Pernyataan Sikap Koalisi MKE
Jakarta, 23 Juli 2021 – Kami Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Ekonomi (MKE) dengan ini menyampaikan keprihatinan dan desakan kepada Pemerintah Indonesia dan DPR RI terkait dengan memburuknya situasi Pandemi Covid19 di Indonesia.
Gelombang kedua pandemi COVID-19 di Indonesia akibat varian virus delta covid19 telah meningkatkan angka penyebaran Covid19. Berdasarkan data Portal Satgas Covid-19 Pemerintah, tercatat kasus terkonfirmasi positif per hari mencapai 47.889 (13 Juli 2021) hingga menambah total jumlah konfirmasi positif menjadi 2.615.529 orang.
Situasi ini telah berdampak pada kelebihan kapasitas pelayanan rumah sakit, khususnya yang berada di zona merah. Selain itu, kepanikan ini telah mendorong terjadinya kelangkaan obat dan oksigen yang dibutuhkan oleh pasien covid19. Bahkan termasuk aksi borong produk makanan sehat seperti susu, multivitamin, dan produk herbal yang dipercaya dapat meningkatkan imun tubuh dan mempercepat pemulihan covid19. Dampaknya, sulit sekali pasien yang terkonfirmasi covid19 untuk mengakses obat dan oksigen, bahkan harga obat pun menjadi sangat mahal.
Pemburukan ini tidak bisa dilepaskan dari ketidaksiapan negara dalam merespon situasi darurat terkait pandemi covid19, yang diperdalam dengan buruknya sistem kesehatan yang ada di Indonesia. Dari hal ini, ada dua catatan kritis kami terkait dengan situasi tersebut diatas yang menjadi dasar dari tuntutan kami kepada Pemerintah dan DPR RI.
Pertama, Penanganan yang tidak berfokus pada keselamatan hidup masyarakat
Koalisi menilai bahwa selama lebih dari setahun penanganan pandemi COVID-19, Pemerintah tetap mengedepankan pemulihan ekonomi yang berorientasi pada investasi yang eksploitatif ketimbang fokus pada keselamatan masyarakat. Hal ini dikarenakan, upaya menghentikan laju penyebaran virus tidak diimbangi dengan kebijakan tepat dan cenderung diskriminasi, dengan poin-poin berikut:
❖ Kebijakan pembatasan yang dilakukan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ke Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Perubahan ini tidak diimbangi dengan perubahan kebijakan yang lebih progresif. Padahal Undang-undang No.6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan telah tersedia untuk mengatasi kondisi wabah dan menjamin kebutuhan masyarakat selama karantina berlangsung. Namun Pemerintah seakan mengabaikan ketentuan ini dan seolah ingin menghindar dari kewajibannya untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dalam keadaan bencana.
❖ Kebijakan pembatasan sosial ini tentunya memiliki dampak tersendiri bagi perempuan yang banyak menggantungkan hidupnya sebagai pekerja harian lepas seperti buruh cuci, pengupas kerang hijau, penjual makanan keliling dan lainnya. Pembatasan sosial ini mengakibatkan penghasilan harian perempuan mengalami penurunan yang signifikan tanpa adanya subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan hariannya. Perempuan yang memiliki peran gender sebagai pengelola keuangan keluarga tentunya mengalami beban berlapis manakala terjadi penurunan penghasilan keluarga hingga tidak mencukupi kebutuhan bagi keluarga. Sementara program bantuan sosial dari pemerintah banyak yang tidak tepat sasaran dan komposisinya pun tidak sesuai kebutuhan yang ideal. Seperti tidak memperhatikan gizi dan nutrisi yang dibutuhkan dalam situasi genting untuk meningkatkan imun tubuh. Serta tidak memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan seperti kebutuhan reproduksi perempuan
❖ Pada gelombang kali ini sektor perburuhan mengalami dampak yang cukup serius. Dalam kebijakan PPKM, segala kegiatan usaha harus berhenti, kecuali bagi usaha yang sifatnya kritikal atau esensial. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak sektor usaha, termasuk sektor manufaktur, masih menjalankan proses produksinya walaupun bukan termasuk klasifikasi usaha esensial atau kritikal. Perusahaan-perusahaan ini telah menyalahgunakan kebijakan izin industri dengan mendaftarkan pabriknya sebagai sektor kritika. Hal ini banyak sekali terjadi di kawasan-kawasan industri seperti Jakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Karawang. Apalagi, dalam menjalankan produksinya di masa PPKM ini, banyak industri yang masih rendah dalam menjalankan protokol kesehatan, termasuk upaya untuk menerapkan tracing bagi pekerja yang masuk bekerja. Sehingga, kasus penyebaran covid19 paling tinggi terjadi di kawasan industri seperti Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi (Cikarang). Terkait kasus terkonfirmasi positif dari klaster industri kerap kali dirahasiakan oleh pengusaha. Persoalan tracing juga tidak bisa dilepaskan dari abainya pengusaha untuk menanggung biaya. Bahkan, masih sedikit perusahaan di kawasan industri yang memfasilitasi pekerjanya untuk melakukan vaksinasi. Terkait hal ini, tidak ada sanksi tegas yang diberikan oleh Pemerintah kepada pengusaha di masa pandemi ini.
❖ Bahkan, bagi perempuan yang bekerja di garda depan sebagai satgas covid19 pada level rumah tangga (desa dan RW), khususnya di luar Jabodetabek, masih belum mendapat perlindungan maksimal dari Pemerintah. Secara khusus, pada konteks penanganan pandemic perempuan masih dilekatkan pada sektor-sektor perawatan seperti memastikan ketersediaan pangan pasien yang isolasi mandiri di rumah, mengantarkan untuk tes, dan lain sebagainya. Sementara perempuan juga harus pulang ke rumahnya dan mengurus keluarganya. Tentu situasi ini membuat perempuan berada posisi yang lebih rentan sehingga seharusnya mendapatkan perlindungan berdasarkan kebutuhan dan pengalamannya.
❖ Kebijakan mengenai pembatasan sosial juga berdampak pada perempuan buruh migran. penanganan kasus perempuan buruh migran menjadi lebih terhambat karena banyak petugas yang harus bekerja dari rumah tanpa adanya sistem yang memastikan keberlanjutan penanganan kasus buruh migran. Selain itu pemerintah juga tidak memiliki kebijakan khusus untuk memastikan keberlanjutan hidup perempuan buruh migran setelah kepulangannya secara merata selama pandemi ini. Di tengah krisis iklim yang juga belum teratasi, terdapat perempuan buruh migran kehilangan sumber penghidupannya seperti usaha rumahan karena bencana iklim. Lalu berlanjut pada krisis pandemic yang mana pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang mengakomodir kebutuhan perempuan buruh migran.
❖ Pembatasan sosial yang diberlakukan pemerintah juga tidak diikuti dengan kebijakan yang memastikan tidak bertambahnya beban berlapis perempuan. Pada situasi ini semua aktivitas diharuskan dilakukan di rumah. Di tengah pembagian kerja dalam rumah tangga yang masih timpang membuat beban kerja perempuan semakin bertambah. Selain mengurusi pekerjaan domestic, perempuan juga harus mendampingi anak-anaknya selama sekolah dari rumah. Keterbatasan akses maupun pengetahuan terhadap teknologi juga membuat perempuan semakin kesulitan berhadapan dengan Covid 19 tanpa adanya sistem yang mempertimbangkan situasi perempuan dan mengakomodir kebutuhannya.
Dalam hal ini, Koalisi MKE mendesak Pemerintah untuk melakukan langkah berikut :
1. Pemerintah menjamin Perlindungan Kesehatan dan Ekonomi terhadap buruh baik sektor formal maupun informal khususnya terhadap perempuan, dengan memastikan hal-hal berikut :
a. Tidak ada PHK massal, pengurangan upah, dan hilangnya hak normatif terhadap buruh
b. Perusahaan memfasilitasi vaksinasi dan menerapkan protokol kesehatan sebagai bagian K3 dalam kegiatan usahanya.
c. Memfasilitasi kebutuhan harian, tempat, dan penanganan selama proses isolasi mandiri bagi buruh yang terinfeksi Covid-19.
d. Pemetaan perkembangan klaster industri dan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan hidup buruh di perusahaan yang telah memiliki kasus infeksi Covid-19.
e. Mengeluarkan peraturan pemerintah tentang perlindungan buruh di masa pandemi.
2. Pemerintah harus memastikan keselamatan para tenaga kesehatan atau satuan tugas penanganan Covid 19 khususnya perempuan berdasarkan pengalaman dan kebutuhan spesifiknya.
3. Fokus pada penanganan pandemic Covid 19 dan menghentikan pembahasan dan pengesahan kebijakan, termasuk ratifikasi dan negosiasi perjanjian internasional. Hal ini untuk memastikan kewajiban transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan tetap dijalankan, dan tidak dikesampingkan dalam situasi pembatasan distansi fisik dan sosial.
4. Mengambil terobosan kebijakan yang cepat dan efektif untuk membantu kelompok paling rentan dalam menghadapi situasi krisis akibat pandemi COVID-19, khususnya perempuan, lansia, anak-anak, perempuan hamil dan menyusui, serta perempuan pekerja informal, dan perempuan buruh migran di luar negeri. Termasuk memastikan penanganan COVID-19 tidak melanggengkan ketidakadilan gender yang sudah terjadi ataupun menghasilkan bentuk ketidakadilan lainnya.
Kedua, Penanganan berbasis bisnis
Permasalahan utama krisis kesehatan pandemi COVID-19 juga masih berpusat pada masalah ketimpangan akses Vaksin dan obat-obatan. Krisis nasional saat ini menunjukkan permasalahan pemenuhan kebutuhan terkait penanganan pandemi masih menjadi persoalan di nasional, salah satunya terkait kebutuhan obat. Hal ini mengingat Pengadaan obat dan vaksin covid19 masih menerapkan skema business as usual dengan tetap mengedepankan keuntungan korporasi.
Sebagian besar obat mengalami kenaikan harga dan kelangkaan seiring dengan meningkatnya kebutuhan. Kementerian Kesehatan sempat mengeluarkan rilis terkait daftar dan harga obat yang digunakan untuk penanganan COVID-19, diantaranya Favipiravir, Remdesivir, Oseltamivir, Ivermectin, dan yang terbaru Tocilizumab dan Sarilumab. Sebagian obat tersebut masih dilindungi oleh paten seperti Favipiravir, Remdesivir, Tocilizumab dan Sarilumab. Kekurangan obat ini semakin mengancam keselamatan masyarakat di tengah wabah.
Dengan paten, tentu keterbatasan produksi dan distribusi menjadi ancaman bagi terpenuhinya kebutuhan obat dan vaksin. Ketentuan perlindungan hak kekayaan intelektual terkait paten maupun terhadap persoalan know-how atas obat dan vaksin telah menjadikan kebutuhan obat dan vaksin selama pandemi sebagai komoditas bisnis hingga akhirnya menghilangkan akses masyarakat terhadap kesehatan yang murah dan berkeadilan.
Untuk itu, pemerintah harus segera menghentikan praktik monopoli yang bertolak belakang dengan kepentingan masyarakat. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh Pemerintah, yaitu:
❖ Mendorong WTO untuk segera menyepakati Proposal TRIPS Waiver terkait dengan Covid19. Proposal ini akan membuka akses bagi vaksin, obat, dan kebutuhan lainnya terkait penanganan pandemi COVID-19. Koalisi menilai bahwa krisis tidak perlu terjadi apabila sejak awal negara-negara kaya menghentikan praktik monopoli vaksin dan nasionalisme vaksin. Sehingga negara-negara berkembang dapat mengakses vaksin lebih cepat agar imunitas global tercapai. Walaupun kondisi ini masih belum terlambat karena Proposal TRIPS Waiver sudah memasuki tahap negosiasi berbasis teks dan berkembang cukup signifikan. Pemerintah Indonesia harus semakin serius dalam diplomasi TRIPS Waiver dan juga mendesak negara-negara sahabat yang masih menolak agar berbalik mendukung proposal.
❖ Mendorong pelaksanaan paten oleh pemerintah (Patent for Government Use) terhadap sejumlah obat-obatan paten yang diperlukan dalam kondisi darurat saat ini, seperti Remdesivir, Tocilizumab, dan Sarilumab. Langkah ini akan membuat obat covid19 bisa diproduksi secara massal sehingga meningkatkan ketersediaan obat dan menurunkan harga obat.
Pemerintah memang sempat berencana untuk mengajukan pelaksanaan paten oleh pemerintah untuk obat Favipiravir pada januari lalu.1 Namun hingga kini rencana tersebut belum juga terealisasi. Koalisi mengingatkan bahwa Pemerintah harus bebas dari segala intervensi terutama oleh perusahaan farmasi selama masa penanganan pandemi COVID-19. Jangan sampai penanganan kepentingan profit perusahaan ditempatkan di atas kepentingan keselamatan masyarakat.
Terkait pemenuhan kebutuhan akses pada obat, Koalisi mendesak Pemerintah agar :
1. Pemerintah segera melakukan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah (patent for government use) terhadap sejumlah obat-obatan yang dibutuhkan terkait pandemi. Serta mengabaikan segala bentuk intervensi yang menghambat pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama vaksin, obat-obatan dan keperluan medis lainnya di saat pandemi.
2. Menyiapkan regulasi nasional serta industri nasional terkait dengan pelaksanaan TRIPS Waiver.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi :
Indonesia for Global Justice (IGJ), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Solidaritas Perempuan,
Indonesia AIDS Coalition (IAC), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHA), Ekologi Maritim Indonesia (EKOMARIN)
Informasi lebih lanjut, dapat hubungi:
HermanAbdulRohman(KesatuanPerjuanganRakyat)-082213426109
PutriFahimatulHasni(SolidaritasPerempuan)- 085785934496
Rachmi Hertanti (Indonesia for Global Justice) – 08174985180
1 https://dgip.go.id/artikel/detail-artikel/pemerintah-siapkan-obat-covid-19-murah?kategori=Berita%20Resmi%20Desain%20Industri