Setelah ditunda satu tahun, Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (KTM WTO) ke-12 akan digelar pada 30 November – 3 Desember 2021 bertempat di Sekretariat WTO di Jenewa, Swiss. KTM WTO digelar di tengah pandemi Covid-19 dan menjadi tantangan tersendiri, khususnya di tengah krisis multilateralisme dan krisis multidimensi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 telah menunjukkan kerapuhan sistem kesehatan dunia terutama di negara-negara berkembang dan kurang berkembang. Kondisi ini diperparah oleh praktik monopoli paten melalui Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement) yang membuat akses kesehatan menjadi semakin sulit dijangkau.
TRIPS dan Akses Kesehatan selama Pandemi
TRIPS agreement memberikan hak monopoli kepada pemegang paten untuk mengambil hak ekonomi atas invensinya. Jika dikaitkan dengan paten atas obat dan alat kesehatan, maka perusahaan pemegang paten atas obat dapat memonopoli hasil temuannya dan dapat memonopoli produk mulai dari tahap produksi, distribusi, hingga penentuan harga. Hal ini mengakibatkan harga obat-obatan menjadi lebih mahal dan terbatas karena kontrol utama berada di tangan korporasi.
Pandemi Covid-19 telah menunjukkan bahwa monopoli paten dan pengetahuan justru menghambat dunia untuk keluar dari pandemi secepat mungkin. Hingga kini telah ada 4,5 juta kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia. Sementara semua kebutuhan yang diperlukan untuk menangani pandemi seperti Alat Pelindung Diri (APD), Ventilator, Obat-obatan, Vaksin dan peralatan kesehatan lainnya dilindungi oleh paten, rahasia dagang, dan desain industri. Akibatnya berbagai kebutuhan tersebut masih dimonopoli oleh sebagian perusahaan farmasi yang membuat produknya menjadi sangat terbatas.
Monopoli paten juga membuat negara-negara tidak mempunyai pilihan selain dengan menempuh deal secara bilateral atau skema business as usual dengan perusahaan farmasi penyedia obat dan vaksin. Dengan model seperti ini, negara dengan kemampuan ekonomi politik yang kuat dapat mengamankan kebutuhan mereka lebih awal dan cenderung melakukan penimbunan melebihi kebutuhan mereka.
Respon WTO terhadap Pandemi
WTO gagal memastikan adanya akses yang berkeadilan dalam memenuhi kebutuhan pandemi Covid-19. Sejumlah negara maju pada masa awal pandemi melakukan langkah pembatasan ekspor peralatan kesehatan guna memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka yang menyebabkan gangguan akses produk kesehatan di seluruh dunia terutama di negara miskin dan berkembang. Padahal WTO memiliki peran sentral dalam mengatasi hambatan perdagangan dan kekayaan intelektual untuk meningkatkan dan mendiversifikasi produksi vaksin, diagnostik, dan terapi.
Pada masa awal pandemi, Amerika Serikat sempat melarang perusahaan 3M[1] untuk melakukan ekspor dan harus memenuhi kebutuhan dalam negeri AS. AS juga sempat mengamankan pasokan obat Remdesivir untuk negaranya saat dinilai efektif untuk pengobatan Covid-19[2]. Tindakan negara-negara maju yang melakukan pembatasan ekspor ini gagal diantisipasi oleh WTO bahkan cenderung dibiarkan. Sejumlah negara maju terus melakukan pembatasan bahkan saat vaksin mulai ditemukan, negara-negara maju telah mengamankan pasokan vaksin melebihi dari kebutuhannya sementara negara-negara berkembang justru kesulitan untuk mengamankan pasokan vaksin. Uni Eropa sempat melakukan pelarangan ekspor vaksin AstraZeneca menyusul ketidakmampuan salah satu Big Pharma tersebut untuk memenuhi kebutuhan Uni Eropa secara tepat waktu. Praktik yang dikenal sebagai nasionalisme vaksin ini mengakibatkan ketidakadilan dan ketimpangan akses yang nyata anatara negara maju dan negara berkembang. Saat ini negara-negara Eropa telah berhasil memvaksinasi bahkan hingga 70% penduduknya. Kondisi ini berbanding terbalik dengan negara-negara Afrika seperti Nigeria dan Kenya yang masih berada di bawah 5%.[3]
Perusahaan farmasi tentu bersedia memenuhi pasokan bagi negara maju terutama melalui deal secara bilateral mereka bisa memasukkan klausul yang bersifat tertutup dan rahasia. Dampaknya kepada negara, terdapat ketidak pastian mengenai harga, waktu, serta kepastian mengenai pasokan terkait vaksin. Kerahasiaan ini juga memicu perbedaan harga vaksin antara negara yang satu dengan negara lain. Afrika Selatan sempat dilaporkan dikenai harga yang tinggi ketimbang Uni Eropa. Permasalahan ini berdasar pada monopoli KI yang membuat produk-produk kesehatan masih dikontrol penuh oleh perusahaan farmasi, sehingga persoalan keterbatasan produksi hingga akses harus terlebih dahulu harus mengatasi hambatan KI yang terjadi.
Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo Iweala dalam beberapa kesempatan selalu menenkankan bahwa sistem perdagangan harus bisa berbuat banyak untuk mengatasi ketidakadilan vaksin. Namun WTO tidak dapat berbuat banyak saat dihadapkan dengan hambatan kekayaan intelektual yang menjadi masalah utama. Okonjo Iweala sempat mengusulkan Inisiatif Jalan ketiga “Third Way” yang menekankan pada pentingnya berbagi teknologi melalui pembukaan lisensi sukarela sehingga mendorong produksi di negara berkembang.
Selain itu WTO bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sempat menginisiasi dialog tingkat tinggi dengan Big Pharma pada 21 Juli 2021 guna membahas beberapa masalah termasuk soal ketidakadilan dalam akses vaksin. Pada pertemuan ini Dirjen WTO menyerukan perlunya menciptakan akses yang adil dan terjangkau pada vaksin, obat-obatan, dan diagnostik serta menyerukan agar praktik nasionalisme dihentikan. Dalam kesempatan yang sama Dirjen WHO, Tedros Adhanom mengatakan kepada Big Pharma untuk memperlakukan Paten dan Provit sebagai prioritas kedua karena pandemi Covid-19.[4] WHO mendesak Big Pharma untuk mentrasnfer teknologi dan pengetahuan ke fasilitas Covid-19 Technology Access Pool (C-TAP).
Pada pertemuan dengan WHO, Big Pharma masih mempertahankan posisi ideologis yang mendukung HKI sambil mengutip perjanjian lisensi mereka. Perjanjian lisensi tetap tidak akan efektif karena sifatnya yang sempit, rahasia, dan terbatas pada kesukarelaan perusahaan farmasi pemgang paten. Tidak ada kewajiban bagi perusahaan farmasi untuk memberikan lisensi. Perjanjian lisensi juga tidak dirancang untuk menangani keadaan darurat medis global seperti pandemi Covid-19.
Proposal TRIPS Waiver di KTM WTO ke-12
Untuk mengatasi ketimpangan akses ini, India dan Afrika Selatan pada 2 Oktober 2020 melalui WTO TRIPS Council mengusulkan Proposal “WAIVER FROM CERTAIN PROVISIONS OF THE TRIPS AGREEMENT FOR THE PREVENTION, CONTAINMENT AND TREATMENT OF COVID-19” (TRIPS Waiver).[5] TRIPS Waiver menjadi salah satu peluang untuk memberikan akses yang lebih luas pada vaksin dan peralatan. Melalui TRIPS Waiver, negara dapat memilih untuk menegakkan atau tidak menegakkan aturan paten atas alat kebutuhan terkait penanganan pandemi Covid-19 setidaknya sampai imunitas global tercapai.
Pengesampingan ini merupakan langkah penting dalam menghilangkan hambatan kekayaan intelektual yang akan memungkinkan produk-produk terkait penanganan pandemi dapat tersedia dengan akses yang lebih luas dan terjangkau. Proposal ini sudah didukung oleh 64 negara termasuk AS, Indonesia, Malaysia, Rusia, China, hingga Grup Afrika dan Grup Karibia. WHO juga menjadi pendukung penuh dari TRIPS Waiver pada kesempatan sebelumnya.[6] Sementara sekelompok kecil negara maju yang terdiri atas Uni Eropa, United Kingdom, Swiss, dan Norwegia, masih terus menolak proposal ini dan mempertahankan ketentuan KI.
Guna melanjutkan proposal ke negosiasi berbasis teks, sponsor utama telah mengajukan proposal yang direvisi ke WTO.
Oposisi dari TRIPS Waiver menaruh perhatian khusus pada durasi pengabaian. Oposisi menganggap proposal revisi yang mengajukan peninjauan ulang setelah tiga tahun pemberlakuan pengabaian dapat membuat pengabaian berlangsung secara terus menerus. Hal ini dikarenakan peninjauan ulang atas status luar biasa yang menyebabkan proposal harus mencapai konsensus di general council. India sebagai salah satu sponsor utama menanggapi bahwa durasi pengabaian mempertimbangkan ketidakpastian mengenai pandemi dan tidak memiliki niat untuk melanjutkan pengabaian dalam jangka waktu tidak terbatas, serta tidak menolak manfaat dari HKI kepada pemegang hak di luar periode pengabaian dan pandemi.
Dari segi ruang lingkup proposal akan mencakup diagnostik, terapi, vaksin, alat kesehatan, alat pelindung diri, bahan atau komponen, serta metode dan sarana pembuatannya. Dalam pernyataan pada 5 mei 2021, AS mengumumkan dukungan pengabaian tetapi hanya menyebutkan vaksin untuk Covid-19 dan tidak menyebutkan teknologi lain untuk perawatan. dan pencegahan. Dengan peningkatan infeksi dan kematian yang menakutkan di negara-negara berkembang, dan dengan perawatan yang berpotensi menjanjikan, sangat penting bahwa semua negara anggota mendukung proposal untuk mencakup tidak hanya vaksin, tetapi juga terapi, diagnostik, dan teknologi kesehatan lainnya.
Sementara dari segi jenis KI yang akan berlaku, semua pihak pendukung sepakati pengabaian tidak hanya mencakup paten tetapi juga informasi yang tidak diungkapkan, desain industri, dan hak cipta.
Proposal Uni Eropa, Upaya lain menjegal TRIPS Waiver
UE tetap pada pandangannya bahwa hambatan utama dalam produksi vaksin adalah akses ke bahan baku dan kapasitas produksi yang terbatas dan usulan pengabaian KI bukan tanggapan yang tepat terhadap pandemi. UE juga mengajukan proposal tentang “Global trade initiative for equitable access to COVID-19 vaccines and therapeutics”. Proposal yang diajukan pada 4 Juni ini tampaknya berupaya untuk melemahkan diskusi TRIPS Waiver yang tengah berlangsung. wiss sebagai salah satu penentang utama proposal pengabaian mendorong agar proposal ini juga dibahas setara bersama proposal TRIPS Waiver.
Dalam Proposal ini, UE menyatakan bahwa Lisensi wajib adalah alat yang sangat sah yang mungkin ingin digunakan oleh pemerintah dalam konteks pandemi jika solusi sukarela tidak tersedia. Padahal selama pandemi negara-negara berkembang tidak dapat memanfaatkan lisensi wajib dengan cepat karena prosesnya yang sangat lama sementara penanganan pandemi memerlukan tindakan yang cepat. Sponsor dan co-sponsor berharap bahwa Proposal UE tidak akan dibahas pada saat yang bersamaan dengan TRIPS Waiver.
Di tengah tuntutan penyelesaian TRIPS Waiver dan Proposal UE, Duta Besar Perwakilan Dagang AS (USTR) dalam kunjungannya ke Jenewa 13-14 Oktober 2021 mengusulkan “peace clause” terhadap sengketa HKI di WTO. Namun AS tidak merinci apa yang menjadi isi dari usulan tersebut. Menurut para ahli, tidak ada dasar hukum yang jelas untuk klausul perdamaian sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian dan keragu-raguan hukum dalam pelaksanaannya. Sebaliknya, pengabaian TRIPS berakar pada Pasal IX Perjanjian Marrakesh.[7]
Kredibilitas WTO Dipertaruhkan di KTM ke-12
Pada pertemuan Dewan TRIPS pada 4 Oktober 2021, sebagian besar negara berkembang menuntut hasil TRIPS Waiver yang masih tertunda. Menurut aturan pengambilan keputusan WTO (Pasal IX Perjanjian WTO), permohonan pengabaian harus diajukan kepada Dewan TRIPS terlebih dahulu dan kemudian diputuskan pada Konferensi Tingkat Menteri atau Dewan Umum WTO yang berfungsi atas nama Menteri Konferensi (Pasal IV.2 dari Perjanjian WTO).
Untuk mencapai keputusan, proposal untuk pengabaian tersebut dinegosiasikan oleh anggota WTO pada pertemuan informal dan formal Dewan TRIPS. Setelah konsensus tercapai, keputusan formal dapat dibuat di Dewan Umum WTO selama interval Konferensi Tingkat Menteri. Keputusan untuk memberikan pengabaian akan dicapai berdasarkan konsensus semua anggota WTO. Menurut aturan WTO, jika konsensus tidak dapat dicapai, keputusan pengabaian dapat dilakukan dengan pemungutan suara. Sebuah mayoritas tiga perempat diperlukan untuk keputusan yang akan dibuat melalui pemungutan suara.[8] Artinya KTM WTO ke-12 akan menjadi titik penentuan terhadap sengketa KI. Afrika Selatan menyerukan untuk menargetkan TRIPS Waiver di KTM WTO ke-12.
Negara-negara berkembang menilai bahwa respon WTO terhadap Covid-19 melalui pengesahan TRIPS Waiver adalah kunci untuk menilai kredibilitas WTO dalam merespon kondisi pandemi. Beberapa co-sponsor menyampaikan kekecewaan karena masih tidak menemukan solusi dalam negosiasi berbasis teks. WTO terus didesak untuk memprioritaskan penyelamatan nyawa di atas prioritas lainnya[9].
Pembahasan TRIPS Waiver terus dilakukan melalui TRIPS general council dan telah didukung oleh banyak negara anggota. Namun pembahasan TRIPS Waiver di dalam KTM WTO ke-12 diharapkan tidak akan dikaitkan dengan agenda ministerial lainnya karena dikhawaitrkan akan adanya kemungkinan “trade-off” kepentingan, terlebih ada agenda lain seperti subsidi perikanan dan special & differential treatment pada proposal reformasi WTO.
Referensi
- Perusahaan Multinasional yang bergerak di Bidang Industri APD
- https://www.hhs.gov/about/news/2020/06/29/trump-administration-secures-new-supplies-remdesivir- united-states.html
- https://ourworldindata.org/covid-vaccinations
- https://twn.my/title2/intellectual_property/info.service/2021/ip210705.htm
- https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=q:/IP/C/W669R1.pdf&Open=True
- https://igj.or.id/negara-maju-masih-memblokir-proposal-trips-waiver-akses-vaksin-masih-terancam/
- https://twn.my/title2/intellectual_property/info.service/2021/ip211012.htm
- https://msfaccess.org/sites/default/files/2021- 05/COVID_TechBrief_MSF_AC_IP_TRIPSWaiverQ%26A_ENG_27May2021-2.pdf
- https://twn.my/title2/intellectual_property/info.service/2021/ip210706.htm