Pandemi telah memasuki tahun kedua, penggunaan internet dan telekomunikasi yang masif telah menjadi gaya hidup baru masyarakat. Seiring itu, digitalisasi di semua bidang tengah menghadapi percepatan. Pengaturan penggunaan teknologi digital baik pada tingkat nasional maupun global yang mengatur pola relasi digital antara negara dan masyarakat global telah menjadi kebutuhan yang semakin penting. Digitalisasi dengan rendahnya pengaturan, khususnya perlindungan bagi masyarakat, pada akhirnya hanya memberikan ruang yang luas bagi pengusaha global atau dominasi kapital memperkuat dan memperluas dominasinya.
Perkembangan pemanfaatan digital dalam lingkungan baru pasca pandemik, telah menjadi alasan penting bagi penekanan agenda-agenda Ministerial Conference-12 World Trade Organization (MC-12 WTO) termasuk arah perkembangan global. Pembahasan agenda Doha yang teleh terhenti sejak tahun 2002, semakin tergeser oleh isu-isu lain yang baru seperti Joint Statement Initiative (JSI) dibidang e-commerce yang telah melaporkan beberapa kemajuan. Teks draft regulasi JSI on e-commerce sejak april 2021 telah berhasil dilakukan maupun jumlah negara yang bertambah dari 71 negara pada tahun 2017 hingga menjadi 86 negara pada tahun 2021.
Kampanye utama JSI on e-commerce adalah mengajak negara-negara anggota WTO, khususnya negara-negara berkembang untuk mengembangakn e-commerce demi meningkatkan kapasitas ekonomi masing-masing negara, khususnya bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan peningkatan peran perempuan di dalamnya. Agenda liberalisasi perdagangan yang dilakukan secara digital ini tidak hanya mengatur perdagangan dengan fasilitas digital, tetapi juga pengaturan yang berdampak pada penggunaan fasilitas digital secara luas. Hal ini memberikan dampak pada berbagai sektor dan bidang, tidak hanya perdagangan dan berbenturan dengan perbedaan kondisi da kepentingan masing-masing negara.
Negara inisiator, Singapura, Australia dan Jepang, telah melaporkan kemajuan melalui draft kedua yang dilaporkan pada pleno September 2021. Draft teks konsolidasi kedua setebal 92 halaman melaporkan kemajuan pada beberapa persoalan yaitu: aturan spam (rules on spam), otentikasi elektronik (electronic authentication) dan perlindungan konsumen. Target para peserta pada konferensi tingkat menteri ke-12 (MC12) WTO pada akhir November 2021 atau awal Desember 2021 dapat menyetujui sekitar sepuluh bidang kelihatannya masih sulit akan bisa tercapai. Sebabnya akibat masih terdapat banyak perbedaan, perdebatan hingga pertentangan pada bagian-bagian yang hendak diatur.
Anggota JSI tetap memiliki banyak perbedaan pada masalah penting seperti terkait aliran data dan lokalisasi data, privasi data, akses pasar, bea cukai, keamanan siber, dan fasilitasi perdagangan. Perbedaan dan perdebatan ini kelihatannya bisa memakan waktu cukup lama hingga beberapa waktu kedepan mengingat jumlah bagian yang dibahas dan kompleksitas yang ditimbulkannya. Seperti dilaporkan oleh Third World Network (TWN), draft teks konsolidasi berisi enam bab: (1) memungkinkan perdagangan elektronik; (2) keterbukaan dan perdagangan elektronik; (3) kepercayaan dan perdagangan elektronik; (4) isu lintas sektoral; (5) telekomunikasi; dan (6) akses pasar.
Bab keterbukaan dan perdagangan elektronik merupakan bagian yang sensitif dan memiliki banyak perdebatan yaitu meliputi persoalan (a) non-diskriminasi dan tanggung jawab; (b) arus informasi seperti arus data lintas batas, lokasi fasilitas komputasi, lokasi fasilitas komputasi keuangan untuk pemasok layanan keuangan tertutup, bea cukai pada transmisi elektronik, akses ke internet dan data. Isu-isu tersebut berkaitan dengan kedaulatan, keamanan negara dan publik, resiko gangguan pelanggaran hukum, kerugian pendapatan negara lewat pajak hingga data pribadi. Negara-negara penandatangan Trans Pacific Partnership (TPP) terlihat cenderung mendorong keras point-point yang telah mereka sepakati dalam TPP sebagai model yang akan dilakukan seperti terkait aliran data dan pelokalan data. Persoalan akses terhadap sumber kode juga menjadi persoalan, dimana beberapa negara menuntut pengabaian terhadap larangan akses source code dalam rangka membangun sektor digital mereka.
Pada bab telekomunikasi, negara-negara seperti Uni Eropa (EU), Norwegia, Inggris, Uruguay dan Republik Rakyat Cina (RRC) terlihat lebih mendominasi dalam memberikan usulan. Pada bagian layanan komputer interaktif (pelanggaran), non-diskriminasi dan kewajiban, layanan interaktif (pembatasan kewajiban) yang diusulkan AS tetap masih belum disetujui dan belum mendapatkan tanggapan.
Sementara itu Amerika Serikat (AS), EU dan RRC dilaporkan telah membuat proposal yang beragam dan bertentangan sehingga menjadi pertarungan sengit dalam usulan pada bab akses pasar. Bab ini meliputi (1) akses pasar jasa; (2) masuk dan tinggal sementara personel terkait perdagangan elektronik; dan (3) akses pasar barang. Akses pasar jasa meliputi jasa bisnis, jasa komunikasi, jasa telekomunikasi, jasa distribusi, jasa keuangan, jasa transportasi, dan jasa bisnis maritim. Area masuk dan persinggahan sementara personel, terkait perdagangan elektronik diusulkan oleh RRC dengan daftar area akses pasar China meliputi logistik, infrastruktur, transportasi, dan pergerakan personnel. Meskipun terdapat reaksi menolak memasukan pergerakan personel dalam aturan e-commerce tetapi RRC bersikeras mengatakan hal tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan aturan perdagangan digital.
Selain perdebatan dan persaingan dalam usulan bab, seperti bagaimana beberapa negara terlihat aktif bergerilya menyebarkan usulan-usulan mereka, rapat pleno WTO pada bulan September 2021 juga dilaporkan soal respon negara-negara berkembang terkait perkembangan digital di negara mereka. Umumnya negara berkembang dan belum berkembang menyuarakan keprihatinan mereka atas peningkatan kapasitas dan usulan bantuan teknis. Perubahan usulan teks yang diajukan kelompok negara-negara berkembang pada prinsipnya cenderung pada mengusulkan adanya pemberian bantuan teknis, peningkatan kapasitas dan keterampilan, kontribusi negara maju dalam membantu mengembangkan khususnya negara Low Development Country (LDC), membantu meningkatkan infrastruktur perdagangan elektronik, membantu transisi digital dan kesenjangan digital dan membantu UMKM.
Perkembangan perdebatan yang terjadi dalam anggota JSI membuat posisi AS yang mencoba mendorong pembentukan aturan terlebih dahulu ketimbang hal lain, justru semakin terpojok. AS yang sangat berkepentingan mendorong liberalisasi aliran data dan lokalisasi data, justru mendapatkan tantangan dari banyak negara, khususnya EU dan RRC. Banyaknya negara menggunakan Genear Data Protection and Regulation (GDPR) sebagai acuan regulasi nasional mereka pada akhirnya membuat AS berada pada posisi yang lebih sulit. RRC sekalipun tidak memberikan reaksi tegas, tetapi menunjukan kecenderungan memilih GDPR sebagai acuan pengaturan aliran data dan lokalisasi data. Pengggunaan GDPR sangat mempengaruhi aktifitas dominasi perusahaan besar digital AS serta pengenaan pajak yang dapat dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan besar tersebut.
Selain perkembangan JSI on e-commerce, isu lain yang juga menguat adalah pembahasan tax pada perdagangan digital atau e-commerce. Upaya ini tidak hanya menjadi pembahasan di WTO tetapi menguat pada pembahasan di G20. Indonesia adalah salah satu negara yang cukup gencar mendorong adanya aturan mengambil pajak dari perusahaan besar teknologi atau Giant Tech yang selama ini meraih banyak keuntungan dan jauh dari jangkauan regulasi. Salah satu isu penting terkait hal ini adalah moratorium e-commerce yang telah dilakukan sejak tahun 1998. Moratorium yang membebaskan e-commerce dari aturan pajak dan lainnya, seyogyanya berlaku dalam jangka pendek dan dievaluasi setiap 2 tahun. Tetapi pada kenyataannya, setelah lebih 20 tahun hal tersebut masih terus berlangsung, sementara perusahaan digital telah meraih untung yang sangat besar. Tidak saja terkait keuntungan yang diambil oleh Giant Tech , tetapi juga terkait terjadinya pengambilan redistribusi kapital yang dibutuhkan bagi pembangunan di negara-negara berkembang atau layanan publik bagi semua negara. Alih-alih menghentikan moratorium, AS sebaliknya mendorong menerapkannya secara permanen. Upaya tersebut mendapatkan reaksi sebaliknya dari negara-negara berkembang, termasuk juga EU, yang mulai menerapkan pengenaan pajak terhadap perusahaan-prusahaan berbasis platform atau digital.
E-commerce dengan proses digitalisasi yang melekat bersamaan dengannya, memberikan spektrum yang luas. Tidak hanya terbatas pada fasilitasi perdagangan, tetapi juga menjadi objek perdagangan itu sendir dalam bentuk intengible. Akibat digitalisasi, sektor yang lingkupi juga sanagat luas dan beragam, hingga silang sektor seperti pada perdebatan RRC terhadap isu perpindahan personal. Selain juga menyentuh persoalan investasi secara digital dan finansial dalam bentuk digital, persoalan tax telah berkembang menjadi nilai yang sangat terlebih bagi negara berkembang. E-commerce, perdagangan digital (digital trade), ekonomi berbasis platform atau apapun namanya, juga telah menjadi aktifitas yang mengumpulkan data dan informasi sebagai suatu pengetahuan maupun sumber pengetahuan yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara berkembang dalam kebutuhan pembangunan dan masyarakat mereka. Hal-hal tersebut membuat regulasi e-commerce atau apapun yang berkaitan dengan digital harus segera dilakukan dengan menjaga nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan umat manusia.
Dominasi giant tech dalam dunia digital telah mengkuatirkan dan menciptakan ketimpangan global termasuk penguasaan berbagai sumber daya global didalamnya. Upaya pemerintah Australia mengeluarkan UU dan kemenangan mereka memaksa Google dan Facebook membayar setiap konten pada platform mereka yang berasal dari media lokal di Australia telah menjadi inspirasi bagaimana hal tersebut dapat diatur dan dikontrol. Hal ini menjadi catatan penting dalam menghadapi dominasi giant tech yang selama ini menguasai platform dan mendapatkan keuntungan dari data atau konten yang dihasilkan publik atau organisasi kecil pada suatu negara.
Kesimpulan
- Negara kordinator, Australia, Jepang dan Singapura, yaitu negara penandatangan TPP, akan terus mendorong kesepakatan-kesepakatan liberalisasi melalui aturan e-commerce ini. Hal ini terlihat dengan kemajuan draft teks, sekalipun baru menyepakati hal-hal yang paling mudah, serta perkembangan jumlah anggota, terlebih dengan adanya dampak Covid-19 yang semakin memperkuat kebutuhan akan digitalisasi diberbagai bidang.
- Kesepakatan tidak akan berjalan mudah akan membutuhkan waktu yang cukup lama mengingat perbedaan dan perdebatan yang terjadi dan yang mungkin berkembang. Tetapi melihat respon usulan negara-negara berkembang yang cenderung meminta kompensasi ketimbang penolakan atau usulan regulasi yang lebih kuat, maka peluang terjadinya percepatan kesepakatan atas draft yang ada bisa saja terjadi.
- Mengacu pada Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership (IA-CEPA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dimana pengaturan e-commerce digantungkan pada aturan multilateral (WTO), maka aturan terbuka atau yang menggantung pada FTA akan menjadi ruang yang longgar dan akan berjalan secara efektif. Bagi negara-negara yang tidak memiliki aturan yang kuat dan memadai secara nasional akan mendapatkan kerugian.
- E-commerce atau perdagangan digital merupakan jalan lain terjadinya liberalisasi dalam spektrum yang luas dan pada akhirnya mempersempit ruang negara-negara berkembang dama membangun ekonomi dan menjaga kepentingan mereka. Regulasi yang sedang disusun ini pada akhirnya menjadi pukulan balik bagi negara-negara berkembang yang selama ini memperjuangkan kepentingan mereka di WTO.