Jakarta, 3 November 2021 – Sidang Mahkamah Konstitusi perkara Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 telah memasuki agenda Rapat Pemusyawaratan Hakim, untuk selanjutnya agenda Pembacaan Putusan oleh Majelis Hakim Mahkamah konstitusi.
Menyikapi hal tersebut, Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) yang terdiri dari 15 organisasi masyarakat sipil sebagai salah satu pemohon dalam perkara Nomor 107/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, berpandangan atas fakta-fakta persidangan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional. Karena tidak memiliki dasar pembentukan hukum yang layak dan memadai dalam proses pembentukannya. Komite Pembela Hak Konstitusional menekankan terhadap berbagai fakta persidangan
yang sudah seharusnya menjadi pertimbangan MK, yang mencakup :
- Ketidakmampuan Pemerintah dan DPR menjawab dalil-dalil Para Pemohon dan memenuhi perintah Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyerahkan
bukti berupa versi-versi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang dibahas dan yang telah disahkan menunjukkan proses pembentukan UU a quo
mengandung cacat formil; - Pembentukan UU CK sejak awal telah mendiskriminasi unsur petani nelayan dan masyarakat pedesaan. Hal tersebut tidak saja tercermin dalam materi UU CK
tetapi Keterangan Pemerintah dan DPR serta saksi-saksi yang dihadirkan oleh Pemerintah dan DPR dalam persidangan MK menunjukkan bahwa unsur petani,
nelayan dan masyarakat di pedesaan tidak dilibatkan dalam pembahasan dan sosialisasi. - Dalam keterangan DPR yang disampaikan melalui Arteria Dahlan menegaskan bahwa karena Indonesia sudah menjadi anggota WTO, maka harus tunduk dan
patuh pada ketentuan WTO secara mengikat. Termasuk bilamana ada aturan Indonesia yang bertentangan dengan ketentuan WTO, dapat disesuaikan agar
selaras. Pernyataan ini mengonfirmasi permohonan para pemohon yang mendalilkan bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja syarat dengan intervensi dari WTO. Khususnya komitmen Indonesia dalam proses mengubah empat Undang-Undang Nasional yang berkaitan dengan pangan dan pertanian. Empat undang-undang itu adalah UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Empat undang-undang itu dipaksa diubah dan dimasukkan pengubahannya dalam UU Cipta Kerja karena intervensi dari WTO. Tentu dalam proses pembentukannya UU Cipta Kerja ini sudah cacat formil dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional. - Sikap tidak etis DPR yang diwakili oleh Arteria Dahlan dalam agenda sidang mendengarkan Keterangan DPR, yang lebih terkesan mewakili Fraksi PDIP karena lebih menjelaskan pandangan Fraksi PDIP dan mengkritisi fraksi-fraksi lain. Hal ini dibuktikan dengan keterangan yang disampaikan oleh Arteria Dahlan dalam persidangan sangat berbeda dengan Keterangan tertulis DPR RI. Ketidakcakapan DPR terhadap hukum acara di Mahkamah Konstitusi yang tidak mampu membedakan kapasitas DPR sebagai pihak (prinsipal) dan sebagai saksi. Sehingga Para Pemohon keberatan atas Saksi yang diajukan oleh DPR dalam agenda Mendengarkan Keterangan Saksi karena telah melanggar hukum acara MK, pelanggaran terhadap asas objektivitas dari Saksi yang merupakan anggota DPR aktif yang masih menjabat, dan pelanggaran terhadap prinsip imparsialitas dalam persidangan MK.
- Kejanggalan dalam proses pembentukan UU CK, terkonfirmasi dalam persidangan MK, dimana berdasarkan bukti yang diajukan Pemerintah serta keterangan saksi yakni Saksi Yorrys Raweyai, Saksi Haiyani Rumondang, Saksi Said Iqbal, pada pokoknya menerangkan bahwa belum pernah menerima dan mempelajari Naskah Akademik RUU Cipta Kerja dalam setiap pembahasan yang diikuti oleh para saksi. Bahkan dalam keterangan saksi Said Iqbal dalam rapat pertama di Kementerian Tenaga Kerja pada tanggal 3 juli 2020 mengungkapkan bahwa wakil ketua DPR dan ketua Panja Baleg pembahasan RUU bahkan tidak ada dan tidak menerima Naskah Akademik RUU Cipta Kerja. Berdasarkan fakta tersebut, KEPAL menyimpulkan bahwa sebenarnya Naskah Akademik RUU Cipta Kerja sebenarnya tidak ada dan tidak dilampirkan pada saat penyerahan RUU Cipta Kerja kepada DPR RI.
- Kejanggalan berikutnya pada pada tahapan perencanaan dan penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU Cipta Kerja yang faktanya tidak dipublikasikan sejak tahapan pembahasan dalam Prolegnas dimulai sehingga masyarakat tidak bisa memberikan aspirasi/masukan. Hal tersebut terkonfirmasi dalam
keterangan Saksi Said Iqbal, yang menerangkan bahwa pemerintah hanya mempublikasi Matriks Analisis Rancangan Undang-undang Cipta kerja dalam
web Menko Perekonomian. Dalil pemohon tentang UU Cipta Kerja yang memuat 79 undang-undang dibuat tanpa adanya partisipasi masyarakat yang berdampak langsung sejalan dengan keterangan Ahli DR. Witjipto Setiadi, S.H. yang menyatakan bahwa pembahasan RUU tentang Cipta Kerja terkesan dilakukan secara tertutup dan sangat terburu-buru, sehingga mengabaikan ruang partisipasi publik masyarakat untuk memberikan masukan. Hal tersebut juga terkonfirmasi dalam keterangan saksi Said Iqbal dan saksi M. SIDARTA yang pada pokoknya menerangkan bahwa pembentukan satgas pada tanggal 9 Desember 2019 oleh Menko Perekonomian
sebagai IPC daripada omnibus law tidak satupun melibatkan perwakilan buruh, semua isi daripada satgas (Satuan tugas) omnibus law yang terkait dengan klaster ketenagakerjaan adalah kalangan pengusaha. - Berdasarkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan MK juga menunjukkan fakta-fakta bahwa Tim Perumus RUU Cipta Kerja sesungguhnya belum penyelesaikan Naskah RUU Cipta Kerja. Selain itu, Tim Sinkronisasi juga tidak melakukan penyelarasan rumusan RUU Cipta Kerja yang disusun oleh Tim Perumus serta pengambilan keputusan tingkat I yang sangat tidak biasa karena dilakukan pada dini hari tepatnya pada Sabtu, 03 Oktober 2020 pukul 21.05 – 22.52 WIB. Fakta lainnya, telah terjadi beberapa perubahan substansi dalam Naskah RUU Cipta Kerja yang disetujui bersama antara DPR RI dengan Presiden RI dalam Rapat Paripurna; dan Fakta yang ditemukan oleh PARA PEMOHON dalam Inzage, Pemerintah memberikan bukti-bukti terkait Rapat Koordinasi, Focus Gathering Discussion (FGD), Pembahasan Omnibus Law, Diskusi Publik dan seterusnya, namun notulensi/risalah rapat pada setiap pertemuan tersebut tidak lengkap bahkan tidak dimasukkan dalam bukti Pemerintah. PARA PEMOHON menilai bahwa Pemerintah sedang menutupi substansi pembahasan mengenai RUU Cipta Kerja.
- Dalil Pemerintah tentang Partisipasi publik dan stakeholder dalam proses penyusunan RUU hingga pengundangan UU Cipta Kerja serta kemudahan akses tidak terbukti. Hal tersebut terkonfirmasi dalam keterangan ahli DR. Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H., DR. Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M., yang pada pokoknya menerangkan bahwa partisipasi public yang baik bukan hanya menyampaikan pendapat, tapi perlu juga memastikan dan pihak mana yang terdampak dari pemberlakuan UU CK. Selain itu naskah akademik mestinya mudah diakses, tetapi faktanya tidak, public sulit mengakses dan memastikan draf mana yang paling resmi di dalam pembentukan UU CK.
- Mengenai anggapan pemerintah bahwa syarat formil pembentukan UU sebagaimana ketentuan dalam UU P3 tidak serta merta menyebabkan UU Cipta Kerja cacat prosedur dan batal sesungguhnya bertentangan dengan Putusan MK Nomor 27 Tahun 2009 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil.” Hal tersebut juga diperkuat melalui keterangan Ahli DR. Witjipto Setiadi, dan Ahli DR. Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H., yang pada pokoknya menyatakan bahwa uji formil peraturan
perundang-undangan, khususnya UU, yang menjadi batu uji adalah UUD 1945, UU 12/2011 UU 15/ 2019, dan UU tentang MD3, serta peraturan tata tertib dan
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014. Apabila hal tersebut tidak diikuti oleh pembentuk undang-undang, maka dari sisi prosedur, tata cara pembentukan UU
tersebut tidak baik dan selain itu bisa dijadikan menjadi dasar atau alasan untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. - Anggapan DPR RI dalam jawabannya pada Sidang MK yang menyatakan sistematika dalam UU Cipta Kerja telah sesuai dengan sistematika peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Lampiran UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dbantah sendir i oleh Ahli yang dihadirkan DPR yaitu Ahli Muhammad Fauzan yang menyatakan bahwa metode Omnibus Law belum diatur dalam Undang-Undang 12/2011 dan Ahli I Gde Pantja Astawa yang menyatakan Undang-Undang P3 tidak mengikuti perkembangan zaman, sehingga metode omnibus law belum diatur dalam Undang-undang tersebut. Hal tersebut diperkuat dengan keterangan Ahli DR. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum yang menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja tidak tepat dikatakan sebagai undang-undang karena bentuk format dan strukturnya tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Lampiran 2 Undang-Undang P3 atau dalam ilmu perundang-undangan disebut dengan confirm.
- Terkait perubahan substansi, format pengetikan maupun perbaikan-perbaikan setelah RUU Cipta Kerja telah mendapatkan persetujuan bersama dari DPR RI dan Presiden yang menurut DPR tidak melanggar syarat formil pembentukan undang-undang dibantah oleh Ahli DR. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum dalam keterangannya yang mengatakan bahwa tidak ada norma yang memberikan legitimasi untuk dapat mengubah substansi hukum pasca RUU telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Hal tersebut juga diperkuat dengan bukti Pemerintah membuktikan bahwa telah terjadi perubahan substansi, format pengetikan maupun perbaikan-perbaikan setelah RUU Cipta Kerja telah mendapatkan persetujuan bersama dari DPR RI dan Presiden, dengan demikian hal tersebut telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari berbagai analisis fakta, petunjuk dari ahli serta pembuktian dalam persidangan MK tentang Uji Formil UU Cipta Kerja di atas, mencerminkan berbagai penyimpangan hukum pembentukan UU a quo serta ketidaksanggupan Pemerintah dan DPR untuk membuktikan sebaliknya dalil-dalil Pemohon dalam persidangan MK tentang berbagai salah prosedur pembentukan UU Cipta Kerja yang mencakup tidak tercerminkannya keterbukaan dan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat yang berkepentingan, perumusan UU Cipta Kerja tanpa Naskah Akademik, kesalahan perumusan pasal dan ayat yang kabur dan tidak jelas yang berdampak pada substansi pasal yang dikandungnya, ketidakpastian Naskah RUU, adanya perubahan naskah setelah disahkan, serta metode Omnibus Law yang tidak dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia.
Oleh karena itu, Komite Pembela Hak Konstitusional meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon pengujian formil UU Cipta Kerja, dan menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pembentukannya bertentangan dengan UUD 1945.
Jakarta, 3 November 2021
Atas nama organisasi-organisasi yang bergabung dalam Komite Pembela Hak
Konstitusional (KEPAL)
Hormat Kami,
Koordinator Komite Komite Pembela Hak Konstitusional
Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) terdiri dari
organisasi/lembaga:
- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
- Serikat Petani Indonesia (SPI)
- Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
- Yayasan Bina Desa
- Sawit Watch (SW)
- Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
- Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
- Field Indonesia
- Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)
- Aliansi Organis Indonesia (AOI)
- Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI)
- Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)
Kontak:
Lodji : 081290767747
Gunawan : 081584745469
Andry : 081314605024