Negosiasi Indonesia EU CEPA (IEU CEPA) sudah pada putaran 11, namun di dalam perkembangannya masih belum ada kesepakatan mengenai ketentuan yang diatur di dalam perjanjian. Terdapat beberapa hambatan yang memperlambat jalannya negosiasi, dimana negara-negara Uni Eropa termasuk Indonesia masih harus menghadapi kasus Covid-19. Selain itu, adanya kebijakan-kebijakan baru Uni Eropa seperti halnya European Green Deal (EGD), Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan deforestation free product masih menjadi penghambat adanya kesepakatan di dalam perjanjian. Namun demikian, negosiasi akan tetap berjalan dimana akan diadakannya negosiasi putaran 12.
Melihat tingginya nilai investasi di dalam perundingan IEU CEPA dimana pada tahun 2019 [1] tercatat nilai investasi Uni Eropa di Indonesia mencapai USD 2.6 milliar, pemerintah harus mengatur ketentuan investasi di dalam perjanjian dengan sangat baik. Salah satu isu yang menjadi penting untuk dilihat adalah bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian dalam mengatur investasi tersebut.
Di dalam chapter investasi IEU-CEPA tepatnya pada mekanisme penyelesaian sengketa akan mencangkup ketentuan hak-hak perlindungan investor tersebut, dimana sebelumnya hanya diatur pada perjanjian investasi bilateral (BIT) antara Indonesia dan negara-negara Uni Eropa. Ketentuan perlindungan investor ini diatur karena Indonesia telah menghentikan beberapa BIT dengan negara-negara anggota Uni Eropa.
Namun, sejarah perjanjian investasi khususnya BIT di Indonesia telah memberikan gambaran bagaimana Indonesia sebagai negara tujuan investasi dapat menghadapi risiko maupun kerugian dimana hal tersebut mendorong minimnya ruang dalam penyesuaian kebijakan yang baru bagi negara. Hal ini dikarenakan di dalam prakteknya, investor dapat menggugat kerugian atas dasar beberapa keputusan kebijakan publik di Indonesia. Selain minimnya ruang gerak bagi pemerintah untuk membuat aturan demi kepentingan publik, terdapat kerugian atas biaya pengadilan yang sangat tinggi dimana ketentuan penyelesaian sengketa yang diatur samar-samar dapat memudahkan gerak bagi investor untuk menuntut pemerintah kepada lembaga arbitrase Internasional. Mekanisme yang mengatur hak investor untuk menggugat ini disebut dengan Investor-State Dispute Settlement (ISDS).
Menurut laporan UNCTAD 2019, jumlah total gugatan ISDS global atau diseluruh dunia [2] mencapai 942 kasus dimana terdapat hampir 117 negara tergugat. Terlebih lagi, data menunjukan 85% kasus gugatan tersebut dibawa oleh investor negara maju dimana kasus tersebut menggugat kebijakan publik negara berkembang yang didominasi oleh sektor minyak dan gas.
Walaupun persyaratan berlaku sama untuk kedua belah pihak dalam perjanjian, isi dari klausul pengaturan mekanisme ISDS tidak memberikan ketentuan yang lebih rinci kepada kewajiban investor, dan lebih kepada ranah perlindungan hak investor. Sehingga penting untuk pemerintah Indonesia untuk dapat memastikan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa maupun ketentuan di dalam perjanjian dapat sesuai dengan kepentingan publik dan tidak hanya mengatur hak-hak investor untuk menuntut dan membawa kasus tuntutan kepada lembaga arbitrase Internasional.
Salah satu contoh kasus di Indonesia yang menarik untuk dilihat terkait kebijakan larangan atas penambangan terbuka di kawasan hutan lindung dimana aturan tersebut dipandang dapat merugikan investor dan kemudian mengancam pemerintah akan melakukan tuntutan arbitrase terhadap Indonesia. Selanjutnya kebijakan Indonesia atas kehadiran perusahaan tambang untuk melakukan pengolahan dan pemurnian hasil tambang dan aturan penetapan pengenaan bea keluar atau ekspor bagi perusahaan yang tidak melakukan pengolahan tersebut. Dua kebijakan ini dianggap dapat merugikan perusahaan maupun investor asing dan ketentuan penyelesaian sengketa di dalam perjanjian investasi justru memberikan ruang bagi investor untuk membawa kasus ke lembaga arbitrase Internasional.
Di Indonesia setidaknya sampai dengan tahun 2019 terdapat 10 kasus gugatan investor asing terhadap pemerintah Indonesia melalui perjanjian investasi. Melihat tantangan tersebut, ketentuan di dalam perjanjian IEU CEPA seharusnya tidak hanya mengatur mekanisme penyelesaian sengketa namun kewajiban-kewajiban investor yang dapat sejalan dengan kepentingan sosial di Indonesia. Hal ini bukanlah untuk melemahkan perlindungan investor tetapi untuk memastikan adanya konsistensi antara hukum dalam negeri dan aturan Internasional yang diatur di dalam perjanjian.
Menurut laporan perundingan Indonesia EU CEPA putaran kedua, kedua belah pihak bertukar pandangan mengenai mekanisme state-to-state dimana mekanisme ini terinspirasi pada sistem penyelesaian sengketa bilateral didasarkan pada elemen yang sama dengan proses penyelesaian sengketa WTO yang disebut dengan Dispute Settlement Understanding (DSU).[3] DSU menjadi ketentuan yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa dalam BIT sebelumnya. Namun, di dalam perkembangan perundingan IEU CEPA selanjutnya, pembahasan justru mengarah pada usulan mekanisme penyelesaian sengketa Uni Eropa yang disebut dengan Investment Court System (ICS) sebagai bentuk reformasi penyelesaian sengketa sebelumnya yaitu mekanisme ISDS. Uni Eropa mengajukan mekanisme tersebut untuk diatur di dalam perjanjian IEU-CEPA. Namun, proposal tersebut tidaklah jauh berbeda dengan mekanisme penyelesaian ISDS dan sampai dengan putaran ke 11 Indonesia dan Uni Eropa masih bertukar pandangan mengenai lampiran untuk aturan prosedur [4] dan kode etik untuk panelis.
Sebelumnya Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Koalisi Masyarakat Sipil telah melakukan konsolidasi dengan Kementerian Perdagangan yang diwakili oleh Bapak Johni Marta sebagai Direktur Bilateral, mengenai perkembangan negosiasi IEU CEPA putaran 11 ini yang dilakukan pada 22 Maret 2022. Beliau menekankan kembali bahwa klausul yang akan diatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa akan menimbang kembali resiko yang dapat dihadapi, melihat pengalaman-pengalaman pemerintah Indonesia sebelumnya. Beliau juga menekankan kembali komitmen Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan untuk selalu sejalan dengan kepentingan nasional. Selanjutnya, Bapak Johni Marta juga menyatakan bahwa aturan tersebut harus mengatur kewajiban investor di dalam klausul perjanjian yang sejalan dengan proses pembangunan sosial di Indonesia.
)*Ditulis oleh : K. Audina Permana Putri
- https://www.kemendag.go.id/storage/article_uploads/pH55IGSUP1XMhH08TmusBH6yPzOVY Kf7MqlnLkmb.pdf
- UNCTAD Report Issue 2, “Investor-State Dispute Settlement: Review of Developments in 2019”, Issues Note No. 2, June 2019 at 1 [Investor-State Dispute Settlement].
- https://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2017/february/tradoc_155297.pdf
- https://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2021/november/tradoc_159945.pdf