POSITION PAPER
INDONESIA FOR GLOBAL JUSTICE (IGJ)
Jakarta, 20 Maret 2021
LATAR BELAKANG
Lebih dari lima bulan sejak disahkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di DPR RI, Pemerintah Indonesia mengeluarkan sejumlah regulasi turunan, diantaranya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam Lampiran XIV PP tersebut, limbah penyulingan sawit atau yang biasa dikenal dengan spent bleaching earth (SBE) yang sebelumnya masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) menjadi limbah nonB3.
Tak hanya itu, Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi, dikeluarkan dari limbah B3 menjadi limbah nonB3.
PP No. 22 Tahun 2021 diteken oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Februari 2021 untuk menggantikan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang pernah ditandatangani oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan dikeluarkannya PP tersebut, masyarakat semakin paham arah yang hendak dituju oleh UU Cipta Kerja bukanlah membuka lapangan kerja, melainkan melayani kepentingan industri skala besar untuk terus mengekstraksi dan mengeksploitasi sumber daya alam. Pada titik ini, UU Cipta kerja juga semakin memperburuk dampak krisis iklim, karena mendorong industri batu bara dan sawit yang terbukti melenyapkan jutaan hektar hutan tropis di Indonesia, menjadi industri yang kebal hukum.
Dalam pada itu, agenda Pemerintah Indonesia untuk mendorong hilirisasi industri berbasis sumber daya alam dalam kegiatan Global Value Chain telah mendorong pemasifan peningkatan proyek-proyek industrialisasi berskala besar. Setidaknya, ada beberapa proyek industrialisasi yang strategis saat ini, diantaranya yaitu: hilirisasi produk pertanian dengan membangun food estate; hilirisasi sektor pertambangan salah satunya adalah produk nikel dan kobalt untuk pengembangan baterai lithium, dan hilirisasi industri untuk substitusi impor migas seperti batu bara dan petrokimia, termasuk hilirisasi sektor perkebunan seperti pengolahan sawit menjadi bahan bakar B100 yang lebih ramah lingkungan. Produk hilirisasi ini diklaim pemerintah akan berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.
Namun, dengan berbagai mega proyek tersebut diatas, maka aktivitas investasi yang akan masuk ke Indonesia sudah tentu merupakan kegiatan ekstraktif yang mendorong peningkatan eksploitasi alam dan destruksi terhadap lingkungan. Pada titik ini, kehadiran omnibus law atau UU Cipta Kerja menjadi tanda tanya terhadap keseriusan pemerintah untuk membangun konsep value chain yang berkelanjutan. Pasalnya, apakah cukup memastikan perlindungan lingkungan dengan hanya menerbitkan sertifikat layak lingkungan (SLL)?
MEMBACA ARAH PEMERINTAH
Pengesahan UU No. 11 Tahun 2020 dan PP No. 22 Tahun 2021 yang mencabut status B3 FABA dan SBE, dalam kaca mata pemerintah, ditujukan untuk mendorong Indonesia menjadi pemain utama dalam konteks rantai pasok global (global supply chain) dengan memanfaatkan beragam konten lokal untuk menopang kepentingan industri yang dipandang memiliki nilai tambah ekonomi.
Lebih jauh, upaya pemerintah Indonesia ditujukan untuk menarik investasi, baik domestik maupun asing, khususnya untuk sektor energi, terutama komoditas batu bara dan sawit. Dua komoditas inilah yang menjadi andalan pemerintah Indonesia di dalam perdagangan internasional, terutama ekspor.
Batu bara dan sawit tetap dipandang oleh pemerintah sebagai komoditas strategis dalam perdagangan internasional. Hal tampaknya didasarkan pada supply sekaligus volume dan nilai ekspor kedua komoditas ini di Indonesia. Data yang dilansir oleh Data Kementerian ESDM tahun 2020 lalu menunjukkan kenaikan produksi sekaligus ekspor komoditas batubara. (Gambar 1)
Gambar 1. Data produksi dan ekspor batu bara tahun 2020
Jika datanya ditarik jauh ke bekalang, setidaknya dalam dua puluh tahun terakhir, produksi batu bara tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Sebaliknya, produskinya selalu mengalami kenaikan yang cukup signifikan. (gambar 2)
Gambar 2. Data produksi batu bara 2000-2019
Sampai dengan tahun 2040, produksi batu bara Indonesia diproyeksikan akan terus meningkat. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin menyebut produksi batu bara akan sampai angka mencapai 678 juta ton. Dari jumlah produksi tersebut, sebanyak 403 juta ton akan diekspor, 275 juta ton untuk kebutuhan dalam negeri, dan 32,6 juta ton untuk kebutuhan gasifikasi.[3]
Hal serupa terjadi dengan komoditas sawit. Dalam lima tahun terakhir, sebagaimana dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, produksi minyak sawit atau CPO mengalamai kenaikan yang signifikan. (gambar 3).
Gambar 3. Data produksi minyak sawit (CPO) 2015-2019
Tahun | Jumlah Produksi (ton) | Total ekspor (ton) |
2015 | 31.070.015 | 1.819.307 |
2016 | 31.487.986 | 1.576.490 |
2017 | 34.940.289 | 1.717.595 |
2018 | 42.883.631 | 1.772.904 |
2019 | 48.417.897 | 1.937.238 |
Dalam konteks energi, Pemerintah menyebut akan memproduksi bahan bakar kendaraan dari sawit (biofuel), mulai dari 30 persen (B30) sampai dengan 100 persen (B100). Padahal, berdasarkan kajian Cerulogy – sebuah lembaga internasional yang memiliki fokus pada isu kebijakan rendah karbon dan energi bersih-, kebijakan biofuel telah menciptakan permintaan minyak sawit sebesar 10,7 juta ton. Pada tahun 2030, permintaan biofuel diprediksi mencapai 67 juta ton, dan membuka peluang deforestasi baru sebesar 4,5 juta hektar serta hilangnya hampir tiga juta lahan gambut.[5]
Memahami Sustainable Trade
Dalam peta value chain perdagangan global yang tidak ramah lingkungan, memahami konsep perdagangan berkelanjutan (sustainable trade) penting dilakukan. Sustainable trade berakar pada konsep keberlanjutan pembangunan (sustainable development) sebagaimana yang tercantum pada United Nation Sustainable Development Goals (SDGs) yang diresmikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2015 lalu. SDGs disebut juga agenda pembangunan 2030, karena keberhasilan target pembangunan SDGS akan dievaluasi total pada tahun 2030.
Secara umum, gagasan keberlanjutan dalam SDGS mengintegrasikan keseimbangan tiga dimensi penting pembangunan berkelanjutan, yaitu: dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Secara sederhana, ketiga dimensi itu sering dirumuskan dengan tagline people, planet, and profit.[6] Lebihjauh UN SDGs mendorong berbagai pihak, khususnya pemerintah, dunia usaha, gerakan masyarakat sipil untuk bersinergi mewujudkan berbagi target pembangunan yang terdiri dari 169 target pembangunan.
Di dalam UN SDGs disebutkan sejulah kata kunci sebagai berikut:[7]
1. People
UN SDGs disusun dengan tujuan untuk mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, dalam semua bentuk dan dimensi, dan disusun untuk memastikan semua manusia dapat memenuhi potensi mereka dalam martabat dan kesetaraan dan dalam lingkungan Hidup yang sehat
2. Planet
UN SDGs disusun dengan tujuan untuk melindungi planet dari degradasi, termasuk melalui produksi dan konsumsi berkelanjutan serta pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, sekaligus mengambil tindakan dan mendesak penyelesaian perubahan iklim, hal ini dilakukan untuk mendukung kebutuhan generasi sekrang dan generasi yang akan datang
3. Prosperity
UN SDGs disusun dengan tujuan untuk memastikan semua manusia dapat menikmati hidup yang sejahtera dan memuaskan kehidupan dalam dimensi ekonomi, sosial dan kemajuan teknologi yang harmonis dan sejalan dengan alam.
4. Peace
UN SDGs disusun dengan tujuan untuk membangun kedamaian, masyarakat adil dan inklusif yang bebas dari ketakutan dan kekerasan. Tak ada pembangunan berkelanjutan tanpa kedamaian dan tidak ada kedamaian tanpa pembangunan berkelanjutan.
5 Partnership
UN SDGs disusun dengan tujuan untuk memobilisasi cara-cara yang diperlukan untuk menerapkan agenda pembangunan ini melalui revitalisasi kemitraan berdasarkan pada semangat dan solidaritas global, terfokus pada kebutuhan orang yang paling miskin dan paling rentan, dengan partisipasi dari semua negara, semua pemangku kepentingan dan semua orang.
****
Selanjutnya, konsep sustainable development inidikembangkan menjadi dorongan untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, melindungi dan mengelola komunitas lokal atau masyarakat adat, mempromosikan isu keadilan, mempromosikan produktifitas dan kesejahteraan ekonomi, serta mempromosikan perlindungan lingkungan hidup. Inilah yang dimaksud dengan sustainable trade versi United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) sebagaimana dirilis dalam International Convention on Sustainable Trade and Standards Leveraging Trade, Global Value Chains, and Standards.[8]
Lebih jauh, UNCTAD menyusun sustainability standards, yaituaturan khusus yang menjamin bahwa produk yang dibeli tidak merusak lingkungan dan tidak merusakn kehidupan orang-orang yang membuatnya. Standar ini dipertimbangkan untuk mengubah produksi, rantai pasok global dan pola konsumsi menjadi lebih berkelanjutan. Jumlah standar ini semakin tumbuh dan dapat membantu membangun ekonomi baru yang lebih hijau. Standar keberlanjutan fokus pada sektor ekonomi kehutanan, pertanian, pertambangan atau perikanan; berkonsentrasi pada faktor lingkungan seperti melindung sumber air dan keanekaragaman hayati atau pengurangan emisi gas rumah kaca; mendukung perlindungan sosial dan hak-hak pekerja.[9]
Heinrich Foundation, menyebut sustainable trade didasarkan pada tiga pilar utama yang tidak dapat dipisahkan dan satu sama lain saling tergantung, yaitu sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam Laporan Sustainable Trade Index 2020, lembaga ini menyebutkan sejumlah indikator dari masing-masing pilar sebagai berikut:[10]
- Indikator pilar sosial: tidak ada praktik kerja paksa (no forced labour), tidak adanya diskriminasi jender (non gender discrimination), tidak adanya pekerja anak di bawah umur (no child labour), adanya standar layak bagi pekerja (labour standard), dan tidak adanya praktik perdagangan manusia (no human trafficking).
- Indikator pilar ekonomi: tidak adanya manipulasi mata uang, tak ada hambatan tarif dan non tarif, adanya infrastruktur teknologi yang kuat.
- Indikator pilar lingkungan hidup: tidak ada pencemaran udara, tidak ada pencemaran air, tidak ada deforestasi, adanya skema penetapan harga karbon (pajak karbon), dan adanya pendanaan untuk proyek-proyek hijau (green finance)
Untuk mengukur sebuah negara telah menjalankan sustaibable trade atau tidak, German Institute for International and Security Affairs menyusun Sustainable Supply Chain in the Agricultural Sector: Adding Value Instead Of Just Exporting Raw Materials yang menegaskan penting adanya regulasi oleh yang disusun oleh sebuah negara. Di antara regulasi yang wajib ada adalah sebagai berikut:[11]
Pertama, regulasi mengenai uji kelayakan (due diligence) dalam rantai pasok, dengan beberapa indikator: akuntabilitas, pencarian solusi dengan mitra, dan adanya kewajiban/ tanggung jawab terhadap aspek HAM
Kedua, regulasi mengenai rantai pasok yang bebas dari deforestasi dengan beberapa indikator: pemantauan, sertifikasi, kemudahan akses pasar – aspek lingkungan
Ketiga, regulasi mengenai pertanian untuk melindungi sumber daya pertanian, termasuk melindungi aspek lingkungan dan sosial dari sektor pertanian tersebut.
Keempat, adanyasubsidiuntukmendukung praktik pertanian organik dan pertanian ramah lingkungan.
****
Dengan demikian, sustainable trade tidak lagi hanya berpijak aspek ekonomi semata, khususnya income atau pertumbuhan ekonomi yang dicirikan oleh GDP (gross domestic product) semata. Lebih jauh, sustainable trade berpijak pada banyak dimensi kehidupan manusia secara lebih holistik. Dalam konsep ini ekonomi tidak dipandang berdiri sendiri, tetapi berdiri di atas pilar sosial dan lingkungan hidup.
Konsep perdagangan yang hanya berorintasi ekspor-impor yang mengekstraksi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan aspek keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan hidup adalah cara pandang lama yang telah dan sedang ditinggalkan oleh dunia internasional, khususnya negara-negara maju. Mereka sedang bergerak mempraktikan perdagangan berkelanjutan, mulai dari menyusun kerangka konseptual sampai dengan menyusul berbagai kerangka regulasi. Anehnya, hal ini berkebalikan dengan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Rapot Merah Sustainable Trade Indonesia
Dengan mengesahkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan mengeluarkan sejumlah aturan turunan, diantaranya PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang menghapus status B3 FABA dan SBE menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tidak memiliki komitmen untuk mempraktikkan sustainable trade sebagaimana telah dan sedang dilakukan oleh negara-negara lain.
UU Cipta Kerja, sebagai induk dari PP No 22 Tahun 2021, menghapus batasan minimum hutan seluas 30 persen dari total luasan provinsi di Indonesia. Dengan dihapusnya luasan minimum tersebut, Yayasan Madani Berkelanjutan, sebuah lembaga yang fokus pada kajian hutan di Indonesia, mengestimasi lima provinsi di Indonesia terancam akan kehilangan seluruh hutan alamnya akibat laju deforestasi, yaitu Riau pada tahun 2032, Jambi dan Sumatera Selatan pada tahun 2038, Bangka Belitung pada tahun 2054, dan Jawa Tengah pada tahun 2056.[12]
Analisis spasial Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan adanya 3,4 juta hektare tutupan hutan alam di dalam izin sawit (HGU, IUP, dan izin lain yang belum definitif termasuk izin lokasi), yang seharusnya dapat diselamatkan berdasarkan evaluasi perizinan perkebunan yang dimandatkan INPRES No. 8 Tahun 2018 tentang tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.[13]
Papua adalah provinsi dengan luas hutan alam dalam izin perkebunan sawit tertinggi yaitu 1,3 juta hektare, disusul oleh Kalimantan Timur dengan luas hutan alam di dalam izin sawit sebesar 528 ribu hektare. Dengan adanya tambahan permintaan CPO yang begitu besar akibat kebijakan biodiesel serta semakin dipermudahnya izin sawit untuk ekspansi ke kawasan hutan, kesempatan Indonesia untuk menyelamatkan hutan alam dalam periode moratorium sawit akan hilang. Apabila 3,4 juta hektare hutan alam tersebut hilang, Indonesia akan gagal mencapai komitmen iklimnya karena akan melampaui kuota deforestasi sebesar 3,25 juta hektare pada 2030.[14]
Tak hanya itu, hutan alam yang seharusnya dapat dilindungi oleh kebijakan penghentian pemberian izin baru yang diperkuat tidak akan bisa terselamatkan karena akan terlanjur hilang akibat deforestasi. Tercatat empat provinsi yang terancam akan kehilangan hutan alam di luar PIPPIB (Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru) dengan luasan terbesar adalah Kalimantan Tengah seluas 3,5 juta hektar, Kalimantan Barat seluas 1 juta hektar, Aceh seluas 342 ribu hektar, dan Sumatera Barat seluas 254 ribu hektar.[15]
Pada titik ini, Pemerintah Indonesia layak mendapatkan rapot merah karena tidak mau menjadi bagian penting dalam arus besar sustainable trade. Konsep perdagangan yang didorong pemerintah Indonesia masih berpijak pada aspek ekonomi semata, dimana ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam dan merenggut hak masyarakat lokal, masih menjadi inti bisnisnya. Hal ini diperparah dengan banyaknya regulasi yang diproduksi untuk melegitimasi eksploitasi sumber daya alam. Diantaranya komoditas sumber daya alam yang dapat disebut dalam konteks ini adalah batu bara dan minyak sawit. Kedua komoditas ini kemudian diperdagangkan di dunia initernasional oleh pemerintah Indonesia.
Rapot merah sustainable trade juga diberikan oleh Heinrich Foundation kepada Pemerintah Indonesia. Di dalam dokumen Sustainable Trade Index 2020, Indonesia disebut memiliki capaian buruk dalam pilar sosial, khususnya indikator perdagangan manusia. Sementara itu, capaian dalam pilar lingkungan hidup disebut yang paling buruk karena menempati rangking ke-19 dari 20 negara yang dinilai. Pilar lingkungan hidup dalam sustainable trade Indonesia diwarnai oleh deforestasi yang terus terjadi, produksi emisi gas rumah kaca yang terus meningkat, pencemaran udara dan pencemaran air (termasuk pencematan laut, PR), yang tidak terkendali.
Semua capaian buruk itu merefleksikan arah dan keberpihakan Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah menggambarkan capaian sustainable trade tersebut.
Dalam konteks ini, pemberian konsesi untuk perluasan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara di Indonesia berperan besar dalam mendorong deforestasi yang semakin masif, percemaran air dan udara, serta produksi emisi gas rumah kaca semakin tinggi.
Desakan untuk Pemerintah
Berangkat dari beragam penjelasan di atas, tak ada cara lain bagi pemerintah untuk menjaga perdagangan (menjaga perekonomian) agar tetap berjalan dan menjadi bagian dari global supply chain yang berkelanjutan, selain menjadikan sustainable trade sebagai pedoman utama dalam menjalankan skema perdagangannya. Pemerintah Indonesia mesti segera mengarusutamakan aspek hak asasi manusia, keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan yang ditandai dengan tak adanya deforestasi dan pencemaran air serta udara, dalam kebijakan perdagangannya (ekonomi).
Langkah di atas perlu dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia dengan mengevaluasi dan merevisi seluruh regulasi perdagangan yang tidak mempertimbangkan aspek sosial, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Lebih jauh, Indonesia tidak masuk ke dalam berbagai kesepakatan dagang dalam Free Trade Agreement (FTA) yang berpotensi melanggar hak asasi manusia, keadilan sosial, dan mengancam keberlangsungan lingkungan hidup.
Pemerintah Indonesia juga perlu mempertimbangkan berbagai praktik terbaik (best practices) yang telah dan sedang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam yang arif dan berkelanjutan, dimana di dalamnya terdapat hubungan erat antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Semua ini sejalan dengan mandat UUD 1945 Pasal 33 ayat 4 yang menyebut: “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Dengan demikian, konsep sustainable trade itu sejalan dengan prinsip konstitusi Republik Indonesia. Konsep inilah yang mesti dijadikan pedoman di dalam penyelenggaran di bidang perekonomian (perdagangan). (*)
Informasi lebih lanjut:
Parid Ridwanuddin, Peneliti Trade and Climate IGJ
Email: igj@igj.or.id
[1] Selengkapnya silahkan akses link berikut: https://modi.minerba.esdm.go.id/pimpinan/produksiPenjualan?t=2020
[2] Selengkapnya silahkan akses link berikut: https://www.dataindustri.com/produk/tren-data-produksi-batubara-di-indonesia/
[3] Selengkapnya silahkan akses link berikut: https://economy.okezone.com/read/2021/03/19/320/2380620/produksi-batu-bara-ri-diprediksi-capai-678-juta-ton-pada-2040
[4] Selengkapnya silahkan akses link berikut: https://www.bps.go.id/publication/2019/11/22/1bc09b8c5de4dc77387c2a4b/statistik-kelapa-sawit-indonesia-2018.html
[5] Selengkapnya silahkan akses link berikut:
https://www.dw.com/id/greenpeace-penegakan-hukum-di-bidang-lingkungan-hidup-sulit-karena-keterlibatan-elite/a-47564961
[6] Selengkapnya silahkan akses link berikut: https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/21252030%20Agenda%20for%20Sustainable%20Development%20web.pdf
[7] Ibid, khususnya hal. 5-6
[8] Selengkapnya silahkan akses link berikut: https://unctad.org/system/files/official-document/ditc-ted-12092018-unfss-delhi-Concept.pdf
[9] Ibid, khususnya hal. 3
[10] Selengkapnya silahkan akses link berikut: https://www.hinrichfoundation.com/research/wp/sustainable/sustainable-trade-index-2020/ atau https://research.hinrichfoundation.com/sti-2020?__hsfp=813733984&__hssc=251652889.1.1615532799958&__hstc=251652889.de489cdeee60b5ce7711207ee3a2baf8.1615521463576.1615521463576.1615532799958.2
[11] Selengkapnya silahkan akses link berikut: https://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2020C43_SustainableSupplyChains.pdf
[12] Selanjutnya silahkan akses: https://madaniberkelanjutan.id/2020/10/07/uu-cipta-kerja-mencederai-komitmen-iklim-mempercepat-kehilangan-hutan-melanggengkan-bencana
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid