Jakarta – Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Indonesia Focal Point for Corporate Accountability memberikan respons kritis terhadap United Nations Ocean Conference (UNOC) 2022 yang berlangsung di Lisbon, Portugal, sejak 27 Juni hingga 1 Juli 2022.
Koalisi mengingatkan bahwa agenda ‘tata kelola ekonomi biru global’ yang dibahas dalam konferensi ini bakal semakin mendorong perampasan ruang laut. Selain itu, juga bisa mengancam keberlanjutan hidup masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dan adat.
Peneliti Transnational Institute, Carsten Pedersen, menyatakan bahwa penyusunan tata kelola laut dunia tersebut didominasi oleh intervensi kepentingan korporasi multinasional yang hendak memonopoli dalam rangka ekstraksi sumber daya laut seluas-luasnya.
Menurutnya, ruang kemudi politik ekonomi kelautan global terkini disetir oleh 100 perusahaan transnasional (TNCs) yang menyumbang 60% dari modal akumulatif dalam ekonomi laut. Sebanyak 86% di antaranya berasal dari perusahaan migas lepas pantai dan industri perkapalan.
“Kooptasi kuat perusahaan multinasional dalam pengambilan keputusan di sistem PBB telah memperparah praktik perampasan laut. Mereka banyak bicara soal investasi dan pembiayaan ekonomi biru. Bahkan, mereka membentuk Blue Action Fund sebesar US$1 miliar,” katanya dalam jumpa pers daring, Kamis (30/6).
Dia menilai dana tersebut hanya akan menjadi ‘blue-washing’. Hal itu juga makin melegitimasi lepasnya tanggung jawab korporasi terhadap hak-hak masyarakat korban yang terlanggar, kerusakan lingkungan, serta punahnya ekosistem laut yang ditimbulkan.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, mengatakan bahwa dominasi agenda korporasi dalam tata kelola laut dunia bisa memperparah krisis iklim dan krisis pangan yang dihadapi masyarakat dunia.
Menurut Parid, laut memiliki peran penting dalam penyediaan sumber pangan dan penyerapan emisi karbon. Terlebih, sekitar 70% wilayah planet bumi adalah lautan. Artinya, masa depan bumi bakal tergantung pada kondisi laut.
“Dua fungsi laut tadi sangat penting, tapi justru akan dihancurkan oleh tata kelola laut dunia yang mengutamakan kepentingan korporasi. Saya kira di Indonesia tidak jauh beda, tata kelola laut dialokasikan untuk sebesar-besar kepentingan korporasi,” katanya.
Parid menuturkan, agenda strategi ekonomi biru yang disampaikan pemerintah Indonesia di forum UNOC 2022 jauh dari perlindungan masyarakat pesisir. Dia mencontohkan ada kebijakan penangkapan ikan terukur yang sangat menguntungkan korporasi.
Kebijakan yang merupakan turunan UU Cipta Kerja itu bakal memberikan karpet merah kepada korporasi skala besar untuk mengeksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan. Padahal, jika merujuk status pemanfaatan sumber daya ikan, statusnya merah dan kuning.
“Kebijakan yang didorong pemerintah seharusnya memulihkan, bukan mendorong eksploitasi. Di forum ini, pemerintah semestinya mengevaluasi tata kelola laut Indonesia yang selama ini memprioritaskan kepentingan korporasi, tetapi pada saat bersamaan tidak mensejahterakan masyarakat pesisir,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Parid menyampaikan penjelasan terkait kawasan konservasi laut. WALHI menilai kawasan ini akan mudah diubah untuk kepentingan proyek-proyek ekstraktif seperti pertambangan, maupun diubah untuk kawasan neo-ekstraktif seperti proyek pariwisata skala besar.
Hal ini telah disebut jelas dalam UU Cipta Kerja, Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
“Ini adalah bentuk perampasan ruang laut yang direncanakan (planned ocean grabbing) yang dilakukan pemerintah. Ocean grabbing adalah perampasan kontrol dan akses terhadap sumber daya kelautan dan perikanan yang jadi hak masyarakat, dilakukan lewat proses tata kelola yang tak tepat dan merusak kesejahteraan sosial-ekologis masyarakat,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik, menyatakan bahwa topik yang dibahas dalam UNOC 2022 semakin memperkuat kontrol korporasi pada penguasaan sumber daya laut global dan nasional.
Maulana menuturkan, itu sejalan dengan kegagalan WTO dalam menghasilkan keputusan ihwal penghapusan subsidi perikanan (khususnya yang diberikan negara-negara maju) pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-13 di Jenewa pada 13-17 Juni lalu.
“Artinya, dua pertemuan internasional ini telah melegitimasi kepemilikan laut, dari kepemilikan publik menjadi closed ownership (kepemilikan tertutup). Padahal, pemeran utama yang harus dijaga hak dan kedaulatannya adalah nelayan kecil dan tradisional,” katanya.
Sebagai informasi, koalisi Indonesia Focal Point for Corporate Accountability beranggotakan WALHI, IGJ, KRuHA, IHCS, KIARA, FIAN Indonesia, Solidaritas Perempuan, KontraS, ELSAM, Lokataru, IILH-apintlaw.
Sumber : Gatra.com