Petani dan Komunitas Masyarakat Sipil Tolak Indonesia Bergabung Menjadi Anggota UPOV dan Menuntut agar Mengimplementasikan Deklarasi UNDROP yang Melindungi Hak-Hak Dasar Petani Kecil
Jakarta, 7 Desember 2021 – Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan mendesak kepada Pemerintah Indonesia agar tidak bergabung menjadi anggota Organisasi Perlindungan Varietas Tanaman Dunia (UPOV). Bahwa penolakan terhadap UPOV yang bertepatan dengan 60 tahun UPOV Convention tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan ada 285 organisasi dari 47 negara yang juga menyerukan agar UPOV dibubarkan dalam Pekan Aksi Global menolak UPOV.
Sejak menandatangi dan merundingkan beberapa perjanjian perdagangan bebas, seperti: Perjanjian Indonesia-EFTA CEPA, Perjanjian Kemitraan Ekonomi Menyeluruh Indonesia dan Uni Eropa-IEU CEPA, Kemitraan Ekonomi Indonesia Jepang-IJEPA, dll, Indonesia mendapat tekanan untuk bergabung dengan UPOV. Tekanan agar Indonesia menjadi anggota UPOV 1991 mengancam kebebasan petani kecil untuk membudidayakan dan membagikan benihnya sendiri dan karenanya akan meningkatkan kriminalisasi terhadap petani. Tidak hanya itu, petani juga khawatir akan kemungkinan homogenitas benih dan sistem budidaya pertanian, padahal Indonesia memiliki keragaman tanaman dan sistem pertanian paling banyak.
Lebih mengkhawatirkan lagi, rencana peta jalan (roadmap) yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia untuk bergabung dengan UPOV 1991 hanya mempertimbangkan aspek ekonomi-bisnis semata. Tidak memperhatikan aspek HAM, keberlanjutan dan Hak-Hak Dasar petani kecil. Tentunya, ini semakin menciderai hak-hak petani kecil yang tidak diperhitungkan sebagai subjek penting dalam mengelola pertanian. Pemerintah seharusnya juga berkaca dari implementasi Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang diskriminatif dan menyingkirkan petani dalam konteks pemuliaan benih.
Terlebih lagi, bila Indonesia bergabung dengan UPOV 1991 akan bertolak belakang dengan Deklarasi UNDROP (Deklarasi PBB atas Hak Petani dan Masyarakat yang Bekerja di Perdesaan) yang semangatnya jelas memberikan jaminan perlindungan bagi hak-hak petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.[1]
Berdasarkan persoalan diatas, kami Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan hendak menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
- UPOV 1991 membatasi hak petani
Rezim perlindungan varietas tanaman yang diatur dalam UPOV 1991 mempersempit ruang kebijakan bagi negara untuk melindungi hak-hak petani melalui regulasi nasional. Aturan UPOV 1991 mengharuskan regulasi perlindungan varietas tanaman maupun aturan paten benih yang sesuai klausulnya dengan UPOV 1991. Aturan ini jelas diperuntukkan bagi pemulia benih perusahaan, sehingga aspek ekonomi-bisnis yang menjadi arus utama dalam aturan UPOV 1991. Bila dilihat Pasal 14 UPOV Convention ruang lingkup pemulia dipersempit hanya bagi pemulia yang telah memiliki hak paten atas benih maupun perlindungan atas varietas tanaman. Secara otomatis tidak ada perlindungan terhadap pemulia petani kecil atas benih, karena tidak diatur di dalamnya.
UPOV akan menghilangkan pengetahuan lokal serta budaya bertani bagi petani kecil dalam mengelola benih lokal secara turun menurun. UPOV tidak menghormati bahkan mengakui pola bertani petani kecil sebagai subjek yang telah mengelola pertanian dan pangan sejak dahulu kala secara tradisional-mandiri.
- UPOV 1991 bertolak belakang dengan Deklarasi UNDROP dan Perjanjian ITPGRFA – International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture
UPOV 1991 akan menghambat pemberlakuan Ratifikasi UU No. 4 Tahun 2006 tentang Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian, khususnya terhadap Pasal 9 dalam perjanjian ITPGRFA yang melindungi dan menghormati hak-hak petani.[2] Pasal 9 ITPGRFA mengakui secara komprehensif tentang perlindungan pengetahuan tradisional petani dan masyarakat adat, hingga hak untuk didengar serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan pada urusan pertanian dan pangan.
Lebih jauh, UPOV 1991 telah jelas bertentangan dengan UN General Assembly tentang Resolusi UNDROP (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas). Jelas dan tegas dalam Pasal 19 Deklarasi UNDROP ini mengakui delapan hak fundamental petani dan orang yang bekerja di perdesaan atas pertanian mereka. Mulai dari hak untuk memelihara, mengontrol, melindungi dan mengembangkan benih serta pengetahuan tradisional mereka sendiri. Hingga mendorong negara untuk melindungi kepentingan petani yang dimuat dalam kebijakan nasional.
Hak-hak petani yang telah diatur baik dalam Perjanjian ITPGRFA yang telah diratifikasi Indonesia maupun dalam Deklarasi UNDROP itu akan terabaikan bila Indonesia “ngotot” atau bergabung menjadi anggota UPOV 1991.
Ini menjadi catatan inkonsistensi sebenarnya bagi Pemerintah Indonesia, bila “ngotot” bergabung menjadi anggota UPOV 1991. Karena petani dihadapkan pada ketidakjelasan implementasi kebijakan perlindungan bagi mereka. Seharusnya, Pemerintah Indonesia bijak dalam melindungi hak-hak petani melalui pengaturan yang sudah dikomitmenkan, bukan justru “ngotot” menjadi anggota UPOV 1991 yang jelas merugikan hak-hak petani dan lebih menguntungkan pemulia benih perusahaan.
- UPOV mengakibatkan erosi keanekaragaman hayati
Syarat keseragaman dan stabilitas benih memfokuskan pada upaya pengembangan varietas standar yang terbatas. Varietas petani tidak dapat memenuhi kriteria ini karena terus berevolusi. UPOV hanya menghargai homogenitas dan bukan keaneka-ragaman hayati sumber daya pertanian. Pendekatan yang subyektif ini telah menyebabkan terjadinya erosi genetik, serta membuat tanaman rentan terhadap serangan hama, penyakit, dan tekanan perubahan iklim. Diperkirakan sekitar 75% keragaman genetik tanaman telah hilang karena petani di seluruh dunia terpaksa meninggalkan varietas lokal mereka untuk varietas yang seragam secara genetik yang hanya menghasilkan panenan di bawah kondisi tertentu. Hal ini juga menyebabkan keanekaragaman genetik dalam tanaman juga menurun.
Lebih jauh, keanekaragaman genetik dan sifat benih yang beragam dan menyesuaikan dengan karakteristik lingkungan sekitar memiliki arti penting dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologis petani. Sehingga mereka dapat menyiasati budaya pertanian dan menjaga keberlangsungan pertanian mereka selama bertahun-tahun. Ini akan terancam seketika ketika benih-benih homogen mengintervensi pertanian petani. Bila terus dipaksakan bergabung UPOV 1991, maka Pemerintah Indonesia ikut membunuh keanekaragaman benih dan tanaman pangan Nusantara.
Bukan hanya membunuh keanekaragaman hayati dan unsur mikrobiologis, melainkan memusnahkan keanekaragaman hayati endemik yang merupakan entitas geografis suatu situs kehidupan masyarakat agraris di Indonesia.
- UPOV memberatkan ongkos produksi petani
Karena UPOV mengenakan aturan paten dan sertifikasi benih, petani yang ingin mengakses benih tersertifikasi tersebut harus membayar terus-terusan dan tidak dapat menyimpan benih dari hasil panen untuk musim tanam berikutnya karena dianggap melanggar hukum. Hal ini membuat biaya produksi petani semakin membengkak. Indonesia dapat belajar dari Thailand yang bahkan memperkirakan kenaikan 200-600% harga benih.
Dalam ongkos produksi, penggunaan pupuk kimia dapat merusak unsur hara dan mikroorganisme pengurai tanah, mengakibatkan mutasi organisme pengganggu tanaman yang semakin kebal, sehingga petani perlu mengeluarkan ongkos tambahan untuk pengendalian hama dan penyakit.
Benih yang dijual oleh perusahaan-perusahaan agrokimia, terutama perusahaan transnasional yang dapat semakin menjual produknya dengan bebas ke Indonesia apabila Indonesia menjadi anggota UPOV 1991, kerap menjual pestisida kimia sebagai satu paket dengan benih tersebut. Selain kenaikan ongkos produksi, penggunaan pupuk kimia dapat semakin merusak tanah dan berdampak pada kesehatan petani. Naiknya biaya produksi petani dapat membuat segelintir petani sulit untuk memberlangsungkan usaha taninya dan dapat beralih kerja, apalagi dengan permasalahan pertanian lain yang dialami Indonesia.
Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan hal-hal berikut:
- Tolak segala desakan dan tekanan yang mendorong Indonesia untuk menjadi anggota UPOV 1991;
- Hentikan ratifikasi maupun penandatangan perjanjian perdagangan bebas yang memaksa Indonesia untuk menjadi anggota UPOV, seperti IEU CEPA, IEFTA CEPA, IJEPA, yang akan berdampak luas bagi perlindungan hak-hak petani kecil;
- Implementasikan Deklarasi UNDROP termasuk implementasikan perjanjian ITPGRFA dengan memperkuat hak-hak petani ke dalam regulasi nasional.
****
[1] UNDROP Selengkapnya dapat baca di link berikut: https://digitallibrary.un.org/record/1650694.
[2] Selengkapnya dapat dibaca di: https://www.fao.org/3/i0510e/i0510e.pdf.
Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan:
FIAN Indonesia, Indonesia for Global Justice (IGJ), Serikat Petani Indonesia (SPI), Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Indonesia Human Rights Committe for Social Justice (IHCS), Aliansi Petani Indonesia (API), Solidaritas Perempuan, Bina Desa, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Yayasan Tananua Flores, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS), FSBKU – KSN, KOBETA, FIELD Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Kediri Bersama Rakyat (KIBAR), Perkumpulan Inisiatif, WALHI Kalteng, FSRP – KSN, FS-Pasopati-KSN, Samawa Islam Transformatif (SIT), Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (BITRA), Agrarian Resources Center (ARC), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), Komunitas Desa (Komdes)-Sulawesi Tenggara, Yakines, Yayasan Sintesa, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI).