Indonesia, akan memungkinkan investor asing melakukan ‘treaty shopping’ dimana investor asing akan memanfaatkan perjanjian- perjanjian tersebut untuk menggugat pemerintah Indonesia di arbitrase internasional.
Kewajiban regulatory reform dalam perjanjian RCEP telah menuntut Pemerintah Indonesia untuk secara konsisten tidak melakukan perubahan kebijakan pemerintah ke arah yang lebih restriktif dan diskriminatif bagi investor asing. Segala bentuk fasilitasi dan perlindungan harus tetap diutamakan. Namun, disisi yang lain, potensi perlakuan diskriminatif terhadap kelompok buruh, petani, nelayan, masyarakat adat yang menjadi korban dari kegiatan investasi menjadi semakin menguat, khususnya ketika negara dihadap-hadapkan secara langsung dengan ancaman gugatan investor ke arbitrase internasional.
Maulana juga menegaskan bahwa aturan tentang perlindungan investasi, khususnya yang memberikan perlakuan khusus kepada investor asing, masih tetap akan membuka peluang bagi Indonesia untuk bisa digugat dengan mekanisme sengketa ISDS yang akan berlaku nantinya. Walaupun, pengecualian telah dibuat dalam Perjanjian RCEP, tetap Indonesia tidak bisa terlepas dari potensi gugatan investor asing. Tegas Maulana.
Lebih lanjut, kelompok masyarakat sipil juga merisaukan mekanisme Ratchet dan standstill. Mekanisme ini mengikatkan level liberalisasi dan pembukaan pasar sehingga Pemerintah tidak bisa mundur dari komitmen liberalisasi yang telah diikatkan dalam Perjanjian RCEP. Kartini Samon, dari Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi menyebutkan dengan mekanisme Ratchet dan standstill, artinya, tidak dimungkinkan adanya perubahan regulasi nasional yang memberikan kemudahan fasilitasi dan perlindungan investasi jika telah dikomitmenkan oleh Pemerintah Indonesia. Terlebih dengan pengesahan UU Cipta Kerja yang meningkatkan liberalisasi di seluruh sektor di Indonesia, seperti menghapuskan izin lokasi serta memungkinkan perpanjangan HGU dan HGB di muka yang mempermudah korporasi dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat. Melalui mekanisme ratchet dan standstill dalam RCEP pemerintah Indonesia tidak dimungkinkan memberikan perlindungan bagi lahan pertanian atau tanah masyarakat adat di masa yang akan datang, menyebabkan semakin rentannya terhadap perampasan tanah dan ruang dari proyek-proyek ekstraksi skala luas,” papar Kartini.
Bahkan, aturan bab Investasi tidak mencerminkan adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia dari kegiatan bisnis korporasi. Hal ini karena, bab investasi di dalam Perjanjian RCEP akan memberikan banyak perlakuan istimewa kepada investor ketimbang masyarakat. Tidak ada mekanisme komplain yang mengikat untuk bisa meminta pertanggungjawaban korporasi atas konflik yang muncul dari aktivitas bisnis dan ekonomi yang muncul dari pelaksanaan liberalisasi investasi tersebut. Kata Sigit Karyadi Budiono dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA).
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Nibras Fadlillah juga mengungkapkan bahwa acuan pemerintah Indonesia dalam mengikatkan komitmen liberalisasi investasi dalam Perjanjian RCEP juga tidak bisa dilepaskan dari pengesahan UU Cipta kerja yang sangat kontroversial, dan diyakini telah menurunkan standar perlindungan hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan. Tentu, dampak Perjanjian RCEP akan secara nyata berpotensi merugikan masyarakat, termasuk berpotensi melanggar Konstitusi. Ungkap Nibras.
Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi tetap mendesak kepada DPR RI untuk tidak memberikan persetujuan meratifikasi Perjanjian RCEP tanpa adanya jaminan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Konstitusi. Termasuk, DPR RI wajib melakukan analisis dampak secara komprehensif terhadap teks perjanjian RCEP yang ada saat ini. Melibatkan publik luas dalam proses pengambilan keputusan tentang Perjanjian RCEP harus dilakukan sebagai bentuk berjalannya sistem demokrasi di Indonesia secara sejati.
***
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi:
Indonesia for Global Justice (IGJ), Serikat Petani Indonesia (SPI), GRAIN, Solidaritas Perempuan, Indonesia Aids Coalition (IAC), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Narahubung:
Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif IGJ, +62 817-4985-180
Kartini Samon, Peneliti GRAIN, +62 813-1476-1305
Nibras Fadlillah, KIARA, +62 822-2658-3640
Sigit Karyadi Budiono, KRuHA, +62 813-1883-5393
Download>>>