Pelindung tatanan ekonomi Internasional gagal dalam memberikan pembiayaan pembangunan yang sangat dibutuhkan oleh negara Selatan. – Ditulis oleh: Bhumika Muchala
Pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan menteri keuangan dari negara anggota G20 di bulan Oktober menggambarkan bahwa meskipun krisis utang bersejarah melanda negara-negara berkembang dan kebutuhan mendesak atas pendanaan eksternal untuk kesehatan dan pemulihan ekonomi, lembaga-lembaga ekonomi global yang diatur oleh negara-negara kaya tidak memiliki kemauan politik untuk memberikan solusi yang berarti.
Sejak awal adanya kekurangan dalam kerangka keringanan utang G20 atau dapat disebut sebagai debt relief framework telah gagal untuk merestrukturisasi utang negara atau sovereign debt, dimana belum adanya perubahan atau upaya baru apa pun untuk memobilisasi partisipasi sektor swasta dalam meringankan utang. Terlepas dari seruan luas untuk mendaur ulang Hak Penarikan Khusus atau Special Drawing Rights (SDR) dari negara-negara kaya ke negara-negara miskin, hanya beberapa negara yang membuat komitmen untuk melakukannya dengan menggunakan mekanisme pinjaman bersyarat yang selanjutnya akan mendorong langkah-langkah konsolidasi fiskal di negara-negara berpenghasilan rendah.
Terlepas dari hilangnya independensi kebijakan dan vaksin, dimana negara dengan ekonomi maju dapat memberlakukan program stimulus fiskal besar-besaran dan membuka ekonomi mereka, banyak negara berkembang menghadapi siklus deflasi dan keputusasaan. Laporan World Economic Outlook (WEO) yang dibuat oleh IMF menegaskan bahwa semakin kuatnya perbedaan antara Utara dan Selatan dimana negara-negara maju akan kembali ke proyeksi pertumbuhan sebelum krisis di tahun 2022 sementara pemulihan negara-negara berkembang akan berlanjut hingga 2024, yang ditandai oleh dampak permanen ekonomi berkepanjangan atau permanent economic scarring dan kerugian pendapatan’ di negara Selatan. WEO menyimpulkan bahwa pengangguran adalah pendorong utama kesenjangan ini dan tingkat pengangguran akan terus meningkat jika masalah dengan vaksinasi menyebabkan COVID-19 menjadi ‘endemik’ .
Sebuah Model Pinjaman Baru (dan bersyarat) untuk mendaur ulang SDRs?
Setelah Prancis mengumumkan akan menyalurkan 20% dari alokasi SDR-nya ke negara-negara Afrika, dengan fokus kepada sumbangan vaksin, semua mata tertuju pada pertemuan tahunan di bulan Oktober tersebut. Dalam panel virtual, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan bahwa ‘angka 100 miliar sangat dapat dicapai’, merujuk pada beberapa negara yang telah menyatakan niat mereka untuk menyalurkan SDR tetapi belum memberikan jumlah pasti. Mengingat urgensi ruang fiskal dan pembiayaan eksternal di negara-negara berkembang dengan diharapkannya rincian lebih lanjut.
IMF ditugaskan oleh keanggotaan G20, G7 dan IMF sendiri untuk merancang mekanisme daur ulang pendanaan. Sebagai tanggapan, IMF mengusulkan mekanisme dua jalur utama: meningkatkan fasilitas pinjaman Pengurangan Kemiskinan dan Pertumbuhan atau Poverty Reduction and Growth Trust (PRGT) yang sudah lama ada untuk negara-negara berpenghasilan rendah, dan membangun Resilience and Sustainability Trust (RST) baru yang akan dapat diakses oleh negara-negara berpenghasilan menengah.
Walaupun kedua proposal diterima oleh organisasi G20 dan G24 dari negara-negara berkembang di IMF, kritik bertahun-tahun membayangi PRGT untuk kondisi konsolidasi fiskal, termasuk oleh IMF itu sendiri. Penelitian empiris telah lama mengilustrasikan bagaimana PRGT menyusutkan pengeluaran publik untuk layanan sosial yang sangat diperlukan dan karyawan di bidang kesehatan dan pendidikan dan mempromosikan langkah-langkah perpajakan regresif yang secara tidak proporsional dimana dapat merugikan perempuan dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Sementara itu, RST, yang masih dalam proses dan akan diajukan untuk disetujui oleh Dewan IMF di tahun 2022, merupakan fasilitas pinjaman pertama untuk mengatasi risiko neraca pembayaran yang berasal dari perubahan iklim dan pandemi, yang menampilkan persyaratan terkait iklim atau pandemi. kesiapsiagaan yang dirancang dan dipantau dengan koordinasi dengan World Bank.
Ada tiga kekhawatiran utama yang sudah muncul setidaknya saat ini atau saat ditemukan dan dipublikasikan atas desain RST ini. Pertama, akses ke RST yang sama pada program pinjaman IMF bersyarat yang sudah ada. Menurut satu-satunya sumber yang diterbitkan oleh RST, kemungkinan hal ini dianggap sebagai ‘top up atau menambahkan’ program pinjaman IMF reguler. Kedua, sementara banyak komunitas internasional telah meminta IMF untuk mendukung negara-negara yang berisiko atas dampak transisi iklim termasuk pembiayaan dalam transisi yang adil, RST tidak boleh dihitung hanya sebagai pendanaan iklim.
Selanjutnya, RST sebagai dukungan anggaran langsung untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, sedangkan RST seharusnya dapat membahas distorsi anggaran yang mungkin timbul dari perubahan iklim. Ketiga, masih harus dilihat apakah tujuan RST yang dinyatakan untuk menghasilkan pembiayaan swasta dan multilateral lainnya yang dapat melibatkan terciptanya lingkungan yang memungkinkan bagi kepentingan pribadi keuangan swasta dalam menempa skema orientasi iklim yang dapat diinvestasikan untuk lebih banyak keuntungan daripada untuk kesejahteraan orang.
Dalam sebuah surat kepada pejabat keuangan G20 dan IMF, lebih dari 280 organisasi dan jaringan masyarakat sipil, termasuk peneliti dan akademisi, menyerukan seperangkat prinsip untuk mengatur penyaluran SDR secara adil ke negara-negara berkembang. Prinsip-prinsip ini termasuk menghindari lampiran persyaratan kebijakan dan akrual lebih banyak utang, menghindari penghitungan ganda SDR sebagai bantuan, dan memastikan akses bagi negara-negara berpenghasilan menengah yang sering dikecualikan dari skema multilateral.
Surat itu menekankan pentingnya mendaur ulang SDR melalui dana hibah atau dana bantuan? yang memfasilitasi dukungan anggaran layanan publik dan pemulihan yang adil untuk mendukung keadilan iklim, dan mengatasi ketimpangan ekonomi dan gender, termasuk beban kerja perawatan (care work) tak berbayar yang ditanggung perempuan dan dapat memperburuk dampak pandemi. Hal ini menjadi kesempatan penting untuk mengubah prinsip dasar pembiayaan pembangunan secara progresif dalam arsitektur keuangan global yang telah terlewatkan oleh IMF dan negara-negara kaya anggotanya saat ini.
G20 gagal untuk menangani masalah utang yang tinggi
Memang, tidak adanya skema keringanan baru atau kemungkinan penghentian utang diumumkan oleh komunike menteri keuangan G20, bahkan pada penutupan Inisiatif Penangguhan Layanan Utang G20 atau G20’s Debt Service Suspension Initiative (DSSI) dalam waktu dekat ini. Sementara itu, G20 sekali lagi membuktikan kurangnya kekuatan mereka untuk meningkatkan partisipasi kreditur sektor swasta dalam inisiatif pengurangan utang lebih dari sekadar penegasan kembali. Pada pertemuan musim semi IMF-World Bank pada April 2021, Mohamed El-Erian, Presiden Queens’ College, Cambridge, dan Kepala Penasihat Ekonomi di Allianz, telah mengatakan di webinar bahwa proses Paris Club dari penanganan utang kasus per kasus ‘tidak cukup untuk mengatasi masalah koordinasi di sektor swasta; di dalam Paris Club perlu adanya ketegasan untuk sektor swasta.’
Ketidakmampuan untuk mengatur sektor swasta ke dalam partisipasi keringanan utang menunjukkan bagaimana ‘keberanian’ pemegang obligasi sebagai hasil dari cara para pemimpin G20 dan bank sentral mereka yang telah diatur oleh keuangan swasta menjadi begitu kuat sehingga mungkin mereka saat ini mendapati diri mereka tidak dapat membatasinya. Koalisi utang Jubilee atau Jubilee Debt Coalition menyatakan dalam siaran pers bahwa G20 tertidur di belakang kemudi ketika krisis utang meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah, menunjukkan bahwa DSSI telah menangguhkan kurang dari seperempat pembayaran utang, sementara Kerangka Umum atau Common Framework for Debt Treatments (CF) tidak merestrukturisasi satu utang pun.
Secara khusus, kreditur swasta menerima jumlah pembayaran utang terbesar, $14,9 miliar, dan hanya menangguhkan 0,2% pembayaran utang. Pada awal tahun 2021, Chad, Ethiopia dan Zambia mengajukan permohonan kepada CF untuk restrukturisasi utang. Sejauh ini, tidak ada yang berhasil, sebagian besar karena penolakan pemberi pinjaman swasta untuk mengambil bagian dalam pengurangan utang. Sementara itu, kenaikan suku bunga global saat ini akan meningkatkan biaya pembayaran utang, memperburuk krisis utang dan mencegah pemulihan ekonomi dan kesehatan di negara-negara berutang.
Menanggapi gelombang tekanan utang yang melanda negara-negara Selatan, Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan atau UN Conference on Trade and Development (UNCTAD) telah menyerukan keringanan utang substantif dan pembatalan langsung. Sebaliknya, dekade lain untuk pembangunan telah hilang yang ditandai dengan negara-negara berkembang menggunakan keuangan publik vital mereka untuk pembayaran utang daripada untuk berinvestasi dalam pandemi dan pemulihan ekonomi. Bahkan laporan Monitor Fiskal IMF menyoroti keterbatasan arsitektur utang internasional dalam mendukung restrukturisasi yang teratur sebagai risiko inti untuk pemulihan pandemi global.
Sangat berbeda dengan G20, beberapa negara berkembang pada Sidang Umum PBB ke-76 pada bulan September menyerukan pembatalan utang, restrukturisasi utang yang komprehensif dan keringanan utang terkait dengan negara-negara berpenghasilan menengah atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB. Negara-negara berkembang pulau kecil menyerukan keringanan utang dalam konteks indeks kerentanan baru untuk penyediaan dukungan multilateral. Terhadap skala kekuatan politik dan ekonomi yang tersegmentasi ini, demokratisasi pengambilan keputusan dalam arsitektur utang global semakin mendesak dan sangat diharapkan. Selama respons multilateral terhadap krisis utang yang diakibatkan oleh kejatuhan ekonomi akibat pandemi diatur oleh negara-negara kreditur, keharusan yang telah berlangsung selama puluhan tahun untuk membentuk pelatihan mekanisme yang mampu melakukan restrukturisasi yang tepat waktu dan adil, termasuk pembatalan utang tidak dapat terpenuhi.
Kebijakan pengetatan anggaran terus memperburuk ketimpangan global
Pada pertemuan tahunan IMF-World Bank, Georgieva dari IMF menggarisbawahi bahwa pengeluaran biaya kesehatan adalah prioritas di mana ruang fiskal terbatas, ‘saluran hidup harus semakin ditargetkan ke kelompok yang paling rentan’. Namun, dalam ‘Fiscal Monitor’ kelembagaan IMF sendiri, prioritas eksplisit ditempatkan pada pengurangan defisit dan tingkat utang, ‘melakukan reformasi fiskal struktural (seperti reformasi pensiun atau subsidi) … dan berkomitmen pada aturan fiskal yang mengarah pada pengurangan defisit di masa depan’. Kesibukan IMF biasanya dengan konsolidasi fiskal adalah cerminan dari pasar modal dan alasan investor dimana satu-satunya jalan untuk mengamankan akses ke pinjaman murah bagi sebagian besar negara berkembang adalah ‘memperkuat kredibilitas kebijakan fiskal mereka’ . Tertanam dalam arsitektur keuangan yang dibentuk oleh logika jangka pendek dan spekulatif serta bias pro-pengetatan, anggaran publik negara-negar Selatan tunduk pada kepentingan pribadi yang bertentangan dengan pembangunan yang adil dan berbasis hak. Prioritas hanya untuk mengamankan kepercayaan kreditur diilustrasikan oleh temuan Oxfam bahwa dari 107 pinjaman IMF, 90 memerlukan langkah-langkah konsolidasi fiskal di 73 negara. Alih-alih memfasilitasi investasi publik dalam sistem kesehatan, pendidikan dan perlindungan sosial, saran kebijakan jangka menengah dalam pinjaman berusaha untuk memotong dan membekukan tagihan upah sektor publik, dan meningkatkan atau memperluas pajak pertambahan nilai dan penjualan umum. Seperti yang dikatakan UNCTAD, kecuali jika otonomi dan impunitas atau kebebasan hukum yang dinikmati oleh keuangan global diatur secara serius, potensi kebijakan fiskal untuk memainkan peran struktural dalam penciptaan pekerjaan yang layak secara berkelanjutan dan mengejar hak atas pembangunan yang adil akan menjadi mati.
Ketimpangan dan kemiskinan yang semakin dalam di Selatan adalah akibat langsung dari kegagalan multilateralisme yang efektif. Antara 65 dan 75 juta orang telah terjerumus ke dalam kemiskinan, kesenjangan antara 10% teratas dan 80% terbawah semakin meningkat, dan pencapaian SDG pada tahun 2030 hampir menjadi fantasi di banyak negara berkembang. Perempuan telah banyak ditangani dengan tidak setara, mengalami setidaknya $800 miliar pendapatan yang hilang secara global pada tahun 2020 sementara pekerjaan informal berupah rendah dan pekerjaan perawatan yang tidak dibayar telah meningkat tanpa batas.
Pada akhirnya, prinsip-prinsip tanggung jawab historis, keadilan distributif dan mekanisme pemulihan yang saling tergantung harus memandu pusat-pusat kekuatan keuangan dan ekonomi untuk mendukung daripada menghambat pemulihan kesehatan dan ekonomi untuk wilayah yang paling rentan di negara-negara Selatan. Mengotak-atik teknokratis dengan asimetri kekuasaan dan sumber daya yang diciptakan oleh berabad-abad sejarah kolonial, dan baru-baru ini dari empat dekade neoliberalisme yang telah melembagakan ekonomi dunia yang dibiayai secara patologis ternyata tidak seimbang dan tidak akan lagi cukup. Perubahan struktural sangat diperlukan, justru karena kenyataan yang tidak sesuai pada dekade yang telah hilang bagi sebagian besar umat manusia.
)*Sumber : https://www.twn.my/title2/resurgence/2021/349/cover01.htm