Artikel Monitoring
Setahun setelah Organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan virus corona sebagai public health emergency of international concern (PHEIC), Penanganan Pandemi COVID-19 di seluruh dunia terutama di negara-negara berkembang masih mengalami keterhambatan akses pada peralatan medis seperti diagnostik, alat pelindung diri, obat-obatan hingga vaksin. Hal ini dikarenakan keterbatasan industri dan inovasi di negara berkembang dan didorong oleh pengaturan monopoli paten pada pengetahuan seputar industri kesehatan.
Peluang untuk memberikan akses yang lebih luas pada vaksin dan alat kesehatan terkait COVID-19 hadir saat India dan Afrika Selatan mengajukan Proposal Pengabaian Aturan TRIPS (TRIPS Waiver) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Melalui TRIPS Waiver, negara dapat memilih untuk menegakkan atau tidak menegakkan aturan paten pada alat kebutuhan terkait penanganan pandemi COVID-19 setidaknya sampai imunitas global tercapai. Pengesampingan ini merupakan langkah penting dalam menghilangkan hambatan kekayaan intelektual yang akan memungkinkan produk-produk terkait penanganan pandemi dapat tersedia dengan akses yang lebih luas dan terjangkau.
Proposal yang diajukan pada Oktober 2020 ini telah mencapai kemajuan yang pesat. Hingga Sidang TRIPS Council pada 10-12 Maret lalu, Proposal ini telah mencapai dukungan lebih dari dua pertiga anggota WTO. Pada TRIPS Council 10 Maret lalu, Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, Jepang, Kanada, Swiss, Brasil, dan Norwegia tetap berpegang untuk menolak diskusi berbasis teks. Lisensi sukarela disebut oleh negara-negara ini sebagai cara terbaik untuk meningkatkan produksi vaksin di bawah apa yang disebut “Cara ketiga” yang diusulkan oleh Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia yang baru.
Kritik terhadap Proposal “Jalan Ketiga”
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang baru, Dr. Ngozi Okonjo-Iweala sempat menyerukan untuk menolak nasionalisme dan proteksionisme vaksin. Sekaligus menyuarakan tentang perlunya menciptakan akses yang adil dan terjangkau pada vaksin, obat-obatan, dan diagnostik sebagai kunci pemulihan global. Namun Dr. Okonjo-Iweala tidak memberikan dukungan terkait Proposal Pengabaian. Dr. Okonjo-Iweala justu mengusulkan pendekatan yang ia sebut sebagai “Third Way atau Jalan Ketiga”.
Jalan ketiga ini menekankan pada kerja sama dengan perushaan untuk membuka lisensi seluas-luasnya sehingga ada peningkatan produksi di negara berkembang. Hal ini diharapkan oleh Dr.Okonjo-Iweala akan memperluas akses melalui fasilitasi transfer teknologi untuk mendorong penelitian dan inovasi.
Namun, Perjanjian lisensi tidak akan efektif karena sifatnya yang sempit, rahasia, dan terbatas pada kesukarelaan dari perusahaan farmasi. Perusahaan farmasi tidak memiliki kewajiban tertentu untuk memberikan lisensi karena terbatas pada kesukarelaan ini. Perjanjian lisensi tidak dirancang untuk menangani keadaan darurat medis global yang disebabkan oleh pandemi COVID-19.
Dr. Okonjo-Iweala seakan menutup mata bahwa ada aturan multilateral terkait perlindungan kekayaan intelektual yang menghambat produksi dan distribusi vaksin. Sementara Fleksibilitas saat ini di dalam TRIPS termasuk lisensi wajib, lisensi sukareala, dan impor pararel dipenuhi dengan proses yang rumit dan memakan waktu sehingga tidak cocok untuk menanggapi krisis kesehatan global yang berlangsung secara cepat. Jalan ketiga Dr.Okonjo-Iweala ini menarik perhatian banyak pihak dan dapat merusak upaya yang sedang berlangsung di Dewan TRIPs WTO yang mengupayakan TRIPs Waiver untuk menambah kapasitas produksi COVID-19.
Dukungan TRIPs Waiver
Berbeda posisi dengan Direktur Jenderal WTO, Direktur Jendral WHO, Dr. Tedros Adhanom telah menyerukan untuk memicu pembebasan TRIPS di WTO dengan alasan bahwa hal itu akan membantu banyak negara untuk memproduksi vaksin mereka sendiri dengan mengabaikan aturan kekayaan intelektual. WHO dalam menyebutkan bahwa kelemahan utama dari pendekatan bilateral transfer teknologi, melalui lisensi sukarela dari perusahaan yang memiliki paten atas vaksin ke perusahaan lain yang dapat menghasilkan mereka, adalah kurangnya transparansi. Dalam satu tahun terakhir, praktik lisensi sukarela yang tertutup dan ketat telah gagal memanfaatkan kapasitas produksi global.
“Many countries with vaccine manufacturing capacity can start producing their own vaccines by waiving intellectual property rights, as provided for in the TRIPS agreement. Those provisions are there for use in emergencies. If now is not a time to use them, then when? This is unprecedented time, and WHO believes that this is a time to trigger that provision and waive patent rights.”
“Banyak Negara dengan kapasitas produksi vaksin dapat mulai memproduksi vaksinnya sendiri dengan mengabaikan hak kekayaan intelektual, sebagaimana diatur dalam perjanjian TRIPS. Ketentuan-ketentuan itu ada untuk digunakan dalam keadaan darurat. Jika sekarang bukan waktu yang tepat untuk menggunakannya, lalu kapan? Ini adalah waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya dan WHO percaya ini adalah waktu untuk memmicu ketentuan tersebut dan mengabaikan hak paten”
-Dr. Tedros Adhanom
WHO juga mengkritisi tindakan beberapa negara yang membahayakan nyawa manusia karena memberlakukan pembatasan hukum pada ekspor pasokan vaksin. Dukungan WHO pada TRIPS Waiver ini disampaikan pada saat TRIPs Council pada 10 Maret lalu. Hingga kini proposal TRIPs Waiver telah disponsori bersama oleh 57 negara dengan dukungan dari 61 negara lain. Proposal TRIPS Waiver juga terus didorong oleh masyarakat sipil, akademisi, hingga anggota parlemen di seluruh dunia termasuk juga Global Nurses United, sebuah federasi internasional yang menyatukan perawat dan serikat pekerja perawatan kesehatan di 29 negara di seluruh dunia.
Saat ini distribusi vaksin secara global telah mencapai angka 335 juta dosis vaksin di 144 Negara. Namun dari jumlah itu, 76% di antaranya hanya ada di 10 negara. Terdapat lebih dari 130 negara miskin dan berkembang yang bahkan belum menerima vaksin dosis tunggal. Sebaliknya, negara-negara kaya telah mengamankan lebih dari setengah dari pasokan vaksin COVID-19. Menurut laporan beberapa media, distribusi vaksin tertinggi diberikan kepada Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanda, Jepang, Australia, dan Israel. Distribusi vaksin yang tidak merata ini akan semakin memperpanjang masa pandemi terlebih dengan adanya mutasi vaksin.
*******
Untuk mengakses ke monitoring TRIPS Waiver sebelumnya, klik https://igj.or.id/trips-waiver-state-of-play/?lang=en
Reporter : Agung Prakoso (Staf Advokasi Isu Kesehatan, IGJ)
Email : agung.prakoso@igj.or.id