Kepada YTH,
- Bapak Ir. H. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia - Ibu Dra. Retno Lestari Priansari Marsudi, LL.M.
Menteri Luar Negeri RI - Bapak Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU.
Menteri Kesehatan RI - Bapak Muhammad Lutfi
Menteri Perdagangan RI - Bapak Febrian A. Ruddyard
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh PTRI Jenewa - Bapak Dandy Satria Iswara
Duta Besar Indonesia untuk WTO - Bapak Djatmiko Bris Witjaksono
Direktur Jenderal Kerjasama Perundingan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI
Dengan hormat,
Sejak awal pandemi, terjadi ketimpangan terhadap akses ke produk-produk medis yang diperlukan untuk penanganan COVID-19. Ketimpangan besar dalam akses pada vaksin, diagnostik dan terapi kesehatan (obat-obatan dan produk medis) antara negara maju dan berkembang masih berlanjut sampai hari ini. Padahal akses ini adalah kunci untuk memfasilitasi dan mempertahankan pemulihan sosial-ekonomi dan mencegah perkembangan infeksi parah atau
kematian.
Pada Oktober 2020, Afrika Selatan dan India mengajukan proposal penangguhan sementara aturan kekayaan intelektual atau TRIPS Waiver kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Proposal ini telah mendapat dukungan dari masyarakat dan 63 Anggota WTO, termasuk Indonesia. Kekayaan intelektual seperti paten, perlindungan informasi yang dirahasiakan merupakan penghalang bagi masuknya pabrikan obat lokal. Laporan awal lanskap paten COVID dari World Intellectual Property Organization menunjukkan bahwa dari tahun 2020 hingga September 2021, sudah ada 5293 pengajuan paten tentang teknologi yang terkait dengan COVID-19 secara umum termasuk 1465 pengajuan paten tentang terapi dan 417 tentang pengembangan vaksin. Banyak paten telah diberikan. Know-how yang terlibat dalam pembuatan vaksin dilindungi sebagai informasi yang dirahasiakan. Proposal TRIPS Waiver mendorong percepat pemulihan pandemi COVID-19 melalui perluasan produksi vaksin, alat diagnostik dan terapi kesehatan (obat-obatan dan produk medis lainnya).
Proposal ini bermaksud untuk mendorong keterlibatan negara-negara berkembang dalam proses produksi untuk mempercepat proses distribusi vaksin. Upaya ini dilakukan dengan perluasan HAKI dan transfer knowledge antara negara maju dan berkembang. Hal di atas menunjukkan bahwa pengabaian kewajiban kekayaan intelektual yang relevan (TRIPS) yang efektif, luas, dan mudah digunakan (paten, perlindungan informasi yang tidak diungkapkan, desain industri, dan hak cipta) dapat berkontribusi terhadap diversifikasi dan perluasan opsi pasokan, dengan memberikan ruang kebijakan yang lebih besar kepada
pemerintah dan produsen kebebasan untuk beroperasi.
Namun, proposal ini menghadapi resistensi dari negara-negara maju. Pekan lalu, telah beredar sebuah dokumen yang berisikan hasil lobby antara negara India dan Afrika Selatan kepada Amerika Serikat dan Uni Eropa, untuk penerapan TRIPS Waiver. Hanya saja, dokumen tersebut terbatas pada vaksinasi dan tidak mencangkup produksi alat diagnostik dan terapi kesehatan (obat-obatan dan alat medis lainnya). Lebih lanjut hak paten hanya ditangguhkan, dan tidak
mengakomodir seluruh poin dalam proposal TRIPS Waiver. Berikut ini rincian dokumen yang beredar dan perlu menjadi perhatian bersama :
- Pada ayat 1, keputusan dibatasi “sejauh yang diperlukan untuk mengatasi pandemi COVID-19” artinya hanya berlaku selama COVID-19 adalah pandemi, meskipun durasinya diperkirakan 3 atau 5 tahun.
- Tidak jelas bagaimana jika situasinya adalah aplikasi paten yang masih diproses karena paragraf 2 hanya berbicara tentang materi yang telah dipatenkan. Pada kenyataannya aplikasi paten yang masih diproses juga dapat menciptakan efek menakutkan masuknya produsen lainnya.
- Para 3(a) menambahkan suatu kondisi sehubungan dengan penggunaan Pasal 31 (TRIPS). Kondisi ini yaitu daftar paten yang dicakup oleh otorisasi tidak ada dalam Perjanjian TRIPS dan karenanya adalah TRIPS-plus. Tidak mungkin untuk mengetahui lanskap paten penuh untuk teknologi COVID-19. Misalnya pengembangan vaksin mRNA membutuhkan lebih dari 200 ratus komponen, tidak mungkin untuk mengetahui lanskap paten penuh untuk semua komponen. Referensi ke laporan lansekap paten WIPO tidak membantu menyelesaikan masalah karena laporan itu sendiri mengatakan bahwa itu tidak dapat memberikan lanskap paten penuh.
- Para 5 dan Catatan Kaki 4 menambahkan ketentuan TRIPS-plus tambahan untuk penggunaan Pasal 31. Pemberitahuan kepada Dewan TRIPS tentang penerbitan otorisasi/lisensi wajib berdasarkan Pasal 31 dan entitas, jumlah, produk, negara yang tercakup dalam otorisasi/ lisensi wajib tidak disyaratkan oleh Perjanjian TRIPS. Paragraf 5 dan Catatan Kaki 4 merupakan kondisi TRIPS-plus yang akan membuka pemerintah negara berkembang terhadap tekanan signifikan dari negara maju.
- Teks yang bocor tidak memberikan waiver atas Pasal 39 (TRIPS). Sebaliknya paragraf 4 menghubungkan klarifikasi Pasal 39.3 (perlindungan informasi yang tidak diungkapkan) dengan penerbitan otorisasi berdasarkan Art. 31 untuk mengatasi hambatan paten. Teks kompromi tersebut gagal untuk mengakui bahwa Pasal 39 – perlindungan informasi yang dirahasiakan merupakan penghalang terlepas dari status paten.
- Teks yang bocor menyatakan bahwa solusi terapi dan diagnostik akan disepakati dalam 6bulan. Mengingat bahwa telah memakan waktu 18 bulan sejak pengajuan proposal pengabaian TRIPS untuk mencapai titik ini, solusi tidak mungkin dilakukan dalam 6 bulan. Dan jika solusi tercapai, ada kemungkinan besar bahwa teks yang sangat cacat ini akan diterapkan pada terapi dan diagnostik.
- Teks yang bocor juga tidak menghindari pembayaran remunerasi ganda yaitu di negara pengekspor dan pengimpor untuk produk yang sama.
Dokumen yang bocor dan telah tersebar ini mendapatkan kritik dari beberapa profesor hukum dan organisasi masyarakat sipil (OMS) di seluruh dunia, termasuk pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Doctors Without Borders (MSF) (terlampir). Mereka menilai bahwa dokumen ini secara keseluruhan tidak berarti dan mengabaikan proposal TRIPS secara utuh.
Penilaian keseluruhan bahwa teks ini tidak memberikan hasil yang berarti pada proposal Pengabaian TRIPS. Meskipun dapat mengesampingkan Pasal 31(f) dan prosedur rumit terkait yang terkandung dalam Pasal 31bis, hal ini tetap tidak menyediakan jalur yang lebih sederhana bagi produsen generik atau produsen berikutnya. Sebaliknya dengan menambahkan persyaratan tambahan akan menghalangi akses yang lebih lanjut.
Pertimbangan utama lainnya adalah kemungkinan bahwa teks yang sangat lemah ini dapat digunakan untuk mencari konsesi lebih lanjut dari negara berkembang Anggota WTO di bidang negosiasi lainnya. Oleh karena itu kami mendesak pemerintah Indonesia untuk :
- (i) TIDAK menerima usulan dalam dokumen yang telah tersebar;
- (ii) Mencari perbaikan substantif yang memberikan pengabaian (waiver) yang berarti yaitu pengabaian langsung dan tanpa syarat dari perjanjian TRIPS Pasal 31(a), (b), (f), Pasal 28.1, Pasal 39 dan Bagian III TRIPS. Pengabaian tersebut juga harus mencakup terapi dan diagnostik dan tidak persyaratan tambahan TRIPS-plus.
Hormat kami,
- Indonesia for Global Justice
- Indonesia AIDS Coalition
- Lapor Covid-19
- Transparency International Indonesia
- The PRAKARSA
- Yayasan Spiritia
- YAKKUM
- Solidaritas Perempuan
- Serikat Petani Indonesia
- Yayasan ELSA
- Yayasan Penabulu
- Rumah Cemara
- AIDS Healthcare Foundation
- Stop TB Partnership Indonesia
- Save the Children
- Jaringan Indonesia Positif
- Yayasan Rekat Peduli Indonesia
- YAPPIKA-ActionAid
- Human Initiative
- PKBI Jabar