Siaran Pers KepaL (Komite Pembela Hak-Hak Konstitusional)
Jakarta, 25 Mei 2022- Rapat DPR pada 24 Mei 2022 telah memutuskan pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) agar segera disahkan pada rapat paripurna. Dalam rapat itu, terdapat delapan Fraksi Partai yang mendukung, yakni: PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PAN dan PPP, fraksi PKS menolak RUU ini disahkan. RUU ini menuai kontroversi karena sekedar melegalkan metode Omnibus Law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebelumnya berbagai organisasi masyarakat sipil dan akademisi menolak omnibus law sebagai metode pembentukan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menanggapi lahirnya UU baru yang melegalkan metode omnibus law ini Koordinator Advokasi Indonesia for Global Justice, Muslim Silaen memandang ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, pembahasan dan pengesahan RUU yang minim dari partisipasi publik seperti yang tersedia dalam laman website DPR-RI. Cepatnya pembahasan sejak Februari 2022 mengindikasikan pengabaian hak rakyat karena minimnya partisipasi publik. Hal ini mengabaikan Putusan MK atas UU Cipta Kerja yang mewajibkan adanya partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kedua, perubahan UU ini akan melegalkan banyak investasi yang melanggar prinsip-prinsip keberlanjutan dan kedaulatan ekonomi rakyat yang sebelumnya menjadi dasar untuk mengajukan uji formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.Ketiga, UU Cipta Kerja harus direvisi dari NOL mulai dari penyusunan Naskah Akademik hingga melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Kalau keinginan Pemerintah membentuk UU Cipta Kerja untuk menciptakan kemudahan berinvestasi, dengan alasan apapun tidak dapat membentuk undang-undang yang melanggar hak-hak rakyat karena bertentangan dengan UUD 1945. Perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dapat dikategorikan sebagai perbaikan UU Cipta Kerja, jika hanya sebatas mencari legitimasi pemberlakuan metode omnibus law dan mereduksi partisipasi secara bermakna sebagai hak konstitusional rakyat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Sementara itu, Penasehat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) Gunawan memandang bahwa pelanggaran formil pembentukan RUU Perubahan UU P3 potensial cacat formil sehingga inkonstitusional. Selain itu putusan MK dalam perkara pengujian formil UU Cipta Kerja mempersyaratkan bahwa perbaikan UU Cipta Kerja tidak hanya sebatas metode omnibus dalam pembentukan UU Cipta Kerja, tetapi juga pada aspek formil, yaitu keberadaan naskah akademik, tahapan pembentukan UU, dan partisipasi publik secara bermakna, serta aspek materiil, yaitu isi dari UU Cipta Kerja.
Metode omnibus law sendiri memerlukan kajian yang mendalam, agar penerapannya tidak berbenturan dengan bentuk bentuk undang-undang yang telah ada, sehinggal malah memperlebar jurang ketidakpastian hukum, tegas Gunawan
Selain masalah RUU Perubahan UU P3 sebagai dampak Putusan MK dalam pengujian formil UU Cipta Kerja adalah permasalahan aturan turunan dari UU Cipta Kerja, berdasarkan putusan tersebut seharusnya seluruh turunan UU Cipta Kerja tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, demikian tambah Gunawan
Langkah legislasi untuk menyambut investasi dan perbaikan ekonomi ini memperlihatkan upaya pemerintah untuk melakukan deregulasi secara serampangan. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menegaskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Secara Bersyarat sehingga UU Cipta Kerja inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, UU Cipta Kerja layak disebut sebagai undang-undang yang lahir dari proses yang tidak demokratis dan melanggar hak-hak konstitusional rakyat. Respon dengan mengesahkan UU P3 ini telah mengkhianati amanat rakyat yang membutuhkan peraturan yang melindungi dan memastikan kedaulatan rakyat.
Komite Pembela Hak Konstitusional Rakyat terdiri dari:
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
- Serikat Petani Indonesia (SPI)
- Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
- Yayasan Bina Desa
- Sawit Watch (SW)
- Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
- Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
- FIELD Indonesia
- Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)
- Aliansi Organis Indonesia (AOI)
- Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (JAMTANI)
- Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Narahubung :
Muslim Silaen
085842990045
muslim.silaen@igj.or.id